OPINI

Ancaman Terhadap Petani dan Potensi Konflik Agraria Dalam Undang-undang Cipta Kerja

897
×

Ancaman Terhadap Petani dan Potensi Konflik Agraria Dalam Undang-undang Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini
Suyetno. Mahasiswa Program Studi Doktor Pascasarjana Universitas Halu Oleo 2020. Foto : Ist

Penulis : Suyetno
(Mahasiswa Program Studi Doktor Pascasarjana Universitas Halu Oleo 2020)

Undang – Undang Cipta Kerja baru saja ditandatangani Presiden Joko Widodo, Senin (2/11/2020). Kini, undang-undang tersebut tercatat sebagai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020.

Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah undang-undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah. Karena memiliki panjang 1.187 halaman dan mencakup banyak sektor, UU ini juga disebut sebagai undang-undang sapu jagat atau omnibus law.

Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik karena dikhawatirkan akan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan. Rangkaian unjuk rasa untuk menolak undang-undang ini oleh para petani dan pekerja menuntut agar undang-undang ini dicabut.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti sejumlah perubahan ketentuan dalam omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Sejumlah perubahan ketentuan dinilai mengancam kelangsungan hidup petani, memperparah konflik agraria, memperbesar ketimpangan kepemilikan lahan dan praktik penggusuran demi investasi. Perubahan ini terkait izin konversi tanah pertanian ke non-pertanian, penambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah, dan jangka waktu hak pengelolaan atas tanah.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, ketentuan izin untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian makin dipermudah. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 122 angka 1 UU Cipta Kerja, yang menghapus Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Menurut Dewi, perubahan tersebut dapat mempercepat alih fungsi tanah pertanian dan mengancam keberadaan kelompok petani. “Demi investasi non-pertanian, UU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,”

Penyusutan lahan pertanian

Dengan perubahan tersebut, pemerintah dan perusahaan tak memiliki kewajiban terkait syarat kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah. Dampaknya, akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian terjadi secara cepat. Selain itu, kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani juga terhapus. “Termasuk menghapus kewajiban menyediakan tanah pengganti bagi petani terdampak,”

Persoalan lain yang akan muncul yakni menyusutnya lahan pertanian. Dewi menyebut, satu rumah tangga petani hilang akibat konversi tanah dalam sepuluh tahun. “Bisa dibayangkan tanpa UU Cipta kerja saja, tercatat dalam sepuluh tahun (2003–2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian, satu (satu) rumah tangga petani hilang,”

Berdasarkan catatan KPA, terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani sebesar 10,6 persen menjadi 4,9 persen. Selain itu, laporan Kementerian Pertanian terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menyebutkan, luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi, mengalami penurunan rata-rata seluas 650 ribu hektar per tahun.

“Artinya, jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi UU Cipta Kerja, maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut,”.

“Begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni, tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus,”

Kepentingan investasi

Hal lain yang disoroti, yakni tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah. Tambahan ini dikhawatirkan akan memperparah konflik agraria. Pasal 121 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.

KPA menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah. “Atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, UU Cipta Kerja akan memperparah konflik agaria, ketimpangan, perampasan dan penggusuran tanah masyarakat,”

Argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan dan keluhan para investor terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan infrastruktur serta kegiatan bisnis. “Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah memperluas definisi kepentingan umum dengan menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) ke dalam kategori kepentingan umum,”.

Dewi menekankan, pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur atau industri semata. Namun, juga harus diperhitungkan dampak sistemik terkait degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi yang menjadi obyek pengadaan tanah serta masyarakat.

Lebih lanjut, KPA menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan berkeadilan. Sebab, proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian dijalankan secara tidak transparan dan tidak berkeadilan. Bahkan, ia mengatakan, tidak sedikit terjadi unsur pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat yang tanahnya menjadi target pembebasan.

Selain itu, peran dan kewenangan swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan. “Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan, karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosesnya dititipkan di Pengadilan Negeri sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat,”

Eksploitasi oleh kepentingan modal

Sebelumnya, anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo menyatakan tak sepakat dengan ketentuan Pasal 127 RU Cipta Kerja. Arif menilai, aturan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kekhawatiran adanya upaya kembali pada sentralisasi semakin menguak dengan kontroversi Pasal 170 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengubah UU melalui Peraturan Pemerintah.

Selain bertentangan dengan UU No 12 Tahun 2011 (dan perubahannya) juga berpotensi melanggar Konstitusi UUD 1945. Argumen ‘salah ketik’ atas pasal 170 yang dinyatakan oleh Menkopolhukan dan Menteri Hukum dan HAM yang dimuat beberapa media merupakan preseden buruk dalam proses penyusunan peraturan perundangan yang menimbulkan polemik dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat.

Saran dan Solusi

1. sebaiknya Pemerintah membuka keran aspirasi seluas-luasnya bagi publik dan pemangku kepentingan. Hal tersebut sangat penting sebagai bentuk assesment atas dampak regulasi (regulatory impact assesment) yang semestinya dikedepankan dalam proses pembuatan kebijakan berupa regulasi. Hal ini penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan, serta untuk melakukan pencegahan resiko dampak dengan parameter penilaian yang mendalam dan partisipatif.

2. Mungkin ada baiknya melihat kembali kepada Undang – Undang Pokok Agraria 1960 agar lebih berorientasi kepada pemanfaatan tanah secara adil dan peduli sosial seperti yang diamanatkan oleh UUPA 1960 dengan ‘tanah untuk rakyat (land for the people) dan ‘tanah untuk petani penggarap’ (land to the tiller) yang dijalankan melalui program land reform.

You cannot copy content of this page