Reporter : Hasrun
Editor : Kang Upi
RUMBIA – Kebijakan Pemda Bombana yang menaikan besaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen, terus menuai kecaman dan protes dari warga di wilayah tersebut.
Namun, pendapat berbeda dilontarkan salah seorang anggota DPRD Bombana Heryanto yang menyatakan jika kenaikan PBB tersebut bukan masalah dan merupakan hal yang biasa.
“Masalah naiknya NJOP PBB di daerah itu, ada pada pemerintah kecamatan dan desa, kerena tidak melakukan sosialisasi kepada warga,” kata Heryanto di salah satu media.
Pernyataan tersebut, langsung mendapat kecaman warga yang menilai legislator dari Partai Golkar tersebut, tidak bersikap selayaknya seorang wakil rakyat.
BACA JUGA :
- Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Sultra Meminta Kejagung dan KPK RI Periksa Kepala BPBD Konut
- Tampil di Indonesia Fashion Week, Pj Gubernur Sultra : Tenun Bukan Sekedar Kain Tapi Akar Mempertahankan Budaya
- Kementerian ESDM Tetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat Secara Nasional, Sultra Tidak Termasuk
- Dua Siswi Asal Kendari Hendak Dijual ke Kalimantan, “Pecah” Pertama Harga Rp 20 Juta
- Polsek Bondoala Kejar Anak Anggota DPRD Konawe, Diduga Otak Dari Dua Rekannya yang Mencuri di Rumah Warga Desa Tondowatu
Kecaman itu salah satunya diungkapkan Kepala Desa Molaeno, H. Helmi yang menyayangkan pernyataan wakil rakyat di Bombana yang mengangap kenaikan NJOP PBB merupakan hal yang biasa dan lumrah.
“Jangan ngomong hal yang biasa, ini bukan soal sah-sah saja, soalnya ini tanpa pemberitahuan. Sah kah kalau tidak ada pemberitahuan, enak memang kalau hanya ngomong,” tegasnya, Rabu (17/7/2019).
Ia juga mengkritik pernyataan legislator tersebut yang menilai bahwa masalah ini muncul karena pemerintah desa tidak melanjutkan sosialisasi kepada masyarakat terkait naiknya NJOP PBB.
“Bagaimana kita mau lanjutkan kalau tidak pernah ada sosialisasi dari Pemda. Surat masuk, surat keluar juga ada di desa, tapi tidak ada surat panggilan sosialisasi itu,” tambahnya.
Masyarakat Desa Molaeno dikatakannya, merasa keberatan dan terbebani atas naiknya NJOP PBB karena nilainya terlampau tinggi, yakni hingga 300 persen dari angka sebelumnya.
“Masyarakat sangat keberatan sekali, mereka uring-uringan, bukan hanya masyarakatku, tapi semua masyarakat terbebani,” ujarnya.
Untuk itu, kata Helmi, mewakili aspirasi masayarakat Desa Molaeno, ia berharap agar Pemda Bombana membatalkan Surat Keputusan (SK) yang menjadi acuan penetapan nilai NJOP PBB yang baru.
BACA JUGA :
- Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Sultra Meminta Kejagung dan KPK RI Periksa Kepala BPBD Konut
- Tampil di Indonesia Fashion Week, Pj Gubernur Sultra : Tenun Bukan Sekedar Kain Tapi Akar Mempertahankan Budaya
- Kementerian ESDM Tetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat Secara Nasional, Sultra Tidak Termasuk
- Dua Siswi Asal Kendari Hendak Dijual ke Kalimantan, “Pecah” Pertama Harga Rp 20 Juta
- Polsek Bondoala Kejar Anak Anggota DPRD Konawe, Diduga Otak Dari Dua Rekannya yang Mencuri di Rumah Warga Desa Tondowatu
Yaitu, SK Bupati Bombana Nomor 121 Tahun 201, tentang Perubahan SK Bupati Bombana Nomor 17 Tahun 2014, tentang Penetapan Klasifikasi Zona Nilai Tanah dan Penetapan NJOP sebagai Dasar Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan.
“Itu harusnya dibatalkan dulu, kalaupun mau naik harus dibicarakan jangan langsung naik 300 persen, karena bisa KO orang,” terangnya.
Hal senada juga diungkapkan warga Desa Kalaero Kecamatan Lantari Jaya Ansar Achmad yang turut mengecam pernyataan anggota DPRD Bombana, Heryanto.
“Seharusnya wakil rakyat itu membela kepentingan rakyat, bukan malah justru membenarkan kebijakan yang mencekik leher rakyat, kan aneh,” ucap Ansar.
Soal kanaikan NJOP kata Ansar, semestinya Pemda Bombana melihat kondisi ekonomi rakyat, tidak langsung menaikkan dengan jumlah yang sangat tinggi.
“Kalau anggota DPRD yang bilang biasa saja itu karena mereka punya gaji besar, lalu bagaimana dengan masyarakat kelas menengah ke bawah,” keluhnya. (A)