Reporter : Arto Rasyid
Editor : Ardilan
MUNA – Pelaksanaan seleksi kompetisi dasar (SKD) calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) baru berlangsung sehari. Namun sudah mendapat sorotan.
Salah satu tokoh pemuda, Adhyn Haq mengungkapkan dirinya menduga tes SKD CPNS Muna melanggar protokol kesehatan Covid-19. Hal ini disebabkan Pemerintah Daerah (Pemda) Muna hanya menunjuk satu titik saja disekitaran lokasi tes SKD untuk dijadikan sebagai tempat pelaksanaan rapid tes antigen sebagai salah satu syarat peserta sebelum melaksanakan SKD.
Akibatnya, kata Adhyn, para peserta justru berkerumun karena banyak yang hendak melakukan rapid antigen. Ia pun khawatir hal ini justru memicu munculnya klaster baru penyebaran Covid-19.
Baca Juga: Dugaan Perjalanan Fiktif Anggota DPRD, Kajari Wakatobi akan Kumpulkan Data dan Bahan Keterangan
Menurutnya, bila terjadi kerumunan maka bertentangan dengan tata terbit PERBKN Nomor 2 Tahun 2021 terkait penerapan protokol kesehatan (prokes) Covid-19.
“Seleksi CPNS dalam satu sesi terbagi 150 peserta, sedangkan sehari ada 2-3 sesi berarti sekitar 450 yang harus dirapid, apalagi nakes yang bertugas sekian orang saja tentunya menimbulkan antrian dan desak desakan khawatirnya justru melahirkan klaster baru,” ucap Adhyn Haq kepada MediaKendari.Com, Selasa 28 September 2021.
Adhyn meminta Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Muna selaku panitia seleksi daerah (Panselda) sebaiknya berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat untuk menyediakan tempat melakukan rapid antigen selain disekitar lokasi tes SKD demi mengurangi terjadi kerumunan.
Ia menyarakan agar pelaksanaan rapid antigen untuk peserta CPNS di Muna bisa dilakukan di Rumah Sakit, Puskesmas atau apotik di daerah itu.
“Jadi tidak mesti rapid test dilakukan dilokasi seleksi CPNS. Panselda cukup meminta kepada peserta memperlihatkan hasilnya saja. Memang di daerah lain juga berbayar tapi tidak wajib dilakukan dilokasi yang ditentukan panselda,” ujarnya.
Baca Juga: Dinsos Konsel Salurkan Bantuan Bagi Korban Kebakaran Warga Roraya
Adhyn menjelaskan dengan total peserta sebanyak 1.718 orang yang mengikuti tes, dirinya juga menduga BKPSDM Muna melakukan gratifikasi. Pasalnya, ia menilai dengan cuma satu titik pelaksanaan rapid antigen seolah tidak ada koordinasi antara Panselda dan Dinkes Muna yang ia anggap menjadi salah satu contoh buruk lemah koordinsi antara organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemda Muna.
Adhyn juga merasa janggal dengan biaya rapid antigen yang dibebankan ke peserta sebesar Rp 100 ribu karena tenaga kesehatannya ASN dan atau honorer dimana gaji termasuk pengadaan alat rapid test menjadi tanggungan Pemda Muna.
“Sudah tugas mereka untuk melayani apalagi masih jam kantor, jadi alasan untuk membeli alat rapid dan membayar jasa saya kira tidak tepat atau memang BKSDM tidak berkordinasi dengan Dinkes Muna terkait itu. Jika terbukti adanya suap menyuap maka kami akan melakukan langkah pembelajaran hukum bagi pihak yang terlibat,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BKPSDM Muna, Sukarman Loke menuturkan pihaknya memilih satu titik saja sebagai tempat melakukan rapid antigen ke peserta CPNS untuk menghindari penggunaan rapid antigen palsu.
“Saya tunjuk satu lokasi itu hanya disini (area penyelenggaran SKD CPNS) untuk menjaminkan keaslian dari hasil rapid test antigen peserta,” terangnya.
Baca Juga: Sejumlah Isu yang Ditanyakan Fraksi di Parlemen, Begini Tanggapan Gubernur Ali Mazi
Sukarman mengakui untuk biaya rapid test yang dibebankan kepada peserta memang digunakan untuk membayar jasa termasuk pengadaan alat rapid, makan minum dan transportasi dokter dan nakes yang bertugas.
“Yang salah itu kecuali melanggar aturan, semua daerah membayar sampai ada yang menggunakan jasa pihak swasta, tapi kita menggunakan jasa nakes pemerintah biayanya pun kami bulatkan jadi Rp 100 ribu dari tarif permenkes yaitu Rp 109 ribu,” pungkasnya.