Prolog : Banyak orang bilang, membaca adalah gerbang dunia, tempat yang kan bisa kita jamah tanpa harus mengunjunginya, tempat kita bisa memahami pemikiran orang lain tanpa menemuinya.
Tulisan ini benar adanya. Di beri judul “ODE”, karena ini memang sebuah sanjungan buat beliau dan ini adalah utang saya kepadanya. Sekalipun apa adanya, ini adalah sebuah kejujuran dari seorang anak kepada Almarhum ayahnya.
Ayah saya berasal dari sebuah kampung ditepi sungai konaweha. Beliau dilahirkan dari keluarga pedagang dan guru mengaji. Kakeknya seorang
perantauan dari tanah bugis. Karena terhitung anak yang cerdas, dengan susah payah kakek saya menyekolahkan sampai pendidikan tinggi. Tahun 1960an, negara ini memang masih serba susah.
Setelah berhasil menamatkan pendidikan sarjana Sospol di Universitas Hasanuddin Makassar, ayah pulang ke Kendari. Menjadi dosen di Unhol (nama lama Universitas Halu Oleo) sekaligus menjadi PNS di Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Karirnya terhitung lumayan baik. Diusia 40an awal,beliau sudah berhasil menduduki jabatan sekda di kabupaten kendari.
Dalam perjalanan hidup almarhum ayah, pernah beliau di pindah tugaskan ke sebuah daerah terpencil. Waktu itu saya masih 5 tahun jadi belum bisa mengerti bagaimana kepindahan itu terjadi. Sampai beranjak dewasa, ayahpun tak pernah menceritakan itu kepada saya. Namun beberapa kalimat dalam percakapan dengan beliau menjelaskan banyak hal. Nampaknya ketidaksepahaman kepada pimpinan yang membuat itu terjadi.
Masa-masa itu adalah salah satu masa yang sulit dalam sejarah keluarga kami. Kehidupan yang lumayan nyaman di Kendari harus ditinggalkan. Kantor beliau cukup jauh di luar kota. Melewati jalan sempit yang berlubang, berbaur dengan penjual ikan dan sayur dimobil angkutan umum.
BACA JUGA: Catatan Harian Protokol : Nur Alam dan Masjid Al Alam
Sebagai seseorang yang pernah menduduki jabatan seperti Sekda, hal tersebut mungkin bukanlah sesuatu yang biasa. Namun keadaan itu dijalani beliau penuh dengan dedikasi. Dedikasi itulah yang terbayang-bayang dimata saya, seorang anak kecil berusia 5 tahun yang pernah menyaksikan Ayah yang dikaguminya dengan sederet pangkat di pundaknya, berangkat kerja dengan pakaian biasa dan sebagai orang yang biasa. Moment yang selalu terkenang sampai sekarang.
Meskipun jarang berbicara, ayah membangun komunikasi verbal dengan anak-anaknya. Tingkah lakunya adalah ucapannya. Meskipun tak pernah mengatakan langsung pada anak-anaknya, tingkah laku beliau sudah lebih dari cukup sebagai kompas kami dalam menjalani hidup.
Ayah tak pernah mengatakan kepada kami bahwa keluarga adalah nomor 1, namun setiap pulang dari kantor beliau selalu pulang ke rumah, keluar rumah selalu bersama ibunda atau salah satu dari kami bersaudara. Selalu berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, sudah menjelaskan semua tanpa kata-kata.Keluarga adalah yang pertama.
Setelah beranjak besar, komunikasi kepada ayah masih tetap seperti dulu. Pelan-pelan saya memahami bahwa beliau sudah terlalu capek ketika sampai dirumah. Dedikasi beliau kepada pekerjaan membuat beliau sepenuh hati dan sepenuh tenaga menjalani tugas-tugasnya. Harus kita akui ditengah dunia yang semakin materialistis, saat ini dedikasi seperti itu sudah menjadi barang langkah di negara ini. Dedikasi itulah yang membuat beliau tidak memiliki usaha apa-apa selain mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai seorang ASN. Pandangan yang mungkin saja bisa ditafsirkan naif.
Pelan-pelan ayah menjadi hero dimata saya. Hero dalam artian pahlawan yang bisa memberikan keteladanan bahwa segala sesuatu itu harus professional, baik kepada pekerjaan maupun kepada keluarga. Setelah saya mulai kuliah, diskusi-diskusi bersama beliau mulai hidup.
Karena, saya bisa mengimbangi jalan pikirannya. Sungguh banyak hal yang beliau ketahui meski tidak secara mendalam.
Kata beliau, “sebagai PNS kita harus tahu banyak tapi sedikit. Berbeda dengan dosen, tahu sedikit tapi banyak”. Beliaulah yang mendorong saya untuk mengikuti jejaknya, beliau mendaftarkan saya menjadi tenaga pengajar disalah satu PTS di Kota Kendari, beliau jugalah yang meminta saya untuk masuk ke Jurusan D-III Perbankan. Beliau malah menyuruh untuk tetap melanjutkan kuliah ke jenjang Strata II ketika pendidikan sarjana saya sudah selesai. Satu hal yang belum terwujudkan sebelum beliau direngkuh oleh Yang Maha Kuasa, keinginan untuk melanjutkan S-3 buat saya.
Katanya, “Pemimpin boleh berubah, tapi kalau kamu sudah S-3 pasti akan terpakai tenagamu,siapapun yang menjadi penguasa. Pokoknya nanti bapak yang menghadap
sama pak Gubernur”.
Hari itu, 6 juli 2010, belumlah beranjak siang, ketika seseorang yang tak pernah masuk ke RS karena sakit, harus di jembut oleh Ambulance untuk diantar ke ruang ICU. Serangan stroke mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di kepala beliau. 24 Jam Beliau bertahan sampai dijemput oleh Malaikat dengan cara yang beliau cita-citakan, tanpa perlu menyusahkan orang. Kepergian yang sungguh mendadak, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi.
Malam ini, untuk kesekian kalinya saya mengenang beliau. Sosok yang begitu menginspirasi. Sosok yang begitu saya idolakan. Sosok yang begitu saya kagumi. Begitu melekat dalam ingatan tatkala 32 Tahun yang lalu, disuatu sore menjelang magrib, di daerah yang masih terpencil itu, beliau duduk membaca Koran yang entah sudah telat berapa hari.
Beliau memanggilku, dan mengajarkan membaca sebuah kata, yang justru duluan saya tau sebelum saya bisa membaca nama sendiri. KOMPAS, kata yang pertama bisa saya baca dan merupakan sebuah perumpaan buat ayah, sang penuntun hidupku.
*) Ode adalah puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan.