FEATUREDKESEHATANMUNA

Kuasa Hukum Dokter Tamsila: Tidak Ada Penelantaran Pasien di RSUD Muna

933
×

Kuasa Hukum Dokter Tamsila: Tidak Ada Penelantaran Pasien di RSUD Muna

Sebarkan artikel ini

RAHA, MEDIAKENDARI.COM – Kematian seorang bayi di dalam kandungan yang terjadi pada 8 September lalu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Muna, yang diduga telah melakukan kelalaian oleh pihak RS, dibantah oleh dokter Tamsila selaku dokter yang bertanggungjawab melalui tim kuasa hukumnya Laode Muhammad Syahribin Hipno, jika apa yang di beritakan di media sosial tidak benar adanya.

“Statement yang dibuat oleh saudara Machdin tidak benar, dan telah memfitnah dokter Tamsila, sangat mencemarkan nama baik keluarga besarnya”, ungkap LM. Syahribin Hipno kepada mediakendari.com, Rabu (20/09/2017).

Menurut Syahribin, apa yang telah dilakukan oleh Tamsila sudah sesuai dengan standar SOP RS. “Ibu Reni (pasien), masuk RS pada Tanggal (8/9/2017) pukul 14.30 WITA, dalam kondisi Inpartu didampingi oleh Bidan Desa Masria, tanpa membawa surat rujukan dan Patograf. Sementara kegunaan Patograf adalah penjelasan kondisi pasien dan bayinya sebelum dirujuk, dan alasannya kenapa harus dirujuk.

Semua bidan harus melakukan ini, namun bidan Masria tidak melakukannya. Bahkan pengakuan pasien bahwa sudah diobservasi di rumah Bidan Masria selama satu hari, namun dipulangkan kembali ke rumahnya (pasien). Dia tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Bidan Masria karena bidan tidak membuat patograf dan surat rujukan.

“Menurut bidan jaga yang menerima Ibu Reni di rumah sakit, pasien mengatakan kalau bayinya sudah tidak bergerak sejak pagi itu, sebelum masuk ke RS. Bidan jaga tetap memantau denyut jantung janin secara berkala, namun tidak menemukan denyut jantung janin tersebut. Sehingga bidan jaga melaporkan kejadian tersebut kepada dokter Tamsila via telpon, karena dokter sedang melakukan operasi. Namun dokter tetap memantau perkembangan pasien dengan memberikan instruksi kepada bidan jaga tersebut” jelasnya.

Selain itu, Ia juga mengatakan bahwa pasien dengan kasus kematian janin dalam rahim, sebaiknya partus normal dan tetap dipantau sesuai dengan protab yang ada. “Ada garis batas dimana seorang dokter harus bertindak dan mengambil keputusan sesuai keilmuannya. Jadi tindakan dokter tidak dapat diinterfensi apalagi soal operasi,” katanya.

Mengenai obat yang dibeli di luar rumah sakit, lanjut Syahribin, tim kuasa hukum mengatakan jika sebelum melakukan operasi, sebaiknya dokter menjelaskan mengenai resiko tindakan Operasi Caesar dan memberikan izin terhadap dokter dan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, apapun bentuknya, menjadi tanggung jawab kami (keluarga pasien) dan tidak menuntut pada dokter.

[Baca juga : Keluarga Reni Ngamuk di RSUD Raha]

Sebelum operasi ibu Reni juga melakukan pemeriksaan penunjang dan pak Unyil (suami pasien) bersedia melengkapi kekosongan obat dan alat kesehatan serta menandatangani persetujuan bersedia melengkapi kekurangan alat dan bahan operasi.

“Dokter tidak pernah meminta pasien untuk membeli obat ketempatnya. Namun kenapa sampai obat tersebut tidak ada di apotik lain, karna obat tersebut tidak dapat di jual bebas. Untuk mendapatkannya harus melalui prosedur menggunakan SP Psitropika, tanda tangan kepala dinas kesehatan, dan yang berkompeten memesan obat tersebut adalah seorang apoteker dan hanya rumah sakit dan klinik yang boleh memilikinya. Tentunya dengan pantauan BPOM. Jadi atas dasar kemanusiaan apotik diharapan bisa melayani resep tersebut,” tuturnya.

Operasi berjalan lancar, sang ibu selamat namun bayi meninggal dengan kondisi kulit lepuh-lepuh pecah, plasenta membiru, perut bengkak, air ketuban berbau serta berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa bayi meninggal dalam tahap maserasi tingkat II yang artinya bayi telah meninggal lebih dari 2×24 jam atau 48 jam bayi telah meninggal dalam rahim sang ibu.

“Hal ini telah membantah alibi bidan Masria, yang mengatakan bahwa pasien datang ke RS dalam keadaan kondisi bayi masih hidup, serta membantah pemeriksaan dokter yang dilakukan bidan pengabdi yang mengatakan bahwa jantung bayi masih berdetak, kemungkinan suara yang didengar bidan tersebut adalah suara jantung sang ibu,”ucapnya.

Atas dasar itulah, kami sebagai tim kuasa hukum dokter Tamsila akan menindak lanjuti persoalan pencemaran nama baik ini sampai ke meja hijau.

“Kami akan mempersiapkan segala sesuatunya tentang persoalan ini baik secara pidana ataupun perdata. Dan kami akan melaporkan kasus ini ke Polres Muna dan Polda Sultra dalam waktu dekat,” tutupnya.

Liputan   : Sulfikar

You cannot copy content of this page