KENDARI, mediakendari.com – Sengketa ganti rugi lahan pada PSN Bendungan Ameroro di Kabupaten Konawe akhirnya bergulir di DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra). Setelah menuai beragam konflik kepentingan atas penanganan dampak sosial didalamnya, kasus yang menyeret dugaan tindak pidana hingga pelanggaran HAM masyarakat adat ini mengharuskan sejumlah komisi di DPRD Sultra melakukan hearing atau Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (10/7/2024).
Selain pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi IV Kendari dan Pemprov Sultra, Hearing yang digelar menindaklanjuti surat Ahli Waris Walaka Ngginiku, Hasan alias Puo-Puo tertanggal 27 Mei 2024 ini juga dihadiri Kadis Sumber Daya Air (SDA) dan Bina Marga Sultra, Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sultra, Kepala Biro Hukum Setda, Kepala Biro Pemerintahan Setda Sultra, Camat Uepai, Kades Tamesandi serta pihak ahli waris sendiri.
Diketahui sebelumnya, kisruh yang terjadi sejak pengerjaan Bendungan Ameroro hingga peresmiannya belum juga usai. Terbaru, laporan dugaan tindak pidana mafia tanah yang dilakukan dengan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan di atas objek tanah Walaka Ngginiku pula memasuki tahap selanjutnya.
Setelah surat penyampaian barang bukti sehubungan dengan dugaan tindak pidana mafia tanah dan ancaman kekerasan guna kejahatan jabatan diserahkan oleh Kuasa Ahli Waris Walaka Ngginiku ke pihak Kejaksaan, kini giliran DPRD Sultra diminta untuk segera melakukan hearing terhadap Satgas dan pihak terkait berdasarkan Surat Pengajuan RDP tertanggal 27 Mei 2024 lalu.
Kuasa Ahli Waris Walaka Ngginiku, Muhammad Azhar menyatakan, keberadaan Tanah Walaka memiliki eksistensi yang jelas dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Meski mengacu pada Pasal 5 Perpres No 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, maka negara dalam hal ini pemerintah tetap memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan ganti rugi dampak yang timbul dari Pembangunan Ameroro diatas tanah Walaka Ngginiku dan tanah masyarakat lainnya yang berhak.
Selain itu, Perpres tersebut juga menyebutkan penguasaan tanah oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 di mana tanah tersebut harus memenuhi persyarakatan yakni telah menguasai dan memanfaatkan tanah secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus menerus, dan menguasai dan memanfaatkan tanah dengan etikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat diakui dan dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan atau lurah/kepala desa setempat.
Pada hearing yang digelar DPRD Sultra melibatkan Komisi I dan III bersepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus yang menimpa Rumpun Walaka Ngginiku akibat pembangunan PSN Bendungan Ameroro.
Ketua Komisi III DPRD Sultra, Suwandi Andi mengatakan, kompleksnya persoalan penanganan dampak sosial PSN itu mengharuskan pihaknya melakukan peninjauan lebih jauh melalui Pansus guna menemukan duduk perkara untuk melahirkan rekomendasi kepada pihak terkait.
“Kita sudah sepakat bentuk Pansus, kita tinggal ajukan ke pimpinan DPRD,” kata Suwandi Andi.(red)