Reporter : Rezki Amalia
Penulis : Rezki Amalia
Jalan Malaka mungkin jadi nama jalan yang kurang familiar untuk sebagian warga Kota Kendari, tidak lebih populer jika dibandingkan dengan Jalan Saranani atau Jalan Martandu. Sebagian dari kita masih bertanya-tanya dimana letaknya jika disebutkan nama jalan tersebut. Namun untuk perumahan elit Citraland Kendari, siapa yang tidak mengenal kawasan perumahan yang boleh dikata rumah dari golongan orang-orang dengan status sosial menengah ke atas. Ya, perumahan elit itu terletak di jalan Malaka Kota Kendari.
Jalan Malaka! Jalan yang setiap Jumat terlebih bulan Ramadhan selalu diramaikan dengan pemandangan manusia gerobak. Itu merupakan istilah yang merujuk pada orang yang berjalan mendorong atau mengayuh gerobak ukuran 2 x 1 meter, tidak jarang membawa anak kecil dalam gerobak, memungut barang-barang bekas yang sudah tak terpakai seperti kardus dan beberapa jenis sampah plastik.
Saat bulan Ramadhan jumlah manusia gerobak lebih banyak jika dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. Pada waktu menjelang berbuka puasa di jalan itu selalu disuguhkan pemandangan dua strata sosial yang sangat berbeda dan tentunya serasi, mereka adalah si pemberi dan penerima, penderma dan yang diderma.
Tidak hanya di Jalan Malaka, MTQ Kendari yang menjadi landmark dan tujuan wisata serta menjadi pusat jantung Kota Kendari juga tak luput dari si manusia gerobak, jumlahnya cukup banyak terlebih diwaktu sore menjelang berbuka puasa.
Manusia gerobak menjadi fenomena suatu kota. Pertanyaannya kemudian, dari mana datangnya manusia gerobak musiman? Yang hanya muncul pada saat Ramadhan? Tidak ada yang tahu pasti jawaban itu. Saya pernah bertemu dengan manusia gerobak di Jalan Tebaununggu, Kota Kendari tepatnya di belakang MTQ sekitar pukul 21.30 Wita. Dua bapak-bapak yang duduk di trotoar jalan menunggu waktu subuh tiba. Sebelumnya terdapat ibu dan seorang anak lelaki duduk bersama diantara mereka, namun tidak lama saat akan saya hampiri ibu dan anak itu sudah bersiap untuk beranjak dari sana. Terlihat dari jauh salah satu dari bapak-bapak itu duduk sembari mengisi kebosanan dengan bermain android, saat akan saya hampiri, android itu disembunyikan.
Mereka berdua bernama Pak Untung dan Pak Ali. Ibu dan anak tadi merupakan istri dan anak dari pak Untung. Kata Pak Untung, istri dan anaknya beranjak pulang ke lokasi tinggalnya karena anak lelakinya telah mengantuk.
Baca Juga : Dirut PDAM Kendari Diduga Korupsi Dana BPJS Ketenagakerjaan Karyawannya
Tinggallah mereka berdua, Pak Untung dan Pak Ali yang terus melanjutkan peristirahatan di trotoar jalan. Meminjam istilah Twikromo (1999), mereka inilah yang disebut dengan pemulung jalanan. Pada siang hari mereka berkeliling dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Pada malam hari mereka menempati emperan toko, pinggiran jalan, kolong jembatan, dan ruang publik lainnya untuk beristirahat.
Dua orang pria yang berstatus sebagai seorang bapak serta suami duduk di trotoar jalan hingga waktu subuh tiba ternyata bukan tanpa alasan. Mereka menanti buangan sampah plastik seperti botol mineral dan kaleng-kaleng bekas di sejumlah warung dan rumah makan begadang sekitaran MTQ. Katanya rumah makan begadang kerap kali membuang sampah sekitar pukul 03.00 Wita dini hari.
”Biasa kami pulangnya subuh karena menunggu buangan sampah plastik dari warung makan begadang, pulang subuh dan kembali keluar mencari nafkah pada siang hari” Kata Pak Untung.
Munculnya manusia gerobak di sebuah kota menggambarkan adanya ketimpangan dalam sistem kota. Beberapa faktor seperti tidak meratanya pembangunan di daerah, sikap mental yang telah menjadi budaya tidak mau bekerja keras, dan dibarengi dengan kebiasaan orang Indonesia yang sangat gemar memberi sedekah kepada orang-orang yang kurang mampu yang pada akhirnya semakin menambah jumlah manusia gerobak, pengemis, dan anak jalanan khususnya di Kota Kendari. Alkostar (1984) menyebutkan faktor internal munculnya gelandangan meliputi sifat-sifat malas, tidak mampu bekerja, dan mental yang tidak kuat, serta adanya cacat fisik ataupun cacat psikis.
Baca Juga : Lagi, Tim Ditresnarkoba Polda Sultra Amankan Pengedar Sabu di Kendari Barat
Kembali ke Pak Untung dan Pak Ali. Mereka berdua bukan bagian dari kelompok yang disebut manusia gerobak musiman atau dadakan. Keduanya bukan warga asli Kota Kendari, mereka perantau dari Jawa Tengah tepatnya Kota Solo. Tinggal di Kendari sejak tahun 2004 dan mulai bekerja sebagai pemulung hampir bersamaan kurang lebih sejak enam tahun terakhir atau sejak tahun 2016. Menurut keduanya, warga Kota Kendari adalah warga yang sangat baik dan berjiwa sosial tinggi. Pak Untung dan Pak Ali pun tidak menolak jika ada yang memberikan bantuan berupa uang, nasi kotak dan sembako. Menurut Pak Untung pemberian sedekah dalam bentuk uang atau makanan itu semua ada jam-jam tertentunya. Biasanya jika waktu sore mereka kebanyakan menerima nasi kotak dan tak jarang juga sembako. Namun jika waktu malam hari tiba tepatnya tengah malam, mereka disedekahkan uang tunai.
Saya sedikit tersentil dengan pengakuan Pak Untung, ia menilai pembagian sembako yang dilakukan warga Kota Kendari sangat memilih gender. Biasanya masyarakat Kendari memilih pemulung perempuan untuk diberikan sembako, meskipun mereka harus melewati beberapa orang pemulung laki-laki untuk menuju ke satu orang pemulung perempuan. Padahal semuanya semua, sama-sama seorang pemulung yang sementara mencari nafkah untuk keluarga tercinta.
“Untuk sembako biasanya warga Kendari pilih-pilih, kebanyakan cuma perempuan yang dikasih. Kalau laki-laki seperti kami biasanya dilewati, padahal kita sama-sama pemulung yang punya juga anak istri”. Ungkap Pak Untung.
Baca Juga : Tim Aligator Polres Kolaka Utara Ringkus Spesialis Pencuri Tabung Gas dan HP
Malam semakin larut untuk cerita yang semakin asik bersama Pak Untung dan Pak Ali diatas trotoar jalan di Jalan Tebaununggu. Awalnya mereka berdua bekerja sebagai kuli bangunan. Mereka berhenti dan memilih menjadi seorang pemulung dengan sebuah membawa sebuah gerobak. Menurut Pak Ali menjadi kuli bangunan sangat melelahkan, penghasilan yang diperoleh antara menjadi kuli dan mulung dirasa hampir sama, sekitar 70 ribu rupiah perhari. Victor E Frankl dalam buku Naisaban (2004) mengatakan makna hidup adalah arti hidup bagi seorang manusia. Arti hidup yang dimaksud adalah arti hidup bukan untuk dipertanyakan, tetapi untuk direspon karena kita semua bertanggung jawab untuk suatu hidup. Ternyata menjadi seorang manusia gerobak, memulung dan menggelandang bukan lagi satu-satunya opsi. Gaya hidup menggelandang telah menjadi pilihan dan bukan sebabkan faktor keterbatasan ekonomi. Sekali lagi, itu adalah pilihan.
Ada yang menarik dari sekadar cerita-cerita hidup mereka berdua, yakni cerita bahwa ternyata terdapat salah satu manusia gerobak palsu di Kota Kendari yang memiliki mobil dan rumah yang besar terletak di daerah Nanga-nanga. Itu sudah menjadi rahasia umum yang diketahui semua kelompok pemulung dan manusia gerobak bahkan gelandangan di Kota ini. Penghasilan yang didapatkan manusia gerobak palsu itu bisa sampai satu juta rupiah per harinya. Kata Pak Untung trik yang digunakan si manusia gerobak palsu itu sangat bagus.
Diceritakan, manusia gerobak palsu itu merupakan seorang ibu yang membawa seorang anak laki-laki didalam gerobaknya, tidak jarang anaknya ia simpan dipelukannya, digendongnya mondar-mandir di Jalan Malaka di bawah terik sinar matahari disiang bolong. Tentu wajah dari ibu itu ditutup menggunakan baju yang dijadikan sebagai topeng, wajah anaknya saja yang dibiarkan terbuka dan terlihat oleh orang-orang.
“Ciri-cirinya dia pakai daster sampai dibawah lutut, terus pakai celana panjang. Wajahnya ditutup pakai kain. Modusnya, dia dorong gerobak, anaknya disimpan diatas gerobak untuk tidur, kadang juga anaknya digendong terus kerjaannya cuma jalan bolak balik dari Citraland ke Jembatan Triping. Kalau malam takbiran dia bisa dapat jutaan, kondang dia. Tapi dia bukan pemulung” Kata Pak Untung.
Jalan Malaka, dinilai jadi titik mendulang penghasilan terbanyak bagi beberapa pemulung dan manusia gerobak. Tergantung siapa yang berhasil terlihat sangat menyedihkan.
Selain ibu si manusia gerobak palsu itu, ada juga manusia gerobak palsu lainnya. Lagi-lagi seorang ibu dengan tiga orang anaknya yang biasa duduk mangkal di depan RSUD Abunawas Kota Kendari yang diungkap Pak Ali dan Pak Untung perhari ibu bisa mendapatkan 15-20 karung beras hasil sedekah. Kenapa dikatakan manusia gerobak palsu, sebab jika waktu malam tiba, ibu dan ketiga anaknya akan dijemput oleh laki-laki yang merupakan suami dari ibu itu dengan menggunakan bus damri.
Apakah sebagian besar manusia gerobak di Kota Kendari adalah mereka orang-orang yang benar tak punya atau hanya pura-pura tak punya? Bisa keduanya. Bisa jadi mereka benar-benar tak punya. Tapi bisa jadi juga banyak diantara mereka yang memiliki kendaraan dan rumah yang layak namun berpura-pura tak punya untuk mengeksploitasi rasa iba dan memperdaya kita. Siapa yang tahu?