Keprihatinan saat ini selain krisis ekonomi global melanda seluruh dunia adalah perubahan iklim global, yang dampaknya sangat menakutkan dan tidak berbatas di seluruh dunia, dimana bisa mempengaruhi seluruh sumberdaya kehidupan mahluk hidup termasuk sumberdaya alam tak hidup.
Hal ini diungkapkan Rektor ITK Buton, Prof Ir H La Sara MS PhD, belum lama ini di Jakarta, saat menjadi narasumber dan pakar, dalam topik kebijakan penataan laut Indonesia. Bahkan menurutnya, seluruh negara saat ini menaruh perhatian serius mengatasi dampak yang mungkin timbul melanda kehidupan manusia di negaranya masing-masing.
Tindakan nyata yang harus dilakukan adalah, masih dia, pencegahan bencana iklim ekstrim karena pemanasan global. Laporan Panel Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change = IPCC) pada tahun 2018 memberikan peringatan tentang dampak pemanasan global ini. Dalam “Perjanjian Paris” disebutkan target yang harus dipenuhi adalah maksimal kenaikan suhu pada 1,5oC.
“Diprediksi bahwa jika pemanasan global mencapai +2°C pada tahun 2050, maka dampaknya adalah kerugian masif dalam sektor ekologi, ekonomi, sosial, dan politik, tidak terkecuali Indonesia sebagai negara kepulauan diperkirakan akan menderita kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Adaptasi akan menjadi semakin sulit seiring dengan percepatan perubahan iklim,” ucapnya.
La Sara melanjutkan, laporan terbaru pada Januari 2023 dari World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan, suhu rata-rata global pada 2022 mencapai 1,15°C. Diprediski tingkat pemanasan global serta tren perubahan iklim ini masih akan tetap berlanjut, dan dikhawatirkan angkanya > 1,5°C sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Kenaikan suhu global ini menimbulkan kenaikan permukaan laut pada tahun 2100 lebih tinggi daripada yang terjadi pada tahun 2014 akibat pencairan es di Antartika.
“Dampaknya terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan lautan sangat besar, baik menyangkut kehidupan organisme, kerusakan ekosistem penting seperti coral reef, padang lamun, dan hutan mangrove, kerusakan bangunan fisik (infrastruktur) di wilayah pesisir, dan lain-lain,” paparnya.
Dalam diskusi tersebut turut memberikan pandangannya antara lain Sekretaris Dirjen PRL KKP, Ketua Umum Iskindo, Prof. Dr. Edwin Aldrian, Prof. La Sara, Ph.D (Rektor Institut Teknologi Kelautan Buton/FP2TPKI), Dr. Andreas D. Patria (Kemenkomarves), Dr. Ersti Y. Sari (Dekan FIKP UMRAH/FP2TPKI), Prof. Maftuch (Ketua FP2TPKI, diwakili oleh Dr. Abubakar, Prof. Ir. Tri Winarni Agustini (Dekan FPIK UNDIP/FP2TPKI), Direktur ASPEKSINDO, Direktur WALHI, CEO IOJI, dan beberapa organisasi pemerintah dan lainya.
Dalam diskusi tersebut sepakat bahwa publik dan pengambil kebijakan dalam mengelola kelautan Indonesia memerlukan referensi kuat bercorak inklusif dari berbagai pihak kunci guna menghasilkan rekomendasi kebijakan tepat yang berpihak pada keberlanjutan mewujudkan Indonesia emas 2045. Persiapan rumusan kebijakan ini memerlukan referensi kebijakan untuk memetakan perubahan yang perlu dilakukan guna memastikan kejayaan kelautan dan perikanan Indonesia, mendorong pengentasan kemiskinan dan pelestarian ekosistem pesisir dan pulau kecil di Indonesia.
La Sara selanjutnya menyampaikan bahwa negara yang mempunyai 34 provinsi (327 kabupaten/kota pesisir dan 187 kabupaten/kota daratan, 131 daerah aliran sungai, 17.504 pulau kecil dengan panjang garis pantai 108.000 km sangat memerlukan penataan ruang lautan terpadu dengan daratannya yang pendekatannya melibatkan daerah aliran sungai. Penataan ruang laut dengan ruang daratan ini harus tepat, pas, serasi, dan harmonis – ibarat baut dengan mur (berbeda bentuknya tetapi terdapat ruang yang menyatukannya). La Sara menyampaikan bahwa kebijakan penataan ruang laut ini mengakomodir pendekatan integrasi perencanaan, konektivitas dan integrasi infrastruktur, dan tetap mendorong ekosistem peningkatan daya saing dan daya tahan.
Masalah urgen lainnya yang mempengaruhi potensi sumberdaya kelautan Indonesia terletak pada alur kepulauan Indonesia (ALKI) dan transportasi laut yang kemungkinan membuang sampah plastik dan bahan berbahaya lainnya.
Pada akhir presentasinya, menyampaikan catatan penting yang harus diperhatikan dengan serius dan hati-hati, yaitu peta alur migrasi biota laut, penataan ruang pesisir (terutama program pemerintah dalam pengembangan budidaya udang dalam integrated and revitalization shrimp farming program, dan marine protected area. Ruang terakhir ini sangat beralasan untuk diperhatikan karena pemerintah mengalokasikan 97,5 juta ha untuk Kawasan Konservasi Perairan. Pada tahun 2021 lalu kita baru mencapai 28,4 juta ha (8,4% dari luas perairan Indonseia). Pemerintah menarget pada tahun 2030 mencapai 32,5 juta ha (10%) dan tahun 2045 mencapai 97,5 juta ha (30%). Untuk mewujudkan rencana ini, La Sara menyarankan agar semua stakeholder serius dalam perencanaan dan berpartisipasi penuh mewujudkan pencapaian target tersebut. Selain itu perlu ditetapkan alokasi persentase capaian setiap provinsi/kabupaten/kota – berdasarkan potensi sumberdaya laut dan luas perairan masing-masing. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian KP tentang perluasan wilayah konservasi laut sebagai salah satu pilar ekonomi biru yang diprogramkan. Juga perhatian di daerah agar lebih menjaga penerapan pembagian zona penangkapan ikan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP), terutama di WPP 714 sebagai nursery ground sehingga pada penangkapan ikan pada zona ini sangat terbatas.
“Kita semua berharap bahwa penataan ruang laut dengan sumberdayanya yang mampu mewujudkan visi Indonesia 2045 di jaga keberlanjutanya dengan baik,” pesannya.
Reporter : Rahmat R.
Facebook : Mediakendari