FEATURED

Kisah Mahmud, Sekolahkan Empat Anak dari Batu Gunung

1110
×

Kisah Mahmud, Sekolahkan Empat Anak dari Batu Gunung

Sebarkan artikel ini
Rahmad ,saat beristrahat di kaki gunung Tompobatu.Foto: Mediakendari.com/Hasrun

Reporter: Hasrun – Kabupaten Bombana
Editor: La Ode Adnan Irham

“Kalau hujan biasanya kena kaki, sampai berdarah-darah,” sahut Mahmud, warga Desa Tompobatu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Pria berusia 37 tahun itu sehari-harinya bekerja mengumpulkan batu, batu itu dijual yang hasilnya untuk dapur tetap mengepul.

Mahmud sudah tahu resiko tertimpa batu dan peralatan kerja pasti akan dialami, termasuk bertaruh nyawa. Namun semangat menyekolahkan empat buah hatinya, jadi pendorong kerja berat yang sudah dilakoninya sejak tiga tahun terakhir.

Pukul 08.00, Mahmud sudah harus berangkat menuju Gunung Tompobatu yang tak jauh dari rumahnya.

Suguhan kopi hitam dan sarapan buatan Isterinya, Sribulan, yang rutin disiapkan, seolah ikut mengantar Sang Suami yang pergi ditemani Palu dan Betel, alat kerjanya.

Mahmud dan Sribulan dikaruniai lima anak, empat sudah sekolah. Mereka bermukim di puncak jalan Tompobatu, Kelurahan Lameroro, Kecamatan Rumbia.

Kepada reporter MEDIAKENDARI. com, Senin (7/1/2020) Mahmud bercerita, dalam sehari ia mampu mengumpulkan satu kubik, namun akan jauh berkurang, jika cuaca tidak bersahabat.

Para pengolah batu gunug di Tompobatu. Foto: Mediakendari.com/Hasrun

Batu yang berhasil dikumpulkan, dijual dengan harga Rp 400 ribu. Rp 50.000 wajib disetor ke pemilik lahan sebagai uang sewa tempat.

“Kalau harga tergantung kualitas batu, ada yang 400 ribu ada juga 500 ribu. Alhamdulilah saya hidup dengan keluarga dari situ,” tuturnya.

“Kita harus gali dulu, habis itu kita pecahkan  batunya. Kalau ada yang terlalu besar terkadang kita bakar dulu, biar lebih mudah retak,” kata Mahmud dengan ramah.

Mahmud yang bekerja dengan beberapa rekannya di gunung, mengaku kesulitan  mencungkil dan meretakkan batu ketika hujan. Karena licin tak jarang, batu dan betel mendarat di kakinya.

Mayang kelas 3 SMP, Sari kelas 1 SMP, Nur Azizah kelas 5 dan Muh Akbar Kelas 1 SD, harus terus melanjutkan pendidikan mereka. Mahmud takkan membiarkan anak-anaknya mengalami nasib serupa dengannya, putus sekolah.

“Karena meraka mas saya harus semangat,” katanya.

“Jadi biar saya yang menderita, asal anak – anakku jangan. Ini juga yang selalu saya nasehatkan ke meraka jangan ikuti bapak, kalian harus sekolah yang tinggi supaya nanti bisa dapat kerja yang bagus,” katanya lagi.

Banyak Muatan dan Puncak Kelelahan

Pria berdarah bugis ini bekerja mengumpul batu sejak tiga tahun silam. Setiap tahun di bulan November orderan muatan batu selalu banyak. Barangkali untuk keperluan bangunan proyek.

“Biasanya bulan 10 banyak muatan, tapi di sini saya kelelahan dan capek karena belum penuh mobil satu, sudah datang lagi yang lain. Kadang sepi juga, tapi saya syukuri karena ini adalah rezeki,” katanya.

Tak Ada Emas, Batu pun Jadi

Awalnya Mahmud bekerja di tambang mencari emas. Namun karena hasil dari mencari emas di Desa Wumbumbangka, Kecamatan Rarowatu
dianggap tidak mencukupi lagi untuk kebutuhan keluarga, ia banting stir menjadi pengolah batu.

“Dulu habis kerja di tambang, hanya saja karna hasil sudah tidak ada lagi. Satu hari hanya bisa beli bensin, makanya ikut teman memulai mengumpul batu. Alhamdulillah sampai sekarang masih bertahan,” kata Mahmud bercerita.

You cannot copy content of this page