OPINI

Lekak-Lekuk Perilaku Retorika Politik

1167
×

Lekak-Lekuk Perilaku Retorika Politik

Sebarkan artikel ini
Rusli
Rusli


Oleh : Rusli
Ungkapan sederhana“Rusli 12/12/2020, Secara filosofis, retorika dapat dirunut dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Filsuf Aristoteles mempertegas bahwa emosi manusia bervariasi dan ini dapat dipergunakan oleh seorang orator atau pembicara untuk mempengaruhi audiensnya.

Aristoteles pun memberikan arti bahwa retorika sebagai seni yang memiliki nilai-nilai tertentu. Nilai itu adalah kebenaran dan keadilan yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat. Bagi Aristoteles, retorika memiliki beberapa fungsi, yaitu pengetahuan yang mendalam tentang retorika dan latihan-latihan yang dilakukan bisa mencegah retorika digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi manusia oleh karenanya itu dalam retorika sangat berguna sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi. Sekalipun setiap warga negeri menutup matanya dengan selebaran kain tebal tanpa pori-pori udara, tetap saja terlihat secara jelas lekak-lekuk prilaku retorika politik yang banal itu. Lihat pada hegemoni penampilan produk pada politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat.

Politik direduksi menjadi pasar, politikus dianggap pengusaha dan pasar adalah politik, sedangkan pemilih adalah konsumen. Semua tindakan politikus dinilai sebagai pilihan rasional diukur dari ongkos atau biaya dan keuntungannya. Semua yang dilakukan politikus dinilai sebagai bentuk investasi untuk memenangkan pasar, investasi, entah waktu, tempat, komunikasi, dan konsultasi. Semua ada biaya, entah keuangan, biaya psikologis, atau biaya politik. Dalam arti itu politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Maka tidak heran bila masyarakat awam selalu menganggap aktivitas politik tak ubahnya sebuah kubangan lumpur yang mengotori siapapun.

Banyaknya partai-partai yang turut berperan serta dalam pemilu atau dikenal dengan sistem multipartai, menimbulkan suatu konsekuensi yaitu tidak adanya partai yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak suara dalam parlemen. Kondisi itu memaksa partai-partai politik untuk saling berkoalisi dalam membentuk pemerintahan. Implikasinya setiap partai politik yang ingin maju ke tahap pilpres harus mengadakan koalisi dengan partai lain sehingga dapat mendorong jumlah suara untuk mengusung calon yang dipilih oleh partai koalisi. Sebuah retorika politik yang tercipta dari seorang pemimpin hendaknya dipahami sebagai suatu tindak tutur ilokusi dan perlokusi.

Namun, kecenderungan masyarakat hanya menikmati dan melihat retorika tersebut hanya pada tataran lokusi, perangi korupsi atau berantas korupsi, kata tuntas, perangi tidak dipahami maksudnya secara pragmatik. Artinya, ada suatu tindakan yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan itu. Apa yang terjadi selama ini hanya dapat di anggap bahwa retorika itu hanya diulang-ulang dan kasus demi kasus masih saja terjadi, kata tuntas artinya menjadi tidak tuntas.
Namun tidak lazim lagi bahwa setiap konteks pesta demokrasi, retorika yang bertaburan terkadang hanya untuk dibaca, diulang-ulang untuk membujuk dan mempengaruhi pikiran masyarakat namun realisasinya perlu dipertanyakan. Apakah benar-benar sudah dimaknai secara pragmatik berdasarkan konteks yang ada dan diikuti oleh perilaku yang berkarakter seperti keinginan yang dituangkan dalam retorika itu atau masih sebatas retorika politik. Perilaku ditunjukkan para politisi itu bukan sungguhan, hanya sebuah suguhan, akan tetapi masyarakat senang dengan hal seperti itu ketika ada suatu penyampaian yang sifatnya hanya suatu janji yang di lontarkan pada visi misi. Kepercayaan tentang sistem politik stabil menjadi kontradiktif ketika dikaitkan dengan kekuasaan, karena sesungguhnya kekuasan yang dicari bahkan diperebutkan dengan memperoleh suara terbanyak dalam kontestasi politik tidak akan pernah stabil, akan terjadi terus konflik di dalam organisasi politik dan juga di luar organisasi politik akibat dari kontestasi politik.

Relasi antara politik, pribadi dan Tuhan menjadi standar perilaku politik dalam kontestasi politik. Hakikatnya, rana politik mempuanyi suatu nilai estetika dalam berpolitik terliat dari cara stakeholder politik dalam menyuarakan ataupun mensosialisasikan ide-ide ataupun konsep yang ditawarkan oleh stakeholder tersebut. Misalnya, penyebaran dan pemasangan atribut partai yang tertata rapi sehingga nilai estetika tersebut dapat menunjukkan ide-ide maupun konsep nilai politik yang dimiliki. Dengan demikian, nilai luhur demokrasi tersebut dapat ditanamkan sebagaimana mestinya. Karena salah satu poin yang perlu diketahui dalam pendidikan politik, yakni nilai estetika dalam berpolitik. Bagaimana yakinnya masyarakat terhadap satu kandidat politisi tertentu yang mampu membangun masa depan bersama, masa untuk bertindak nyata melalui kekuatan pidato yang disampaikan. Melalui retorika persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka, sebagai substansi perasaan, konsep, citra, gagasan, dan sikap yang sama.
Konstruksi pesan/retorika yang disampaikan secara persuasi politik harus dipahami sebagai upaya-upaya nyata yang dilakukan dalam proses komunikasi di mana persuasi politik (pesan) tidak dapat dilepaskan dari pribadi aktor politik (komunikator), dan jangkauan khalayak sasaran pesan (komunikan), di mana harus dipahami bahwa kontrol sosial dapat dilakukan jika khalayak yang dituju adalah bahagian dari orang-orang di dalam organisasi yang diikat oleh ideologi, cita-cita dan impian yang sama pesan politik yang digunakan adalah propaganda. Kemudian pesan satu kepada banyak orang di luar organisasi berakibat pada keselektifan konvergen, dan diperkuat dengan retorika politik sebagai konstruksi pesan persuasi antarpribadi yang memungkinkan terbentuknya nilai, keyakinan dan komunikasi bersama berdasarkan pada negosiasi. Akhir kata, penanaman nilai estetika dalam berpolitik diharapkan menjadi salah satu metode dalam memberikan pendidikan politik bagi warga Indoensia.

You cannot copy content of this page