INTERNASIONAL

Mahasiswi Indonesia Dorong Kampus AS Sediakan Makanan Halal dan Tempat Shalat

561
×

Mahasiswi Indonesia Dorong Kampus AS Sediakan Makanan Halal dan Tempat Shalat

Sebarkan artikel ini
Angalia Ardyasa, Mahasiswa Muslim Indonesia di University Of Wisconsion-Masison, As.

Bagi mahasiswa muslim yang tinggal di asrama atau perumahan kampus Amerika terkadang sulit untuk mendapatkan makanan bersertifikasi halal, sebagai contoh daging ayam atau sapi yang dipotong secara halal.

Inilah yang kemudian mendorong mahasiswi muslim asal Indonesia di University of Wisconsin-Madison, di negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat, Agalia Sakanti Ardyasa, untuk mengusulkan pengadaan makanan halal di kantin kampusnya.

Agalia dikenal sebagai mahasiswi yang sangat aktif berorganisasi di kampus. Selain menjabat sebagai wakil presiden dari Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat di wilayah Madison, ia juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus, tepatnya sebagai Equity and Inclusion Committee Chair yang membantu menciptakan kampus yang lebih inklusif bagi mahasiswa yang memiliki latar belakang yang beragam.

Perjuangan Agalia Adakan Makanan Halal di Kampus Tahun 2018, kampus Agalia membuat peraturan baru yang mengharuskan para mahasiswa tahun pertama membeli paket makanan. Menurut Agalia, peraturan tersebut kurang cocok bagi mereka yang memiliki diet khusus dan tidak bisa makan di kantin.

Sebagai muslim ia lalu menyuarakan pendapatnya, bahwa para mahasiswa muslim yang harus mengeluarkan uang untuk membeli paket makanan tersebut, pada akhirnya tidak bisa mengkonsumsi makanan yang tersedia di kantin. Agalia merasa pihak kampus harus bertanggung jawab agar semua mahasiwa dapat mengkonsumsi makanan yang tersedia kantin. 

“Definisi halal kan berbeda-beda ya, untuk kebanyakan orang. Tapi untuk banyak teman-temanku, terutama yang orang-orang Malaysia, halal itu definisinya adalah dipotong dengan bismillah. Jadi chicken atau no pork, itu belum consider halal untuk mereka,” papar Agalia kepada VOA Indonesia belum lama ini.

Isu tersebut menjadi perbincangan bahwa keberadaan komunitas muslim di kampus juga perlu perhatian. Setelah melakukan banyak diskusi dan pertemuan dengan para anggota BEM lain, serta organisasi Muslim Students Association di kampus, Agalia dan tim berusaha mencari solusi bagi mereka yang harus mengkonsumsi makanan halal, kosher bagi penganut Yahudi, dan vegetarian. Pihak kampus pun menanggapi dengan positif ide untuk membuat makanan yang tersedia di kantin lebih inklusif.

Atas usaha dan kerja keras Agalia dan tim, kini kantin di kampus University of Wisconsin-Madison resmi menyediakan makanan halal berupa beragam menu ayam.

Melalui situs resmi University of Wisconsin-Madison, pihak kampus juga mengatakan bahwa menu halal lain dapat dipesan secara khusus dari waktu ke waktu. Dilansir dari situs tersebut, kepala bagian penyediaan pangan dan kuliner kampus, Peter Testory, menyatakan “Semua ayam dada dan paha tanpa tepung, tulang, dan kulit di kantin kami memiliki sertifikat halal.”

“Mereka sangat mendengarkan keluh kesah mahasiswa dan mereka mencoba sebisa mungkin untuk meng-accommodate the need of students,” jelas mahasiswi S1 yang sudah memasuki semester ke-4 di University of Wisconsin-Madison ini.

“Sebagai Equity and Inclusion Chair kan making sure semua anak merasa included di kampus. Jadi ini adalah salah satu effort-ku untuk mencapai hal tersebut sih sebenarnya,” tambahnya.

Selain mengusahakan adanya makanan halal, Agalia dan rekannya yang adalah seorang muslim asal Pakistan juga berusaha menambahkan adanya tempat untuk salat di kampus.

“Kita menyebutnya reflection space ya supaya nggak terkesan mendukung satu agama atau lainnya,” kata Agalia.

“Jadi kita mencoba untuk menambah jumlah reflection spaces on campus, bisa buat segala agama, bisa buat menenangkan juga, bisa buat yoga juga, bisa buat meditasi juga. Tapi intinya, kalo aku sih ini lebih personal lagi dari kesulitan aku untuk salat di tengah kampus di tengah hari gitu,” tambah mahasiswi jurusan ekonomi ini.

Agalia Ardyasa, mahasiswi Indonesia di University of Wisconsin-Madison (dok: Agalia Ardyasa)

Menurut situs University of Wisconsin-Madison, reflection space ini merupakan salah satu permintaan popular dari para mahasiswa yang memerlukan tempat untuk berdoa atau meditasi tanpa harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi seperti di balik rak buku perpustakaan.

Bagi Agalia, dengan adanya makanan halal dan juga tempat untuk salat atau reflection space ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih beragam di kampusnya.

University of Wisconsin-Madison bukanlah satu-satunya kampus di Amerika yang menyediakan tempat untuk beribadah atau meditasi. Sejak sekitar sepuluh tahun lalu, kampus George Washington Universiy di Washington, D.C. juga mendedikasikan sebuah ruangan untuk digunakan sebagai musala bagi para muslim, yang juga terbuka bagi mahasiswa yang memiliki latar belakang agama lain.

Beberapa kampus lain di Amerika yang juga menyediakan musala antara lain adalah Stanford University di California, Massachusetts Institute of Technology di Massachusetts, dan Yale di Connecticutt. Tidak hanya itu, selain tempat salat, beberapa kampus juga mengadakan salat Jum’at berjamaah seperti di Harvard University di Massachusetts dan Georgetown University di Washington, D.C.

Balada Puasa dan Sahur Jauh Dari Keluarga, mengenai puasa di Amerika, Agalia bisa merasakan perbedaannya dengan di Indonesia, terutama ketika jauh dari keluarga dan harus sahur sendirian.

“Sahur malah kadang aku jam dua pagi, habis belajar, sahur, baru tidur,” ujarnya.

Namun, tahun ini ia bersyukur karena teman serumahnya adalah seorang muslim asal Malaysia, sehingga bisa sahur dan buka puasa bersama.

Menurut Agalia, populasi muslim di Madison memang tidak terlalu banyak. Berdasarkan data tahun 2019 dari situs World Population Review, populasi di kota Madison diperkirakan mencapai sekitar 247 ribu orang. Situs BestPlaces yang mengumpulkan data populasi dari berbagai sumber menyebutkan bahwa 0,5 persen dari penduduk kota Madison terafiliasi dengan agama islam.

Mahasiswa muslim di kampus Agalia yang berasal dari Indonesia pun sangat jarang. Agar bisa berkumpul dengan para muslim lain untuk merasakan bulan Ramadan, ia kemudian bergabung dengan komunitas-komunitas muslim dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Pakistan.

“Karena Madison juga populasinya nggak terlalu banyak, jadi nggak ada festival apa-apa. Paling ya anak-anak Muslim Student Association-nya atau Malaysian Student Association-nya (mengadakan) iftar kadang atau (mengadakan) pengajian,” ceritanya.

Agalia Ardyasa, Mahasiswi Indonsia di University of Wisconsin-Madison, AS (Dok: Agalia Ardyasa)

Beberapa tahun terakhir bulan Ramadan di Amerika memang jatuh pada musim panas, sehingga tidak terlalu mengganggu aktivitas kuliah. Namun, tahun ini bulan Ramadan jatuh di hari pertama Agalia harus mengikuti ujian di kampus. Berat memang diakuinya, tetapi ia merasa beruntung karena rumahnya dekat dengan masjid.

“Jadi kadang kalau misalnya memang pengen kadang Tarawih sama beberapa teman ke masjid,” ujarnya.

Di kampus pun tidak banyak yang mengetahui jika Agalia tengah berpuasa. Terkadang orang kaget mendengarnya, namun banyak juga yang kemudian ingin mengetahui lebih banyak mengenai puasa dan tradisi orang Indonesia saat bulan Ramadan. Suatu kali, asisten profesor di kelasnya membawa pizza untuk disantap bersama.

“Dia datangi aku, ‘Kamu nggak makan Agalia?’ Aku bilang ‘Oh, sorry, aku lagi puasa,’ habis itu malah pas aku pulang dia benar-benar memaksa aku bawa satu kardus pizza. Dia bilang, ‘udah ini buat buka puasa sama buat sahur.’ ‘Aku pengen respect kamu. Kamu lagi puasa,’” ceritanya lagi.

Lagi-lagi Agalia merasa beruntung karena berada di lingkungan orang-orang yang toleran dan menghargai agamanya. Satu hal yang ia ingin sampaikan kepada teman-teman di Indonesia yang menjalankan puasa adalah untuk lebih menghargai dan mensyukuri adanya keluarga, juga hawa positif yang mendukung di bulan puasa yang ia rindukan.

“Dan yang penting jangan lupa esensi ramadan untuk beribadah. Jangan cuman buat buka puasa-buka puasa bareng doang,” pungkasnya menutup wawancara dengan VOA.

You cannot copy content of this page