OPINI

Menakar Kesenjangan Komunikasi Dalam Politik

458
×

Menakar Kesenjangan Komunikasi Dalam Politik

Sebarkan artikel ini
Rusli

Oleh : Rusli

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi

 Universitas Hasanuddin

Tulisan – Ungkapan sederhana “Rusli” 20/01/2020 Melihat pandangan  perkembangan politik di era globalisasi lebih banyak mengacu pada arus komunikasi politik yang melintasi semua fungsi yang terdapat pada suatu sistem politik yang memiliki suatu peran penting dalam negara demokrasi. Menurut Almond (1960), pemisahan fungsi komunikasi pada suatu sistem politik bukanlah merupakan sesuatu yang unik pada sistem politik yang modern juga pada sistem-sistem politik non-modern terdapat fungsi yang sama, seperti penabuh gendering dan pelari (dalam sistem pemerintahan yang primitif), penyeru yang berteriak-teriak di kota, yang memperlihatkan fungsi komunikasi politik sebagai fungsi tersendiri karena menelitik kondisi politik yang carut-marut ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai macam faktor yang melingkupinya. Riuh-rendah suara-suara tokoh, pakar, politisi, dan pejabat terdengar di media massa. Media massa menjadikannya sebagai tontonan bahwa politik diera era globalisasi dengan dalih demokratisasi, maka siapa saja boleh saja bicara di depan publik atau media.

Media sosial (medsos) telah menjadi saluran komunikasi di era demokratisasi yang tidak dapat dibatasi lagi. Di medsos, terjadi perdebatan, saling tuding, dan saling tuduh dengan bahasa yang kadang tidak mengenakkan yang selalu di pertontonkan oleh politisi kepada masyarakat. Demokrasi kita menjadi ramai dengan beragam celoteh, komentar, hoaks, dan opini. Hal ini sebenarnya menandakan bahwa orang yang ingin memerikan pendapat seharusnya memahami secara mendalam saluran komunikasi politik yang memiliki dampak psikologi ketika mengeluarkan pendapat yang secara tidak langsung berdampak negatif saat terjadinya perdebatan di media social dan di pertontonkan secara langsung kepada masyarakat. Karena itu politisi mampu menyampaikan gagasan mereka kepada masyarakat yang sesuai kenyataan bukan hanya retorika belaka. Sementara itu, sesama politisi asyik berpolemik di media. Media menjadi tempat adu mulut, bukan pertarungan gagasan. Setidaknya, dalam era globalisasi ini bahwa teknologi informasi telah mendorong penyebaran gagasan-gagasan tentang demokrasi ke seluruh dunia melalui kecanggihan teknologi. Dan karena globalisasi juga daya tahan suatu rezim pemerintahan menjadi terancam.

Dalam  eksisitensi media komunikasi yang otonom dan terspesialisasi dan dengan kemampuan penetrasi ke seluruh pemerintah, tidak berarti menghapuskan pesan-pesan yang latin, menyebar, partikularistik, dan afektif, melainkan cenderung untuk memberikan kesempatan bagi pesan-pesan semacam itu untuk dirumuskan dalam bahasa politik yang manifers, spesifik, umum, dan instrumental. Masyarakat bebas bicara apa saja asalkan memenuhi fatsoen politik. Namun kita mengetahui, kebebasan yang keblabasan ini menimbulkan suasana berbangsa dan bernegara yang ribut. Lagi dan lagi untuk saling menjatuhkan, saling sindir dan saling sikut.

Dapat kita lihat sepanjang tahun 2019  ini, banyak sekali konflik yang mengancam keutuhan NKRI, yang dipicu oleh sentiment public. Selain sukarnya penerapan prinsip kesetaraan yang  merujuk pada konsep komunikasi dalam politik. Karena terjadinya sebuah Kekacauan dalam komunikasi politik ini disebabkan oleh penggunaan bahasa semu (meta-language) di antara berbagai anggota masyarakat. Memang di era demokratisasi ini, ada kebebasan berbicara.

Menurut Prof. Dr. Tuty Heraty Nurhadi dari Universitas Indonesia, komunikasi antar golongan kita tersekat akibat penggunaan bahasa semu (meta-language). Karena komunikasi tersekat, timbullah budaya kekerasan. Penggunaan bahasa antargolongan jelas tidak sama. Bahasa pertama hanya dapat dimengerti oleh mahasiswa, LSM, dan intelektual. Bahasa kedua oleh para birokrat saja. Sedangkan bahasa ketiga digunakan antargolongan rakyat atau kelompok masyarakat umum. Saat ini memang para politisi berusaha menjelaskan visi dan misi mereka kepada publik. Namun tetap saja kurang dipahami oleh masyarakat kelas bawah. Tapi bahasa politisi terlampau tinggi untuk dipahami oleh masyarakat awam.

Homogenitas informasi politik merupakan suatu proses perumusan informasi politik yang mempunyai suatu cara yang standar, sehingga semua pihak dapat memahaminya tanpa mengalami kesulitan. Pada suatu sistem politik yang modern, keragaman isi dan bentuk pesan-pesan yang ada menemukan cara yang begitu rupa agar semua pihak tidak menghadapi kesulitan untuk menafsirkannya. Hal ini dalam teori Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Oleh karena itu sangatlah diperlukan untuk memfiltrasi segala bentuk informasi sebelum menyebarkannya. Perlu kita ketahui nyatanya  slogan “saring sebelum sharing” bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sangat signifikan dampaknya.

Kita harus menyadari bahwa sebagian besar rakyat Indonesia berpendidikan rendah. Mereka tidak bisa dipaksa untuk memahami retorika para politisi, birokrat, dan kaum intelektual. Sebenarnya media massa memegang peranan penting untuk menjelaskan bahasa kaum intelektual tersebut kepada masyarakat yang lebih luas. Saluran komunikasi dari bawah ke atas juga belum mampu dipahami oleh para elit politik. Rakyat selama hanya dieksploitasi demi kepentingan politik tertentu. Komunikasi politik di antara kita tidak macet, tapi sudah melimpah ruah. Meluber ke mana-mana Untuk memperbaiki kesenjangan komunikasi di antaraa warga masyarakat, pemerintah wajib dan perlu mengedukasi rakyat. Pendidikan menjadi salah-satu kuncinya. Pendidikan politik Salah-satu kata kunci dalam komunikasi adalah mendengar.

You cannot copy content of this page