FEATUREDOPINI

Metode Divisor Sainte Lague di Pemilu 2019

708

Salah satu hal baru dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah soal konversi suara pemilih menjadi kursi di parlemen. Disepakati menggunakan metode Sainte Lague (Murni), yakni metode mentransfer suara pemilih kedalam kursi di parlemen dengan menggunakan bilangan pembagi dengan pecahan 1 dan diikuti secara berturut-turut oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.

Sempat muncul pilihan lain yakni metode Kuota Hare seperti pemilu sebelumnya, yakni metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam kursi di parlemen yang langkah-langkahnya adalah menentukan kuota suara (Bilangan Pembagi Pemilih/BPP). Setelah itu menentukan besarnya kursi yang diperoleh masing-masing Partai Politik berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sisa suara yang belum terbagi akan diberikan kepada Partai Politik yang mempunyai sisa suara terbesar.

Menurut pengamat kepemiluan dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz, metode Sainte Lague sudah mulai diperkenalkan ke DPR pada Tahun 2008. Namun kala itu Anggota Legislatif di senayan belum sampai kelevel teknis pengonversian suara pemilih menjadi kursi. Pada Tahun 2012 Metode Sainte Lague sempat dibawa keparipurna DPR, namun kembali ditolak. Baru nanti pembahasan RUU Pemilu serentak yang saat ini mejadi UU Nomor 7 Tahun 2017 ini metode Sainte Lague dapat diterima pembentuk Undang-Undang yang akan digunakan pada Pemilu 2019. Dijelaskan August, istilah Sainte Lague tidak ada yang disebut murni. Jika menyebukan Sainte Lague, maka yang dimaksud adalah Metode Divisor dengan bilangan pembagi 1; 3; 5; 7 dan seterusnya atau kerap disebut metode bilangan ganjil. Diluar itu, maka disebut Metode Divisior Sainte Lague Modeifikasi.

Metode Sainte Lague Modefikasi kerap disebut Metode Skandinavia karena dipakai dinegara-negara Skandinavia dengan berbagai variasinya. “Ada yang dimulai dengan bilangan pembagi 1; 4; 3; 5; 7 dan seterusnya. Ada juga yang diawali dengan bilangan pembagi 1; 2; 3; 5; 7 dan seterusnya”.

Ada penilaian yang menyatakan Metode Divior Sainte Lague (Murni) menguntungkan “Partai Politik Besar”. Padahal sebenarnya tidak serta merta menguntungkan partai politik besar dan merugikan partai politik kecil. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar dan jika tidak dipahami secara memadai dapat menimbulkan kesalahan persepsi atas sebuah konsep. Kesimpulan tersebut, menyimpang jauh dari tujuan utama dirumuskannya metode hitung tersebut oleh penemunya yaitu Profesor Andre Sainte Lague dan Senator Daniel Webster.

Untuk memahami perbendaan kedua metode penghitungan perolehan suara-kursi Partai Politik baik metode Kuota Hare maupun metode Sainte Lague (murni) diperlukan simulasi. Sebagai misal simulai pada sebuah dapil berkursi 10 (sepuluh). Terdapat 10 Partai Politik bekompetisi. Komposisi perolehan suara terbagi demikian : Partai A (94.200), Patai B (101.120), Partai C (301.870), Partai D (205.569), Partai E (302.000), Partai F (263.621), Partai G (305.713), Partai H (199.074), Partai I (148.421) dan Partai J (205.400). Total suara sah 10 Partai 2.126,998, maka harga kursi BPP dalah jumlah total suara sah di bagi jumlah kursi yaitu 212.700. Dengan menggunakan Metode Kuota Hare/Hamilton/Niemeyer (BPP), menghasilkan distribusi kursi kesetiap partai politik sebagai berikut : seluruh partai, mulai dari partai A hingga partai J masing-masing mendapatkan suara kursi.

Menggunakan simulasi di atas, bisa juga dihitung kuota kursi atau porsi suara partai poltik terhadap kursi. Caranya, suara sah setiap partai politik dibagi total suara sah Partai di dapil dikali dengan kursi yang disediakan. Maka akan diketahui kuota kursi setiap partai politik berdasarkan perolehan suaranya. Dengan begitu kuota kursi Partai akan demikian : Partai A (0,44), Partai B (0,48), Partai C (1,42), Partai D (0,97), Partai E (1,42), Partai F (1,24), Partai G (1,44), Partai H (0,94), Partai I (0,70), dan Partai J (0,97). “Pertanyaannya, apakah kuota kursi setiap partai tersebut layak di ganjar 1 kursi atau lebih?”

Metode Sainte Lague, dimaksudkan memberi jaminan keadilan bagi setiap Partai Politik dalam hal perolehan suara – kursi. Partai G (Partai terbesar) porsi atau kuota kursinya 1,44 atau (144 persen) dari harga kursi (BPP), namun sama-sama diganjar 1 kursi. Dengan demikian terdapat jarak sebesar 0,56 atau 56 persen antara porsi suara Partai A (dapat 1 kursi) dari harga kursi (BPP).

Partai A tersebut dapat diskon 56 persen, sedangkan Partai G harus membagi 1 kursi yang didapatkannya sebesar 144 persen dari harganya (BPP). “Pertanyaannya, apakah ini yang disebut adil? Pertanyaan berikutnya, apakah terdapat metode hitung lain yang dapat menjadi solusi untuk menjembatani , atau memperpendek jarak (senjang) perolehan suara – kursi dari setiap partai politik?”.

Jika memakai metode Divisior Sainte Lague, maka Partai G yang suaranya 144 persen atau porsi kursinya 1,44 dari harga kursi berubah mendapkan 2 kursi. Sedangkan Partai A yang posisi suaranya 0,44 kursi tidak mendapatkan kursi. “Pertanyaannya, apakah perolehan 2 kursi yang didapatkannya, partai G harus membayar harga setiap kursinya sebesar 0,72 dari harga kursi (BPP). Harga sebesar 0,72 ini pun (1,44 dibagi 2 kursi) masih lebih besar dibanding porsi 0,44 yang didapkan oleh Partai A.

Demikian, semoga bermanfaat.

Penulis adalah Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2013-2018


Oleh : Hidayatullah, SH

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version