KENDARI, MEDIAKENDARI.com – Proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Ketua DPRD Sulawesi Tenggara La Ode Tariala menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Setelah DPW Partai Nasdem Sulawesi Tenggara resmi mengusulkan Syahrul Said sebagai Ketua DPRD Sultra melalui surat bernomor 134–SI/DPW Nasdem/Sultra/X/2025 tertanggal 30 Oktober 2025, publik langsung mempertanyakan dasar dan motif dari langkah politik tersebut.
Surat yang ditandatangani Ketua DPW Nasdem Sultra Ali Mazi dan Sekretaris Muh. Tahir La Kimi itu meminta pergantian Ketua DPRD serta Ketua Fraksi Nasdem DPRD Sultra.
Namun keputusan tersebut dianggap janggal dan sarat kepentingan oleh banyak pihak, termasuk Pemuda Sultra, Rasmin Jaya. Menurutnya, proses PAW terhadap La Ode Tariala tidak memiliki dasar kuat, terutama jika dikaitkan dengan kinerja selama ini.
“Bagi kami sebagai pemuda, proses PAW tidak berdasar sebab prospek kerja yang dilakukan Ketua DPRD Sulawesi Tenggara La Ode Tariala sudah maksimal serta selalu terbuka dengan semua kalangan yang ingin menyampaikan aspirasi,” ujar Rasmin Jaya.
Ia menegaskan, jika alasan pergantian dikaitkan dengan performa kerja, maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang terlihat. Tariala selama ini dinilai aktif merespons setiap kritik, masukan, dan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.
“Ia cukup proaktif dalam menyerap setiap saran, masukan, bahkan kritikan atas polemik yang terjadi di Sulawesi Tenggara,” lanjutnya.
Rasmin juga menjelaskan bahwa langkah-langkah konkret Tariala selama memimpin DPRD cukup menunjukkan ketulusan dan komitmen terhadap amanah rakyat. Karena itu, pergantian ini dianggap bukan lagi menyasar individu, tetapi bisa merusak kredibilitas Partai Nasdem dan lembaga DPRD Sultra.
“Bukan hanya La Ode Tariala yang terdampak, tetapi ini bisa menjadi gempa politik di internal Nasdem dan DPRD Sultra yang beranggotakan 45 orang,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa pergantian tersebut dapat mencederai marwah DPRD sebagai rumah rakyat dan saluran utama aspirasi publik. Jika keputusan partai lebih diwarnai kepentingan kelompok tertentu, kepercayaan masyarakat bisa runtuh.
“Harusnya nilai tidak dikorbankan hanya karena kepentingan terselubung yang tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat secara umum,” kritiknya.
Rasmin mengingatkan kembali bahwa La Ode Tariala bukan figur baru tanpa rekam jejak. Dilantik pada 7 Oktober 2024, Tariala dianggap memiliki perjalanan panjang dan inspiratif, bahkan datang dari latar belakang keluarga petani sebelum berhasil menjadi wakil rakyat dan memimpin lembaga legislatif daerah.
“Ia menjadi wakil rakyat dari latar belakang anak petani, sesuatu yang jarang ditemui di kursi legislatif. Itu patut diapresiasi,” tambahnya.
Namun, proses PAW ini dinilai berpotensi menciptakan polarisasi di internal partai, DPRD, maupun masyarakat.
“Analisis saya, proses PAW bermuatan kepentingan dan sangat janggal. Ini bisa memicu kisruh dan polarisasi masyarakat,” beber Rasmin.
Ia juga menilai bahwa jika elite politik lebih mengutamakan agenda pribadi, masyarakat akan makin kehilangan kepercayaan terhadap institusi politik, dan hal itu bisa berdampak pada stabilitas sosial hingga ekonomi.
Rasmin mendorong La Ode Tariala untuk bersuara dan mempertahankan haknya jika merasa diperlakukan tidak adil atau dikriminalisasi secara politik.
“Kita butuh daulat rakyat, bukan daulat partai politik,” tutupnya.
