OPINI

Keheningan Dalam Ketidakpastian Dalam Jabatan

477
×

Keheningan Dalam Ketidakpastian Dalam Jabatan

Sebarkan artikel ini
Penulis : Rusli Mahasiswa Program Doktor Universitas Hasanuddin Makassar
Penulis : Rusli Mahasiswa Program Doktor Universitas Hasanuddin Makassar

Diskursus dari beberapa waktu yang lalu, sebagian daerah di Indonesia merayakan pesta demokrasi besar secara serentak. Ialah pemilihan kepala daerah serentak yang dilakukan pada tanggal 26 Juni 2018 lalu. Pada tanggal tersebut, kepala daerah dipilih, yaitu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, serta pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Untuk memilih orang yang memangku jabatan-jabatan tadi, tentunya bukan suatu perkara yang mudah untuk mendapatkan jabatan kekuasaan dalam kursi pimpinan daerah yang didapastikan dengan proses persaingan, antara calon lain yang juga ingin merebut suara masyarakat. Setiap pemilih harus memiliki kepekaan yang tinggi atas kelayakan dari pasangan calon. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin memangku jabatan sebagai kepala daerah.

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis hendak menyampaikan kepada pembaca mengenai jabatan gubernur dan wakil gubernur. Selain itu para pasangan ketika maju di Pilkada, hampir semua pasangan tidak memasangkan dirinya. Tapi dipasangkan oleh partai padahal, tiap partai pengusung itu beda visi misi. Konteks lain, komunikasi itu mengurangi ketidakpastian.

Hal ini bahwa kepala dan wakil terjadi adanya miskomunikasi, partai politik malah ambil orangnya masing-masing karena terkadang yang terjadi di lapangan bahwa parpol tidak merekatkan, harusnya lanjut calon itu mencari pasangannya sendiri supaya gampang mencari yang visi dan misinya sama.

Hasilnya karena mereka dipasangkan secara paksa, apalagi pasangan berlatar belakang budaya yang berbeda, mereka tidak diberi kesempatan mengenal satu sama lain. Sama dulu orang nikah dijodohkan. Karena kalau mereka bertengkar, ada orangtua yang menjadi perekat. Tapi beda dengan situasi pilkada ini.

pemahaman agar nantinya bisa saling memahami komunikasi dalam proses kerja yang ada kantor pemerintah daerah dalam hal ini seluru di masing-masing Organisasi Perangkat Daerah.

Lanjut Renis Likert dari Universitas Michigan mengatakan telah mengembangkan suatu model peniti penyambung atau the linking pin model. Karena hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menghampiri sebuah problem miskomunikasi yang bisa berdampak secara politik, yang apabila tidak dapat dikelola dengan baik oleh kedua belah pihak akan berdampak buruk bagi rakyat dan bagi para pihak yang berseteru itu sendiri, karena melalui beberapa pemberitaan di media yang akan terbaca oleh rakyat hingga dipelosok daerah yang khususnya yang ada di daerah tersebut.

Beberapa analisa bahkan menyebut bahwa miskomunikasi di dalam roda pemerintahan antara kepala daerah dan wakilnya lebih identik dengan hukum karma yang senantiasa akan selalu berulang dengan motif dan gaya yang sama. Sebenarnya, ketidakcocokan relasi antara kepala daerah dan wakilnya bukanlah hal baru. Sejarah telah mencatat bahwa di Indonesia selalu terjadi persaingan untuk memperebutkan pengaruh, simpati, dan kekuasaan antara kepala daerah dan wakilnya.

Untuk lebih jelasnya simak berikut ini daftar tugas tugas gubernur secara lengkap beserta wewenang, fungsi dan kewajibannya menurut undang undang (UU).

Hal ini sangatlah logis mengingat umumnya porsi kepala daerah dan wakilnya diisi oleh pucuk pimpinan partai yang tidak saja membawa misi pribadi, namun pastinya membawa titipan pesan partai agar dirinya yang menjadi orang normor satu.

Untuk pasangan kepala daerah dan wakilnya yang variatif, di mana salah satunya berasal dari birokrasi atau independen dan satunya berasal dari partai politik, persaingan untuk dominan dalam berkuasa pasti akan semakin seru karena secara politis, partai pendukung tentu akan berusaha untuk menjaga agar pimpinan daerah asal partainya selalu tetap dominan.

Memilik penyebab keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya bila dikaitkan dengan regulasi perundang-undangan, secara tegas dan jelas di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Paragraf Dua tentang Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 25. Memilik aturan main dalam Pasal 25, 26 dan 27 UU Nomor 32 Tahun 2004 di atas jelaslah bahwa antara Kepala Daerah dan Wakilnya telah diatur tugas dan kewenangan masing-masing.

Apabila ketiga pasal tersebut dilaksanakan secara konsisten sejak awal, tentu “Diskomunikasi secara politik” di tengah jalannya pemerintahan akan dapat berjalan sesuai yang diharapkan oleh masyarakat.

Sekilas TeoriBerger (1987:41) mengenai Behavioral Uncertaint: Untuk berinteraksi dengan cara yang relatif lancar, terkoordinasi, dan dapat dipahami, seseorang harus mampu memprediksi bagaimana mitra interaksi akan berperilaku, maupun berdasarkan prediksi ini, mampu memilih dari perbendaharaannya respons-respons yang akan mengoptimalkan hasil akhir dari sebuah perjumpaan.

Dalam konteks ini, kita perlu secara arif menilai bahwa perbedaan pendapat dalam mengelola sebuah pemerintahan di daerah adalah sebuah keniscayaan mengingat bahwa secara personal, seorang kepala daerah dan wakilnya adalah manusia biasa yang memiliki karakteristik personal yang berbeda dan pasti dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pendidikan, pengalaman, gaya kepemimpinan, dan terakhir yang paling berpengaruh adalah sensitivitas politik.

Pertanyaan terbaik untuk dimunculkan dalam konteks pemecahan masalah yang berpotensi “membahayakan tata kelola pemerintahan sehingga akan mengganggu pelayanan publik adalah bagaimanakah sikap dan posisi kita dalam menyikapi polemik didalam sebuah organisasi besar ditingkat provinsi. Islah dalam Islam atau musyawarah dalam kemelayuan kita hendaknya kita dahulukan, ketimbang mempertontonkan egosentrisme masing-masing.

Pada kondisi inilah, para elit partai pendukung kedua pasangan kepala daerah agar berupaya untuk berkomunikasi secara positif untuk mengambil jalan tengah agar diperoleh win-win solution yang menguntungkan kedua belah pihak.

Ada pepatah nenek moyang dahulu bahwa kearifan tertinggi seorang pemimpin itu bukanlah dinilai nyata saat ia menghadapi situasi yang normal dan kondusif. Kepiawaian seorang pemimpin itu akan terlihat aslinya saat ia dihadapkan pada sebuah konflik yang menyentuh ego pribadinya sendiri. Masih dalam filsafat kemelayuan kita bahwa “mengalah untuk menang” terkadang lebih mulia ketimbang “menang untuk tidak mengalah selamanya”.

Kedua, sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur beserta pimpinan daerah lainnya (Ketua DPRD, Kapolda. Kajati, Danrem) perlu ikut memotivasi para pihak yang bertikai agar dapat kembali duduk bersama untuk memikirkan kepentingan pembangunan dan kepentingan rakyat yang jauh lebih besar dan lebih bernilai ketimbang kepentingan pribadi atau hasrat berkuasa yang dalam praktiknya sering kali mengatasnamakan kepentingan rakyat luas.

Teori ini menggambarkan struktur organisasi yang berkaitan dengan beberapa kelompok yang saling tumpang tindih. Dalam teori ini terdapat penyelia yang merupakan anggota dari dua kelompok yaitu pemimpin unit rendah dan tinggi. Penyelia ini memiliki fungsi sebagai peniti penyambung alias mengikat kelompok kerja yang satu dengan yang lainnya pada tingkat berikutnya.

Pada teori ini lebih mengacu pada struktur ke atas dari pada struktur ke bawah, komunikasi, pengawasan, dan pencapaian tujuan semua diarahkan ke atas. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses berkelompok memiliki peranan yang sangat penting pada suatu organisasi dalam membuat organisasi yang berstruktur peniti penyambung dengan efisien. Karena semua kelompok harus bersifat efektif dalam konteks organisasi di lingkup pemerintah daerah

You cannot copy content of this page