OPINI

Pilpres 2019 Untuk Siapa?

362
×

Pilpres 2019 Untuk Siapa?

Sebarkan artikel ini
Ketua IKA Alumni Pascasarjana Unifa, Rusli

Oleh: Rusli –
Ketua IKA Alumni Pascasarjana Unifa

Kontestasi politik 2019 sisa beberapa hari lagi akan dilaksanakan khususnya pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang nantinya akan memimpin negara yang memiliki 17.504 pulau ini (Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, red). Hal ini merupakan suatu keharusan demi kesejahteraan rakyat. Namun ada hal yang perlu dikaji lebih dalam soal bagaimana cara kandidat terbaik yang bertarung dalam pesta demokrasi ini melakukan kampanye kepada masyarakat. Janji politik yang dilontarkan atau pemaparan visi misi dalam kampanye tak sedikit rakyat tertipu karena hasil pemaparan calon nantinya akan menjadikan rakyat merasa simpati dengan janji politik yang hanya akan menjadi janji, tetapi tidak ada ralisasi berkelanjutan tentang yang diucapkan.

Isu identitas yang dimainkan elite politik berpotensi memecah belah masyarakat. Beberapa bulan sebelumnya, partai pendukung calon saling menyerang dengan berbagai isu sentral yang disoroti oleh media. Saat ini muncul beberapa pemberitaan yang tak benar atau orang mengenalnya dengan istilah Hoaks. Padahal seharusnya pendukung calon dapat mengambil langkah-langkah yang baik untuk menanggulangi isu tersebut. Sayangnya, isu itu dijadikan sebagai cara untuk saling menjatuhkan kandidat.

Seyogianya tidak membuat rakyat trauma dengan janji manis yang dilontarkan calon. Partisipasi aktif dalam demokrasi sangat penting, agar masyarakat tidak menjadi acuh akan politik di negeri ini, kerena ulah pemegang jabatan di negara ini, hingga akhirnya mereka akan apatis terhadap pemerintah.

Banyak rakyat Indonesia menghadapi perdebatan sengit tentang pilihan politik dalam keluarga mereka dan lingkaran pertemanan hampir setiap hari. Selain diskursus-diskursus tersebut, suasana panas menjelang tahun politik 2019 semakin panas dengan berbagai kegaduhan. Nah, cara-cara yang tidak sehat seperti inilah yang menjadi kompor, yang membuat suasana semakin panas. Jangan sampai kompor sendiri meleduk, sebelum Pilpres 2019.

Melihat fenomena politik saat ini, banyak tagar yang ramai di media sosial. Perang saling sindir di dunia maya ramai dipertontonkan. Berbagai bentuk saling cibir dan hujatan mewarnai pelaksanaan pemilihan presiden yang akan digelar pada Rabu 17 April 2019. Bahkan “perang” yang ramai di jagat maya ini sudah terwujud di dunia nyata. Dalam fenomena ini terdapat dua strategi yang dilakukan yaitu membuat narasi dengan tujuan untuk mempromosikan atau menjatuhkan. Branding politik ini menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan dalam pilpres 2019 ini. Narasi politik yang mereka buat akan mampu menguasai jalannya pertarungan. Pendukung, boleh disebut bersikap ekstrem dalam mendukung tokohnya. Sehingga kelompok ekstrem ini memiliki kecenderungan untuk merendahkan pendapat yang berlawanan darinya.

Secara teori, perbedaan pandangan politik seharusnya menstimulasi pandangan kritis (Carpini, Cook, & Jacobs, 2004 dalam Sudarto, 2018). Alih-alih menciptakan ruang diskusi yang hangat di antara berbagai pendapat politik, justru seakan-akan menjadi mengkotak-kotakan opini masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang toleran terhadap opini yang bertentangan (Sunstein, 2008). Inilah penyebab dari polarisasi masyarakat.

Dalam situasi politik yang semakin memanas bagaimana ngototnya kedua kubu untuk memenangkan Pilpres 2019, sehingga terkadang kedua kubu terlihat seperti menghalalkan segala cara untuk memenangkan pilpres. Padahal pilpres adalah kegembiraan politik dan bukan “perang”, apalagi “perang” membawa-bawa agama.

Pilpres bukanlah membelah dan mengkotak-kotakan masyarakat hingga terpecah-belah menjadi musuh bebuyutan sesama saudara sebangsa. Fragmentasi politik dan polarisasi membuat masyarakat harus bersikap kritis. Politik Hard-Core yang kini mengotori ruang maya makin lama membuat kualitas masyarakat semakin tereduksi. Maka, milenial kini harus memberikan solusi dengan bersikap layaknya Avant-Garde, yang kritis-komprehensif sehingga persoalan dan gejolak kini dapat dihadapi bersama seiring dengan estafet kepemimpinan yang nanti milenial raih.

Oleh karena itu, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, suhu politik dan sosial di Indonesia cenderung memanas karena perbedaan politik. Ujaran kebencian dan masifnya berita bohong dianggap sebagai biang kerok.

Melalui kapasitas yang milenial dapatkan dari bersikap kritis, selayaknya kepakaran independen.Ramainya perdebatan mengenasi masalah isu pilpres di tahun 2019 ini, yang menghiasi perjalanan politik Indonesia, tentu berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dampaknya cenderung menjurus pada hal yang negatif.

Perbedaan pilihan politik di antara masyarakat rupanya sekarang mengubah pola atau cara sebagai warga dari negara yang multikultural. Tersebarnya berita hoaks atau palsu mengenai kedua kubu ini membuat masyarakat menjadi bingung untuk membedakan mana fakta dan dusta. Sehingga sering kali terjadi kesalapahaman atau perseteruan dan perbedan pendapat bahkan ada yang saling bermusuhan satu sama lain.

Perang media sosial yang terlihat adalah banyaknya tulisan atau tagar di internet yang saling menjatuhkan atau menjelekkan kedua kubu politik Indonesia. Diantara berbagai macam perbedaan itu kita dituntun pancasila agar menciptakan masyarakat yang damai dan penuh akan toleransi antar sesama.

Indonesia mempunyai sistem pemerintahan yang berbentuk presidensial dan dipimpin oleh Presiden. Hasrat akan kekuasaan ini menjelma ke dalam hasrat akan kebenaran dan hasrat akan kepastian. Ketiga bentuk hasrat tersebut saling bertautan tanpa bisa terpisahkan.

Klaim kebenaran yang saling berkonstestasi di dalam ruang publik disangkal dengan satu klaim kebenaran absolut yang bersifat dogmatis. Realitas kehidupan manusia yang kontingen direduksi ke dalam prinsip-prinsip yang rindu akan kepastian, yang pada akhirnya mengurung kompleksitas realitas itu sendiri.

Para pemimpin kita harus peka akan hal ini. Mereka harus bisa membedakan antara kebenaran yang sesungguhnya dan kebenaran yang dipaksakan; antara kepastian yang masuk akal dan kepastian yang dipasti-pastikan. Semuanya membutuhkan pengenalan, kesadaran, dan sikap awas diri terhadap hasrat gelap manusia. (*)

You cannot copy content of this page