BUTON SELATANDaerahHEADLINE NEWSINDONESIANEWS

Petani Jagung di Busel Sulit Dapat Pupuk Subsidi

2101
Ilustrasi
Ilustrasi

Reporter: Basri
Editor: La Ode Adnan Irham

BATAUGA – Sebagian petani jagung di Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi.

Susahnya memperoleh pupuk dari pemerintah, utamanya pupuk tunggal jenis Urea dan NPK, itu diutarakan salah seorang petani di Kecamatan Sampolawa, La Saipu (54). Akibatnya tanaman jagung yang telah berumur empat hingga lima minggu sebagian belum dipupuk. Padahal normalnya, pemupukan dilakukan dari umur tanaman 10 dan 35 hari setelah tanam.

“Baru sebelah saja kebun jagung yang sudah dipupuk, karena kita hanya dikasih jatah beli satu karung pupuk Urea,” ungkapnya, ditemui saat sedang melakukan penyiangan lahan jagung miliknya di pinggir jalan poros Sampolawa-Batauga, Selasa (21/1/2020).

“Kalau untuk sisa tanaman yang belum dipupuk, kita masih tanya-tanya tetangga siapa tau ada yang punya jatah tapi tidak bertani supaya kita yang beli,” tuturnya.

Dia bersama petani lainnya saat ini sedang memutar otak untuk menyiasati, agar bisa mendapatkan tambahan 100 kg lagi pupuk bersubsidi untuk bisa memenuhi tanaman jagung miliknya.

Keluhan yang sama juga disampaikan seorang petani jagung di Kecamatan Lapandewa yang enggan menyebutkan namanya. Pria itu mengaku geram, sebab 50 kg per kepala keluarga (KK) pupuk bersubsidi jenis Urea yang diberikan pengecer resmi, dinilai sangat jauh dari kebutuhan petani.

“Hampir satu kecamatan ini yang mengeluh, karena susah mau penuhi kebutuhan pupuk jika dibandingkan dengan luas kebun kita, bisa-bisa gagal panen ini petani jagung,” sebutnya.

Demikian pula petani lainnya, La Ibo (42). Dia mengaku bingung dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Busel yang mematok jumlah pupuk subsidi hanya seadanya per KK. Sementara di Kecamatan Lapandewa, mayoritas masyarakatnya bertumpu pada hasil pertanian.

“Memang harga pupuk subsidi jenis Urea hanya Rp 100.000 per karungnya, tapi hanya satu karung saja tidak mungkin cukup, sementara nonsubsidi harganya Rp 350.000, itu sama dengan mencekik petani, kalau tidak beli kasian tanaman jagung jadi terpaksa kita beli,” tuturnya.

Dijelaskannya, kebijakan Pemkab melalui distributor resmi mematok jatah pupuk subsidi per KK hanya seadanya itu, tidak serta-merta dijualkan ke petani.

Kecuali petani tersebut telah masuk atau terdaftar dalam kelompok tani, namun jika petani hanya datang membawa KTP saja, maka petani tersebut tidak bisa mendapatkan pupuk subsidi yang dimaksud.

“Ada kemarin saya punya bibi berstatus janda lansia, tidak masalah kalau hanya dijualkan satu karung saja. Tapi malah ditolak dengan alasan tidak ada namanya dalam kelompok tani,” keluhnya.

Persoalan itu pun, memicu respon dari salah seorang pemuda Lapandewa, La Ani. Dia menilai, sulitnya petani mendapatkan pupuk bersubsidi diakibatkan pengurangan pasokan pupuk dari Pemkab Busel.

Dia pun menduga, dengan adanya pengurangan kuota dari pemkab, sehingga dinilai memungkinkan dijadikan peluang oleh pihak distributor untuk meraup keuntungan dari kebijakan tersebut.

“Bukan kita menuduh tapi kita menduga justru dimanfaatkan oknum distributor untuk meminta jatah pupuk bersubsidi sebanyak data penduduk dalam suatu wilayah, namun saat pendistribusiannya kemudian akan diganti kemasannya dan dijual sebagai pupuk nonsubsidi,” jelasnya.

Sebab kata dia, sangat bertolakbelakang dengan target Pemerintah Pusat yang mencanangkan program Swasembada Pangan yang pula didukung Pemprov Sulta, bahkan bisa dibilang semakin diamini Pemkab Busel. Namun dalam fakta di lapangan, petani di pedesaan justru dipersulit untuk meningkatkan hasil pertaniannya.

“Saya kira tidak masuk akal jika pemerintah yang targetkan swasembada pangan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan sendiri tanpa perlu mendatangkan dari pihak luar, lantas pemerintah juga yang mengurangi pasokan pupuk bagi petani,” paparnya.

Olehnya itu, dia mengaku sangat sesalkan kuota pupuk bersubsidi yang terus berkurang dari tahun ke tahun, bahkan khusus tahun ini dia mengkalim merupakan pengurangan terparah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pupuk, petani harus berburu ke luar daerah, kendati dengan harga yang lebih mahal dari pupuk bersubsidi namun dipilih karena lebih murah dari nonsubsidi yang disediakan distributor.

“Kita bingung dengan kebijakan pemerintah saat ini, hadirnya pengecer yang berbadan hukum karna alasan untuk memenuhi hak petani mendapatkan pupuk bersubsidi, tapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Malah kalau disuruh pilih, petani lebih memilih waktu masih dijual oleh pedagang eceran bukan resmi tapi tidak ada keluhan di masyarakat soal pupuk,” celetuknya.

Lebih lanjut, mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Lapandewa Tambunaloko (IKMALTA), meminta pemerintah utamanya Pemkab Busel bersama DPRD serta pihak terkait utamanya kepolisian, agar memperkuat dan meningkatkan peran pengawasan dalam penyaluran pupuk bersubsidi dari distributor sampai pada tingkat pengecer hingga ke tangan petani.

“Tidak mempan jika hanya masyarakat yang awasi, apalagi kan kita tau bahwa sudah ada kerja sama pemerintah dengan pihak kepolisian dan TNI untuk mengawasi peredaran pupuk bersubsidi, sehingga jangan hanya menunggu laporan adanya kejanggalan,” harapnya.

Kepala Dinas Pertanian Buton Selatan melalui Kabid Penyuluhan, Sarana dan Prasarana, LM. Mustari S.P MSi, mengungkapkan persoalan pupuk diakuinya menjadi masalah krusial dalam usaha tani, bahkan masuk dalam isu nasional. Seringkali masalah kelangkaan menjadi momok menakutkan petani menjelang musim tanam. Karenanya pengawasan harus terus dintensifkan agar pupuk subsidi tepat sasaran dan tepat waktu.

“Jadi memang kuota pupuk yang diberikan untuk kita di Busel ini sangat terbatas. Bahkan semua daerah kabupaten dan kota lain juga terbatas,” katanya.

Sebagai contoh di Busel pada awal tahun 2019, dari kuota pupuk Urea yang dibutuhkan lebih 200 ton, ternyata yang disalurkan Pemerintah Pusat hanya 39 ton. Namun begitu, melalui usaha keras yang dilakukan pihaknya, sehingga Oktober 2019 Busel telah mendapatkan tambahan pupuk Urea sebanyak 21 ton sehingga ditotal kuota yang ada kisaran 60 ton.

“Kemudian tahun 2020 ini salah satunya kita dapat tambahan menjadi 185 ton pupuk Urea dan NPK 130 ton,” sebutnya.

Adapun jumlah petani di Busel yang terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) tercatat ada 1.129 KK, dengan kebutuhan pupuk Urea 300 ton, NPK 280 ton, Organik 10 ton, ZA 8 ton, dan SP 36 sebanyak 4 ton.

“Rincian sejumlah kecamatan yang sempat saya ingat yakni di Batauga untuk pupuk Urea 6,6 ton, NPK 5,7 ton. Sementara di Sampolawa itu Urea 140 ton, NPK 120 ton. Serta di Lapandewa tercatat pupuk Urea 152 ton, NPK 137 ton, ZA 8 ton, itu semua sudah disalurkan,” akunya.

Pihaknya pun membenarkan bagi petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi, adalah mereka yang telah masuk dalam kelompok tani serta terdaftar dalam RDKK. Sedangkan untuk jumlah maksimal kuota pupuk yang dapat diberikan, yakni disesuaikan dengan lahan pertanian yang digarap.

“Namun karna kondisi saat ini masih dalam keterbatasan kuota secara nasional sehingga setiap KK dibatasi sebagai alternatif demi tercukupinya secara merata. Dan saat ini terus kita upayakan agar kebutuhan pupuk di Busel kedepannya dapat terpenuhi sesuai kebutuhan petani bahkan lebih,” tutupnya. (A)

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version