Reporter: Andis / Editor: Kang Upi
KONAWE – Usianya tidak lagi muda, meski rasanya tak layak disebut terlampau tua, namun Pak Radi, (60) warga Kelurahan Tumpas, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe masih setia dengan sepeda bututnya.
Sejak dua tahun lalu, Pak Radi menyusuri jalan dari satu tempat ke tempat ramai lainnya di Ibu Kota Konawe, Unaaha, lorong demi lorong juga disusurinya untuk menjajakan es tape dan jajanan lain buatannya.
Diusia yang sudah lebih setengah abad, kekuatan fisik Pak Radi sudah berbeda dibanding puluhan tahun lalu. Semakin renta dimakan usia, kemampuan mengayuh sepedanya juga semakin lemah.
Demi untuk cita-cita buah hatinya, Pak Radi rela memunggungi terik matahari hingga peluh menetes disekujur tubuh, atau membelah derasnya hujan hingga dinginnya menusuk tulang.
Benar kata pepatah, ‘kasih ibu dan ayah sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah’, rasa-rasanya demikianlah kisah Pak Radi, sorang bapak yang menghabiskan hayat untuk anaknya.
……..
Saya bertemu bapak Radi di Pelataran Masjid Raya Babussalam, Kelurahan Tumpas, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, pada Minggu 7 Maret 2021, sekitar pukul 11.01 WITA.
Menjelang siang di hari itu, Pak Radi datang untuk berjualan di sekitar Masjid Raya Babussalam, karena suasana tengah ramai kehadiran peserta seleksi tilawatil qur’an dan hadist (STQH) XXVI.
Ia mengenakan kemaja putih bergaris tipis. Mengenakan masker, topi putih dan bercelana training hitam. Diatas boncengan sepeda bututnya yang menghitam, dia menaruh keranjang pastik beriisi jualannya.
Kepada saya, Pak Radi menceritakan jika dirinya baru saja berjualan di RSUD Konawe, karena di tempat itu sunyi pembeli, dirinya memilih mengayuh sepeda ke Masjid Raya Babussalam, yang ditempuhnya 45 menit.
Ia juga mengaku, setiap harinya, sudah memiliki jadwal berjualan secara tetap baik waktu maupun tempatnya. Hal itu ia sesuaikan dengan tiga menu jualannya, yakni es tape, nasi kuning dan gorengan.
“Kalau pagi-pagi jual nasi kuning disekitaran RUSD, siangnya jualan es, dan sore jual gorengan, biasa sampai malam kalau sepi pembeli,” kata Rudi di bawah rerimbunan pohon di depan Masjid Raya Babussalam.
Untuk tiga jualannya itu, kata Pak Radi, jika hari sedang sepi pembeli, maka dirnya berkeliling ke sejumlah titik ramai di kawasan Unaaha – Tuoy, sejak mulai pagi hingga petang hari.
Menurutnya, dirinya begonta ganti jualannya itu setiap waktunya, untuk memperbanyak peluang mendapatkan keuntungan, dengan tentunya menyesuaikan kebutuhan dan selera pelanggan.
Cara ini terbilang cerdik, karena saat pagi, orang mencari nasi kuning untuk sarapan. Di siang hari, es tape memang cocok disuasana terik. Dan malam hari, anak nongkrong akan mencari gorengan.
Secara teori demikian, meskipun faktanya nasi kuning jualan Pak Rudi seharga Rp 10 ribu, es tape Rp 5 ribu, dan gorengan 4 biji Rp 5 ribu, yang dijajakannya itu, tidak selalu habis terjual.
“Sehari kalau ramai, dapat Rp 250 – Rp 300, kalau sepi cuma Rp 150 ribu, bahkan dibawa itu, itupun masih dibagi biaya modal dagangan biar besok menjual lagi, kan rezeki tidak menentu,” ujarnya.
Meski masih banyak kekurangan, kata Radi, tapi dirinya bersyukur karena dari jualannya itu, dirinya bisa menghidupi seorang istri dengan empat anak dimana, dua diantaranya mulai beranjak remaja.
“Anak pertama masih sekolah di SMA, anak ketiga masih SMP, dan yang terakhir masih TK, anak kedua saya berhenti sekolah karna sakit-sakitan dan sekarang berada dirumah neneknya di Buton,” ungkapnya.
Pak Radi menceritakan, awalnya aktifitas berjualannya itu dilakukan di rumahnya sendiri. Namun karena sunyi, dirinya pun memilih berjualan dengan cara door to door menyambangi pembeli.
Sepeda jengki butut jadi saksi semangat juang hidup Pak Radi. Ia ikhlas dengan pilihannya, dapur harus ngebul dan ketiga anaknya membutuhkan biaya untuk bisa menggapai cita-citanya.
Dengan semangatnya juangnya itu, Pak Radi menerobos lika liku jalan kehidupan yang keras. Bukan hanya panas dan hujan sebagai hambatan, tapi juga datang dari orang – orang disekitarnya.
Diungkapkan Pak Radi, tidak mudah baginya mengawali aktifitas berjualannya itu pada dua tahun lalu. Tidak jarang, dirinya mengalami penolakan dan pengusiran saat hendak menjajakan jualannya.
Kisah pahit yang masih dikenangnya dalam ingatan, salah satunya saat dirinya ditolak dan bahkan diusir saat hendak berjualan di depan salah satu sekolah yang cukup terkenal di Unaaha.
“Sempat pernah dimarahi terus diusir, katanya tidak boleh menjual disni. Padahal kecuali saya maksa orang beli ya mungkin wajar diusir, tapi ini kan tidak, kita kan hanya cari hidup,” tegasnya.
Untuk saat ini, kata Pak Radi, dirinya telah nyaman menjalankan aktifitasnya ini, karena telah banyak pelanggan. Meski sekali dua kali, dirinya masih juga ditolak dan diusir saat hendak berjualan.
Meski demikian, lanjutnya, atas banyaknya pengusiran yang tidak jarang diikuti dengan cacian dan makian yang diterimanya. Dirinya tidak pernah marah, cacian itu justru mejadi pemacu semangat.
“Kita sebagai pedagang usaha kecil terkadang memang begitu, tidak boleh menyerah apapun cobaan itu, apa yang kita dapat hari ini sudah itu lah hasil kerja keras kita,” kata Pak Radi. /A