OPINI

Relevansi Kader HMI Di Era Revolusi 4.0

1901
×

Relevansi Kader HMI Di Era Revolusi 4.0

Sebarkan artikel ini
Rusli Pengurus Badko HmI SulSelBar (Refleksi 72 Tahun HmI)

Tulisan “Rusli” 05/02/2019 kiranya hanyalah ungkapan untuk kembali dalam rangka memperingati milad HmI yang ke-72 sejak berdirinya pada tanggal 5 Februari 1947 atau bertepatan pada 14 Rabiul Awal 1366 H yang diprakarsai oleh Prof. Lafran Pane. Angka 72 ini bukanlah angka yang kecil, artinya fluktuasi dinamika hingga puluhan tahun menjadi pengalaman tersendiri dalam keeksistensiannya menghadapi lika-liku perjalanan organisasi ini di dalam proses perjuangan bangsa indonesia. Terangnya, semakin tua usia suatu organisasi semakin matang dan mantap pula kesiapan untuk menghadapi tantangan dan problematika yang semakin kompleks dimana tantangan kita sebagai kader yaitu adanya berbagai macam masalah yang meliputi masalah politik, social, ekonomi dan juga kita sama-sama menghadapai masalah yang dimana merupakan era revolusi teknologi yang semakin maju atau revolusi 4.0 Mahasiswa sebagai generasi milenial, mau tidak mau dituntut harus dapat beradaptasi dengan kemajuan ini jika ingin menjadi manusia yang tak termakan jaman. Namun realitanya, hal ini justru menjadi pisau bermata dua, apa outputnya tergantung bijak tidaknya seorang mahasiswa menyikapinya.

Milad ini haruslah menjadi sebuah momentum yang sakral karena HmI salah satu organisasi pencetak kader untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan juga sebagai momentum untuk refleksi bersama, berfikir sejenak memahami realitas faktual yang hinggap di tubuh HmI saat ini dengan tetap berekspektasi adanya kebangkitan dan perubahan signifikan dari organisasi ini dikarenakan adanya kelompok tertentu yang selalu bersteruh karena masing-masing kader hanya mementingkan ego demi mencapai suatu tujuan yang bukan merupakan tujuan bersama kader Himpunan Mahasiswa Islam yakni tujuan ada tiga yang merupakan tujuan utuma adalah:

  1. Insan Akademis
  2. Insan Pencipta
  3. Insan Pengabdi

HmI dilahirkan dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan didengungkan. Sejak kelahirannya, geraknya diabdikan kepada perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyebarkan syiar Islam. Frame berfikir masyarakat dan  mahasiswa pada umumnya sudah terkontaminasi oleh berbagai pemikiran dan paham-paham dari  luar yang liar. Selain itu ironisnya lagi para kader  yang kurang memahami bahwasanya tujuan diadakannya pengkaderan dalam hal ini Basic training, Intermedite Training, dan Advance Training adalah untuk menelurkan pemikiran oleh kader-kader pemimpin yang mampu menerjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara profesional dalam gerak perubahan sosial.

Dalam fase tantangan HmI sekarang ini bukan hanya proses percepatan era revolusi tetapi juga dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HmI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HmI sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan. Akibatnya, HmI larut dalam logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HmI pada gelombang berikutnya, yaitu “gelombang beku”. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi aktivis HmI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya.

Maka jangan heran bila saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim inisiatif, dan miskin kreatifitas. Jika perlu harus mengambil jarak terhadap pusaran kekuasaan sebagai pembuktian bahwa HmI mampu keluar dari fase kemandekan berpikir dan penikmatan terhadap keberhasilan para alumninya. Selain itu, langkah penguatan kapasitas intelektualitas dan profesionalisme patut diambil sebagai langkah reorientasi internal. Di Indonesia sendiri segala macam teknologi sudah sangat beraneka ragam, segala aktivitas yang seharusnya dikerjakan oleh manusia namun sekarang malah manusia yang diperbudak oleh teknologi, mulai dari yang paling marak adalah handphone , computer, sepeda motor dan elektronik lain. Bahkan mereka rela menukarkan nilai-nilai etika dan moralnya demi membeli sebuah teknologi elektronik yang sedang naik daun. Mulai dari orang tua yang tidak tahu akan kecanggihan teknologi yang mereka berikan kepada anak-anaknya padahal masih belum saatnya untuk menggunakan alat yang demikian.

Untuk eksternal gerakan HMI difokuskan pada isu-isu yang menyentuh masyarakat bawah seperti pendamping agenda pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Begitu juga dengan mengembalikan HmI ke kampus adalah solusi untuk mempromosikan HmI ke kampus sehingga HmI back to campus tidak hanya slogan belaka. Akhirnya untuk mewujudkan harapan masyarakat Indonesia HmI harus dikembalikan kepada komunitasnya semula yaitu mahasiswa dan masyarakat. Namun jika sisi positif yang sedikit tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan dengan jalan yang benar maka bermanfaatlah apa yang telah diciptakan dari sebuah revolusi teknologi 4.0. Sehingga dengan ini akan lahir kader HMI yang kompetitif diera digital dengan tidak melepaskan islam sebagai ideologinya. Terakhir, penulis katakan “Bismillah, membangun kader HMI yang Khaira Ummah”. YAKUSA

You cannot copy content of this page