Sejarah Tolaki, Senjata Perang Masa Lampau dan Perspektif Hukum hari ini. Hal ini sebagai tema kegiatan diskusi Kebudayaan dan Pameran Benda Pusaka Sulawesi Tenggara 2024. Kegiatan tersebut bertindak sebagai Pelaksana adalah Lembaga Koppuska Sultra di salah satu Restoran di Kota Kendari pada 25-26 Mei 2024.
Menurut Dr. Basrin Melamba, S.Pd., MA (Akedemisi UHO) To Laki adalah salah satu suku terbesar yang mendiami Pulau Sulawesi Bagian Tenggara tepatnya diwilayah Kota Kendari, Kabupaten Konawe,Konawe Selatan, Konawe Utara,Kolaka Timur, Kolaka, Kolaka Utara dan sebagian Wilayah Kabuoaten Konawe Kepulauan dan Bombana.
“To Laki Yang Berarti To (Orang/Asal) Dan Laki (Pemberani/Andolaki) Telah Ada Sejak 2000 Tahun Sebelum Masehi. Hal Tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya Peninggalan-Peninggalan Arkeologi Di Beberapa Goa (Kumapo) Di Kabupaten Konawe Bagian Utara Maupun Beberapa Gua Yang Ada Di Daerah Lainnya,” ujar Basri Melamba.
Basri Melamba mencontokannya, seperti terdapat di Goa Tanggalasi, Goa Tengkorak I, Goa Tengkorak II, Goa Anawai Ngguluri, Goa Wawosabano, Goa Tenggere, Goa Kelelawar, Goa Porabua Serta Masih Banyak Lagi Situs Goa Prasejarah lainya yang belum teridentifikasi.
“Suku To Laki memiliki 2 kerajaan besar yang masing-masing mendiami wilayah Konawe Raya yang kelak disebut Kerajaan Konawe dan Wilayah Kolaka Raya yang juga kelak disebut Kerajaan Mekongga (Mekongka),” papanya.
Basrin Melamba, memaparkan, senjata-senjata yang digunakan oleh Suku To Laki Di Era Kerjaan Yaitu : TAAWU (Parang Perang) Yang Memiliki Arti (Taa = Pasang Dan Wu = Rambut), Tombak (Karada), Perisai (Kinia), Pakaian Perang (Pineole-Olepe) dan Penutup Kepala (Pondutu Ulu).
“Pada Zaman Dahulu Penggunaan TAAWU (Parang Perang) hanya dapat pipergunakan oleh seorang Pria To Laki. Itupun, jika dianggap telah mapan untuk menjaga dirinya dan keluarga dari Serangan Musuh. Sebab, TAAWU (Parang Perang) jika dikeluarkan atau dipergunakan wajib harus Memakan Korban,” papar Basri Melamba.
Hal itu, lanjut Basri Melamba, ditandai dengan adanya Batok Kepala dan Rambut yang digantung pada gagang dari TAAWU (Parang Perang) tersebut.
“Panjang Parang TAAWU (Parang Perang) kurang lebih berkisar 60 Cm dan Lebar Atas 8 Cm Bukan 2 Meter,”ungkap Basri Melamba sambil tertawa kecil,” cetusnya.
Basrin Melamba, menjelaskan bahwa Senjata-Senjata Perang Yang Dipaparkan adalah Senjata yang bersifat Sakral (Bertuah) dan tidak dapat diperlihatkan sembarangan kepada orang jika dirasa tidak perlu.
“Namun hari ini telah terjadi pergeseran nilai kesakralan dari sebuah TAAWU (Parang Perang). Dimana Benda Sakral tersebut penggunaannya bukan lagi seperti yang dilakukan Para Pendahulu Dimasa Lampau, Tapi sudah menjadi hal yang lumrah,” sebutnya.
Suku To Laki itu, papar Basri Melamba adalah Suku yang Sabar, Agamanya dihina dia tidak Marah. Namun, jika Sukunya Digangu Dia Pasti Marah.
“Hal tersebut tergambar seperti Filosofi TAAWU (Parang Perang) yang selalu tersimpan Rapih Dirumah Orang To Laki dan dikeluarkan jika keadaan genting,” urai Basri Melamba.
Senada apa yang disampaikan Basri Melamba, Lembaga Koppuska Sultra (Komunitas Pemerhati Pusaka Sulawesi Tenggara) Muktir Sirat Potiso (Salah Satu Narasumber Acara) menyebutkan bahwa Suku To Laki bukan hanya memiliki satu jenis Tombak (Karada) saja. Melainkan, ada pula jenis-jenis Tombak dan Senjata Tajam lainnya.
Tombak dan jenis senjata lainnya itu, urai Muktir, seperti, Padanga (Berbentuk Besar dan lebar dari Karada), Kasai (Berbentuk Anak Panah), Duru (Berbentuk Anak Panah Namun Satu Sisi).
“Begitupula dengan jenis Keris (Leko), Taji Ayam/Sapukala (Tobo) dan jenis Pisau (O Piso) yaitu Golo-Golo dan Pasatimbo (Berbentuk Taji Ayam dan Tajam Pada 2 Sisi),” urainya.
Muktir bilang, namun Senjata Jenis Keris dan Pisau tersebut tidak dimiliki oleh khalayak umum pada masa lalu. Namun, senjata itu hanya dimiliki oleh kalangan Bangsawan/Anakia Saja.
“Makannya agak sulit bagi masyarakat zaman sekarang mengetahui nama dan bentuk dari benda tersebut,” sebutnya.
Muktir mengatakan bagi masyarakat awam di Sulawesi Tenggara, senjata jenis Parang yang biasa ditemui/dijual dipasar diasumsikan sebagai TAAWU (Parang Perang). Padahal, itu adalah parang biasa (Pade/O Pade).
“Parang itu dikhususkan untuk keperluan berkebun walaupun mungkin sepintas terlihat agak mirip satu sama lainnya. Namun, berbeda pada ujung mata bilahnya yang lebar dan beratnya,” timpal Muktir.
Muktir menambahkan Lembaga Koppuska Sultra sebagai Komunitas Pemerhati Pusaka Sulawesi Tenggara) melalui kegiatan diskusi kebudayaan dan pameran Benda Pusaka Sulawesi Tenggara 2024, berharap bahwa budaya yang ditampilkan secara baik akan menghasilkan suasana atau hasil yang Positif dan yang baik pula.
“Baik itu penilaian dari unsur Pemerintah, Tokoh Adat Budaya serta semua lapisan masyarakat Sulawesi Tenggara,” pesan Ketua Umum Koppuska Sultra.
Diakhir paparanya, Muktir menyampaikan permohonan maafnya kepada sudara-sudara dari Suku Moronene, Wuna, Buton Dan Suku-Suku lain yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Yang mana pada Event Perdana Koppuska tersebut. Kali ini, belum dapat terlibat dikarenakan Waktu, Biaya & SDM Yang Terbatas.
“InsyaAllah di Next Event kami akan Mengundang 4 Suku Asli Sulawesi Tenggara dan Suku-Suku lain yang berdomisili di Sulawesi Tenggara. Hal itu sebagai Pemateri/Narasumber dengan Konsep acara yang lebih besar dari kegiatan hari ini,” tandasnya.
Ditempat yang sama mewakili Kapolda Sultra, Kasubdit Bintibsos Dit Binmas Polda Sultra) AKBP. Faisal, S.Sos memaparkan bahwa Diera Modern seperti ini Senjata Tajam apapun utu jika dipergunakan dikhalayak Umum dan Menggangu Kamtibmas tentunya akan dikenakan Hukum Pidana.
“Sesuai Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat Namor 2 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Tajam (Sajam). Dimana, senjata Tajam yang dimaksud adalah, Pisau , Parang/Pedang, Golok dan Cerulit,” ujar Faisal.
Kata Faisal, membawa senjata tajam merupakan perbuatan Pidana dengan ancaman Pidana Penjara Maksimal 10 Tahun. Kecuali, jika digunakan untuk kepentingan pekerjaan atau sebagai Barang Pusaka/Barang Kuno (Untuk Kebutuhan Penelitian Pendidikan/Edukasi Pameran).
“Membawa senjata tajam melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 atas dugaan membawa senjata penikam atau senjata penusuk. Itulah pentingnya kita sebagai pelestari Budaya/Pelaku Adat harus terus berkoordinasi dengan pihak Kepolisian untuk mendata senjata tajam yang kita niliki agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat diminimalisir,” imbaunya.
Kepolisian, lebih jauh Faisal menerangkan, Polda Sultra dalam hal ini, terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar selalu mengedepankan jeamaan dan ketertiban masyarakat. Sehingga Kota Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi daerah yang Kondusif, Aman dan Nyaman Bagi Masyarakatnya.
Untuk diketahui, acara Diskusi Budaya dan Pameran Benda Pusaka Sultra 2024 digelar Kendari. Acara tersebut dihadiri langsung oleh, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan XIX (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi) Drs. H. La Ode Muh. Aksa, M.Hum., Budayawan Wuna-Buton, Ormas Lembaga Tawon Sultra, Lembaga PKT Sultra, Lembaga Watra Sultra, Komunitas Batu Akik/Permata PKL Kendari, serta dari Mahasiswa Jurusan Sejarah.(red)