SULTRAFEATUREDHUKUM & KRIMINALKONAWEMETRO KOTANASIONAL

Bupati Lira Konawe Kecam Atraksi KPK Soal Penangkapan ADP dan Asrun

508
×

Bupati Lira Konawe Kecam Atraksi KPK Soal Penangkapan ADP dan Asrun

Sebarkan artikel ini

UNAAHA – Bupati Lumbung Informasi Rakyat Indonesia (Lira) Kabupaten Konawe, Rolansyah Arya Pribadi mengecam aksi atraksi KPK yang memasuki wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan melakukan penangkapan beberapa orang disangkakan bersalah dalam kasus suap beberapa waktu lalu.

Rolansyah menilai hal tersebut merupakan tindakan mencederai konsep bernegara dengan sistem demokrasi.

“Ada kesan termanfaatkan oleh sebuah momen pesta demokrasi yang akan berlangsung di Sultra pada tanggal 27 Juni 2018 nanti,” ujar Rolansyah melalui rilisnya, pada Jumat (02/3/2018).

Ia mengatakan, dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa orang serta Wali Kota aktif, Adriatma Dwi Putra (ADP) juga mantan Wali Kota Kendari, Asrun yang juga sebagai Calon Gubernur Sultra dan telah ditetapkan oleh KPU Sultra, KPK pun seolah tampil seperti Super Hero dengan menggunakan dalih Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Sebagai salah satu lembaga mitra pemerintah yang sampai hari ini juga masih menjadi Filter dari setiap kebijakan yang harus pro terhadap rakyat, Rolansyah menilai apa yang dilakukan KPK di Sultra dan beberapa daerah lainya dengan menangkap beberapa calon Kepala Daerah dengan tameng OTT adalah sebuah awal kehancuran tatanan demokrasi yang tidak mengedepankan asas netralitas dalam momen pesta rakyat.

“KPK inikan adalah sebuah lembaga yang lahir dan bertahan di bawah payung Reformasi guna perbaikan penegakan supremasi hukum, KPK itu sendiri juga bersemayam di dalam jiwa setiap anak bangsa yang peduli terhadap negara ini,” terangnya.

“Namun apa yang mereka lakukan di Sultra baru-baru ini dengan menghalalkan berbagai macam cara guna menghebokan kedamaian dan ketentraman publik justru sebagai anak bangsa, saya menganggap KPK sudah ikut-ikutan menyewakan jasa penetapan tersangka bagi calon-calon yang memiliki koneksi dan modal banyak guna memuluskan rintangan,” sambungnya.

Rolansyah merasa, KPK tergesah-gesah, padahal katanya, bukti terjadi transaksi suap tidak ditemukan, ditandai saat penangkapan dilakukan masing-masing berada di kediamannya dengan kondisi sedang istrahat (tidur). Selain itu lanjutnya, STNK, serta rekening pribadi orang yang tidak memiliki korelasi ingin dipaksakan menjadi alat bukti.

“Yang saya pahami bahwa makna OTT yang menjadi amunisi KPK ialah sebuah peristiwa di mana aparat penegak hukum menemukan masing-masing orang atas jabatanya telah melakukan sebuah perbuatan melawan hukum maka makna tangkap tangan memiliki landasan yang kuat, namun ketika dia memiliki sebuah rangkaian penyelidikan sebelumnya atau telah dilakukan pengintaian maka itu tidak sama sekali masuk dalam makna tertangkap tangan,” jelasnya.

“Sebagai salah satu lulusan Fakultas Hukum, saya melihat begitu banyak kekacauan berpikir dengan memunculkan berbagai macam istilah seperti OTT yang tidak ada dalam sistem hukum kita, sebab OTT dikenal dalam sistem Common Law dalam hukum hitam yang mengenal teory penjebakan,” pungkasnya.

Seperti diketahui, pada tanggal 28 Februari waktu lalu, KPK telah memeriksa beberapa orang diantaranya, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara bernama Hasmun Hamzah, mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari Fatmawaty Faqih, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan Calon Gubernur Sultra Asrun.

KPK telah menetapkan keempat orang tersebut sebagai tersangka pada 1 Maret 2018 kemarin dengan disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 (a) atau (b) atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Redaksi

You cannot copy content of this page