KONSEL, MEDIAKENDARI.com – Konflik agraria di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), kembali memanas. Ribuan warga yang selama ini mengelola tanah warisan leluhur kini terancam kehilangan ruang hidup mereka akibat klaim sepihak dari PT Marketindo Selaras (MS).
Alih-alih menyelesaikan masalah secara adil dan partisipatif, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konsel justru dituding menutup mata terhadap aspirasi warga.
Pada 31 Juli 2025, Pemkab Konsel membentuk Tim Terpadu untuk menangani konflik tersebut. Namun, langkah ini menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil.
Pasalnya, tim dibentuk tanpa melibatkan warga terdampak, organisasi masyarakat sipil, maupun pihak independen. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar, benarkah ini solusi, atau hanya formalitas yang memperdalam masalah.
“Apakah ini sungguh upaya penyelesaian, atau hanya legalisasi atas pengingkaran hak rakyat?” ungkap Direktur Puspaham Sultra, Kisran Makati menanggapi pembentukan tim yang dinilai sepihak itu.
Tanah yang disengketakan bukan sekadar lahan ekonomi. Bagi warga Angata, tanah tersebut adalah identitas, sumber penghidupan, dan warisan sejarah kolektif yang telah dikelola turun-temurun.
Tanpa transparansi dokumen kepemilikan dari pihak perusahaan, dan tanpa pengakuan atas riwayat penguasaan oleh warga, muncul kekhawatiran besar bahwa hak-hak rakyat akan semakin terkikis.
Langkah tergesa Pemkab Konsel ini juga dinilai bertentangan dengan semangat Reforma Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 yang diperbarui menjadi Perpres No. 62 Tahun 2023.
Regulasi tersebut menuntut adanya pengakuan atas sejarah penguasaan tanah oleh rakyat, dan keterbukaan informasi dan data, serta partisipasi aktif masyarakat melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Jika prinsip-prinsip ini diabaikan, pembentukan tim Terpadu justru berpotensi menjadi simbol penyelesaian semu yang menyimpan bara konflik berkepanjangan.
Menanggapi kondisi ini, mendesak Pemkab Konsel untuk segera membuka seluruh dokumen terkait pembentukan dan mekanisme kerja Tim Terpadu kepada publik. Dengan melibatkan warga terdampak, masyarakat sipil, dan akademisi dalam proses validasi data dan pengambilan keputusan.
Serta mengintegrasikan kerja Tim Terpadu ke dalam struktur GTRA Kabupaten agar sesuai dengan mandat nasional, dan mempublikasikan secara berkala hasil kerja dan perkembangan tim sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Konflik agraria tak bisa diselesaikan dengan pendekatan instan. Ia menuntut kesungguhan politik, keberanian mendengar suara rakyat, dan komitmen pada keadilan sejarah.
“Jangan biarkan penyelesaian menjadi nama lain dari pengabaian. Saatnya hadirkan solusi yang adil, transparan, dan partisipatif, agar tanah rakyat tetap menjadi milik rakyat,” tegas Kisran.
