KENDARI, MEDIAKENDARI.com – Di tengah hiruk pikuk suara mesin yang menggema tanpa henti, tepat di atas cerobong pembuangan debu raksasa milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang beroperasi di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), sebuah tragedi terjadi dalam kesunyian.
Bukan ledakan yang merobek langit, bukan kobaran api yang menghanguskan tubuh, melainkan kesenyapan yang perlahan-lahan menyayat, menghantam kehidupan seorang pekerja muda bernama Chandra Wiguna Porondopi.
Pria berusia 25 tahun itu bukan siapa-siapa dalam sistem industri yang keras. Ia hanyalah satu dari sekian banyak tenaga kerja yang menukar napas dan keselamatan demi sepotong penghidupan.
Namun, pada bulan Juni 2024 lalu, takdirnya berubah dalam hitungan deti, ketika suara, satu-satunya jembatan penghubungnya dengan dunia, tiba-tiba lenyap tanpa aba-aba.
“Saya tidak dengar apa-apa, semua tiba-tiba senyap,” ucap Chandra dengan suara lirih, mengenang momen yang mengubah hidupnya secara permanen.
Hari itu, Chandra tengah menjalankan tugas rutinnya sebagai crew kilen reguler di bagian ESP, divisi pembuangan debu. Ia bekerja tepat di atas mesin besar yang bergetar dan menggelegar, nyaring seperti dentuman senjata berat.
Tanpa alat pelindung telinga, ruang kerja itu berubah menjadi penjara bising yang perlahan-lahan menghancurkan indra pendengarannya.
“Dari jarak beberapa meter saja sudah terasa bising, apalagi saya yang kerja tepat di atasnya tanpa pelindung telinga,” ungkapnya.
Bagi Chandra, sistem keselamatan kerja di pabrik itu hanyalah formalitas belaka. Ia menilai keberadaan prosedur K3 hanya tampak di atas kertas, namun tidak nyata di lapangan.
“Di sana ada K3, tapi hanya formalitas. Yang mengarahkan kami kerja saja tidak paham keselamatan kerja,” tegasnya.
Awalnya, Chandra belum menyadari bahwa telinganya benar-benar kehilangan fungsi. Tapi sesampainya di rumah, kenyataan datang menghantam tanpa kompromi.
“Sampai rumah, saya sudah tidak bisa dengar apa-apa. Orang rumah harus teriak baru saya bisa menangkap suara,” kenangnya.
Ia segera memeriksakan diri ke puskesmas dan kemudian dirujuk ke RS Hermina. Hasil diagnosis menghancurkan harapannya, sebagian saraf pendengaran di telinga kiri mengalami kerusakan permanen.
“Saya mengalami telinga berdengung dan sering sakit nyeri kepala bagian kiri, kadang sampai ke mata sebelah kiri nyerinya. Dan ini sudah 1 tahun saya begini kalau malam sudah sunyi, itu kentara sekali dengungnya sampai saya suka susah tidur,” tambahnya dengan getir.
Namun, yang paling menyakitkan bagi Chandra bukanlah kerusakan fisik, melainkan perlakuan yang diterimanya setelah insiden itu terjadi. Ketika ia melaporkan kondisi dan menunjukkan bukti medis kepada perusahaan, tanggapan yang diterima sungguh mengecewakan.
“Saya sudah tunjukkan resep obat, surat izin, bahkan hasil diagnosis dokter. Tapi bukannya didukung, malah disuruh kerja lagi,” ucapnya kecewa.
Chandra juga mencoba menanyakan soal kompensasi sebagai korban kecelakaan kerja. HRD perusahaan meminta dokumen asli pengobatan untuk diserahkan ke manajemen.
Namun setelah itu, semua komunikasi terputus. Tak ada tindak lanjut, tak ada kabar yang datang justru adalah surat pemutusan kontrak kerja.
“Saya dalam masa pengobatan, tapi kontrak malah dihentikan. BPJS saya otomatis nonaktif. Akhirnya saya terpaksa hentikan pengobatan saya,” tuturnya, lirih namun tajam.
Tak ingin nasibnya menguap begitu saja, Chandra membawa kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Provinsi Sultra.
Ia menyusun laporan sendiri, tanpa pendamping hukum, tanpa serikat pekerja. Hanya seorang diri, bersandar pada harapan kecil bahwa negara masih punya hati nurani.
“Saya datang ke Disnaker 16 Agustus 2024, semua saya urus sendiri. Tapi sampai sekarang, tidak ada kejelasan,”
jelasnya.
Kini, Chandra menjalani hari-harinya dalam dua keheningan yakni keheningan dunia luar yang tak lagi bisa ia dengar dengan jelas, dan keheningan sistem yang enggan memberi keadilan.
“Kecelakaan kerja harusnya jadi tanggung jawab penuh perusahaan. Tapi saya justru diabaikan,” ujarnya, menutup kisahnya.
Kisah Chandra adalah potret buruh yang terbuang dalam diam. Di balik mesin-mesin debu yang terus menderu, ada luka yang tak tampak tapi nyata. Ada tangis yang tidak terdengar.
Namun sangat dalam, dan ada nyawa yang perlahan dihancurkan bukan oleh ledakan besar, tetapi oleh kelalaian sistem yang membiarkan mereka bekerja tanpa perlindungan.
Hingga berita ini diterbitkan, MEDIAKENDARI.com masih terus berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak PT. OSS dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara terkait insiden kecelakaan kerja yang menimpa Chandra. Informasi lebih lanjut akan disampaikan setelah redaksi memperoleh keterangan resmi dari pihak-pihak terkait.
