HEADLINE NEWSKendariMETRO KOTANEWSPOLITIK

Bedah Survei THI, Dibalik Angka Kuasa Politikus Tua

805
Direktur eksekutif The Halu Oleo Institute Naslim Sarlito Alimin. (Foto : Kang Upi/mediakendari.com)

Editor : Kang Upi

KENDARI – Senioritas rupanya masih menjadi indikator masyarakat dalam menilai kecakapan para politisi, untuk menduduki kursi kekuasaan. Sehingga tak heran, para politisi “tua” masih menguasai panggung aneka survei serta opini publik jelang Pemilu 2019.

Hal ini sebagaimana terekam dalam hasil survei The Haluoleo Institute (THI), yang dirilis Minggu, (10/03/2019) lalu. Hasil survei ini sendiri sempat menimbulkan beragam komentar, dari berbagai pihak.

Menurut sejumlah politisi, terdapat anomali dalam hasil survei yang dirilis THI. Hal ini khususnya berkaitan dengan peta politik dan penguasan wilayah dukungan, yang dianggap berbeda dengan hasil survei internal partai politik.

Tanggapan tersebut, salah satunya diungkapkan Ketua Harian DPW PAN Sulawesi Tenggara, Kery Saiful Konggoasa, yang menanggapi eksistensi Caleg DPR RI Hugua, di Dapil 6 Sultra yakni Wilayah Konawe, Konawe Utara dan Konawe Kepulauan.

Terkait hal ini, Direktur eksekutif The Haluoleo Institute, Naslim Sarlito Alimin menjelaskan, hasil survei THI menggambarkan bahwa masyarakat masih melihat kemapanan figur politisi atau senioritas politik sebagai indikator, yang menentukan elektabilitas.

“Jadi tidak heran, kalau Hugua, Ridwan Bae dan politisi senior lain masih berada di posisi teratas dihasil survei, dibanding politisi muda,” ungkapnya, saat diwawancarai untuk Hak Jawab, atas sejumlah pemberitaan di mediakendari.com, Rabu (13/03/2019).

Ia juga menjelaskan, pandangan masyarakat ini juga yang menjadi tantangan berat bagi figur politisi kawakan, yang melekukan pembingkaian elektoral pada figur keluarga, untuk menurunkan trah politiknya di Pemilu 2019.

“Dalam konteks elektoral, ini bukan perkara yang mudah bagi siapapun, karena membingkai elektoral figur itu pekerjaan dan investasi jangka panjang,” ujarnya.

Menurutnya, dari survei yang dirilis THI tersebut untuk di Dapil 6, khususnya untuk figur Fachry Pahlefi Konggoasa (FPK) yang memiliki elektabilitas lebih rendah dibanding Hugua, bisa dilihat dalam dua faktor.

“Pertama, belum efektifnya pembingkaian elektoral yang dilakukan dan masih tergambar adanya peta elektabilitas Hugua, sebagai eks Calon Wakil Gubernur Sultra,” ungkap Naslim.

Sebagai mantan Cawagub, kata Naslim, Hugua pernah tersebutkan namanya di lebih dari 1 juta surat suara. Hal itu tentu merupakan kampanye dan sosialisasi masif, yang membentuk pemilih fanatik, yang masih eksis.

“Jika dilihat rentang waktu Pilgub dan Pilcaleg yang hanya setahun, tentu masih eksis pemilih fanatik Hugua. Dan perlu di garis bawahi pasangan Asrun – Hugua itu menang di Konawe, itu membuktikan bahwa masa dukungan di daerah tersebut cukup dominan,” tambahnya.

Naslim juga menjelaskan, untuk mendapatkan presentase elektoral atau potensi keterpilihan, responden tidak hanya diminta tanggapan atas popularitas atau keterkenalan orang dan kesukaan, tetapi juga tanggapan atas latar belakang, kemampuan memimpin dan pengalaman figur.

“Dalam penilaian aspek kemampuan dan kepantasan inilah politisi senior atau mantan Cagub itu diuntungkan oleh penilaian yang masyarakat dibanding politisi muda. Karena masyarakat, yang sudah memiliki pola penilaian tersendiri,” ungkapnya.

Sementara itu, untuk perbedaan nilai antara THI dengan sejumlah lembaga survei lainnya, kata Naslim, hal itu bukan merupakan anomali, sebab banyak faktor yang bisa membentuk perbedaan tersebut. Misalnya saja, jumlah responden dan marjin of error.

“Survei itu bekerja dengan teori pendekatan tertentu, sehingga nilainya tidak kasat mata, karena memiliki marjin of error, dan yang paling penting harus dilihat bahwa nilai itu adalah persatuan waktu,” tegasnya.

Namun demikian, dengan keraguan dan penilaian sejumlah pihak, ungkap Naslim, dirinya memaklumi sebab, hasil survei politik itu merupakan matematika statistik yang disajikan di alam politik yang sangat dinamis.

“Jadi nilai survei itu memiliki dua tempat, sebagai hasil penilaian matematika statistik dan nilai politik, yang dilihat dari sudut pandang masing-masing,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, untuk menjamin kualitasnya, hasil survei THI bisa dilakukan uji forensik sesuai ketentuan yang berlaku di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) sebagai induk resmi lembaga survei di Indonesia.

“Kami lembaga survei lokal satu-satunya yang sudah tersertifikat di Persepi, kami menjamin kualitas dan objektifitas hasil berdasarkan ketentuan Persepi. Dan setiap selesai survei kami selalu mengirim rilis,” pungkasnya.

BACA JUGA :

Tudingan Salah Prediksi Saat Pilwali Kendari dan Pilkada Konawe

Pada kesempatan wawancara bersama mediakendari.com ini, Direktur eksekutif The Halu Oleo Institute Naslim Sarlito Alimin juga menyangkal melakukan kesalahan saat merilis prediksi kemenangan dalam Pilwali Kendari, pada 2017 lalu.

Menurutnya, saat Pilwali Kendari THI memang melakukan rilis untuk melihat peta suara pasangan Abdul Razak – Haris Andi Surahman, yang bertarung melawan pasangan Adriatma Dwi Putra-Sulkarnain dan Zayat Kaimuddin – Suri Syahriah Mahmud.

“Waktu Pilwali Kendari, kami memang survei, tapi tidak rilis, karena data yang dihimpun Oktober 2016, sudah tergambar bahwa pasangan Abdul Razak – Haris Andi Surahman kalah di Pilwali Kendari,” tegasnya.

Sementara itu, untuk di Konawe, tegas Naslim, THI bahkan tidak melakukan survei. Namun diisukan oleh pihak tertentu bahwa THI melakukan survei untuk pasangan Litanto – Hj Murni Tombili.

“Kami tidak tahu siapa yang menyebarkan isu dan informasi bahwa kami melakukan rilis di Pilwali Kendari dan survei Pilkada Konawe, makanya itu kami ingin meluruskan informasi ini,” tegasnya.

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version