RAHA – Terkait dugaan intimidasi dan pengancaman dengan menggunakan Senjata Tajam (Sajam) kepada salah satu Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Wuna Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dituduhkan kepada, Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama (BKK), Josaphat, akhirnya angkat bicara.
Josaphat menjelaskan, pada saat sebelum kejadian tersebut, pihaknya tengah mengadakan rapat bersama, guna membahas permasalahan kenaikan biaya administrasi kampus yang dituntut oleh para mahasiswa dengan melakukan unjuk rasa pada tanggal 9 Januari 2018 lalu.
“Sebenarnya tidak ada keributan. Hanya pada saat itu ada seorang mahasiswa dalam kondisi mabuk dan melukai dirinya menggunakan garpu dan berusaha menerobos ruang kantor,” ucap Josaphat saat ditemui di kediamannya, pada Sabtu, (13/1/2018).
Saat mahasiswa itu mencoba menerobos, lanjut Josaphat menerangkan, tindakan tersebut kemudian dicegah oleh dirinya dan sempat menangkis pukulan yang dilayangkan oleh mahasiswa tersebut padanya.
“Saya dalam posisi terdesak, dia memaki saya dan memaksa saya untuk melakukan perkelahian dengan menggunakan senjata tajam,” terangnya.
[Baca Juga: Diduga Ancam Mahasiswa Pakai Sajam, Pimpinan STIP Wuna Didemo]
Tidak terima diperlakukan seperti itu dan merasa tidak dihargai, Josaphat kemudian meladeni permintaan mahasiswa tersebut dengan pulang ke rumahnya untuk mengambil sebilah senjata tajam miliknya.
“Saya memang kejar dia, tapi karena dia menghindar melarikan diri, saat itu juga saya berhenti dan mengurungkan niat saya untuk mengejarnya,” kata Josaphat.
Setelah kejadian itu, Josaphat kemudian kembali ke kantor dan menghubungi pihak Kepolisian guna mengamankan situasi.
“Wujud dari tanggungg jawab, saya sudah menulis surat untuk pengunduran diri dan suratnya sudah saya serahkan pada saat itu juga, karena saya merasa telah gagal dalam mendidik mahasiswa. Kalaupun saya masih diminta untuk konfirmasi terkait masalah ini saya siap,” tandasnya.
Terkait masalah kebijakan kampus dengan menaikan biaya administrasi, baik ujian proposal, ujian meja, dan skripsi, Josaphat mengatakan, itu hanyalah miskomunikasi antara mahasiswa dan pihak kampus.
Ia menerangkan, kekeliuran terjadi pada Ketua Program Studi yang tidak mensosialisasikan kebijakan tersebut pada mahasiswa. Pihak Kampus mengambil kebijakan berdasarkan keterbatasan dana yang dikarenakan kondisi kampus yang kurang memadai. Disamping itu, kebijakan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan menambah kualitas pelayanan pada mahasiswa.
“Para dosen itu dibayar hanya Rp 400 ribu per semester atau tiap enam bulan, sehingga kami pengelola berpikir bagaimana sebenarnya meningkatkan kesejahteraan dosen sehingga perlu adanya kenaikan disamping banyaknya tuntutan kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan,” tutupnya.
Reporter: Erwin
Editor: Kardin