OPINI

Berpolitik Mencari Kekuasaan

2699
Rusli, Mahasiswa Program Doktor Universitas Hasanuddin

Tulisan “Rusli” 05/02/2019 Diskursus politik nasional sekarang dalam menghadapi pesta demokrasi yaitu pelaksaan pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilihan umum yang secara dinilai oleh rakyat hanya merupakan sebagai pesta demokrasi pun ternyata belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena didalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi cara-cara lain yang dilakukan oleh kandidat pemilu maupun partai nya sendiri. Singkatnya, ilmu politik selain mempelajari tentang interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, juga membicarakan tentang berbagai upaya perebutan mencari dan mempertahankan kekuasaan.

Karena tidak semua masyarakat tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Konsep kekuasaan tidak hanya berada di ilmu politik saja, dan tidak semua bentuk kekuasaan merupakan kekuasaan politik. Kekuasaan dalam konteks politik adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruhnya terhadap pihak lain dalam proses politik. Itu semua bias disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga dalam pesta politik, seperti pemilu, masyarakat tersebut akan bersikap acuh dengan pemilu karena dapat disebabkan masyarakat tidak mengenal partai,ataupun tidak tahu calon yang akan dipilih nantinya sebagai pemimpin yang berkuasa dalam satu negara atau yang akan menjadi wakil rakyat di senayan nantinya.

Kerangka dimensi-dimensi sosial masyarakat, akan  selalu terkait dengan politik. Dimensi politik dalam masyarakat, menurut Franz Magnis Suseno (1991) nkan mencakup lingkaran-lingkaran kelembagaan hukum dan negara serta sistem-sistem  nilai dan ideologi-ideologi  yang  memberikan  legitimasi kepadanya. Sepintas lalu, pernyataan di atas memberikan alasan kemustahilan jika masyarakat terpisah dengan politik. Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk mendapat ketaatan warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk memengaruhi tindakan dan aktivitas penguasa di bidang administratif, legislatif dan yudikatif.

Politik dan masyarakat, atau sebaliknya, adalah dua sisi mata uang; kendati saling berbeda titik tekannya namun ia tak mungkin terpisahkan  dalam realitas sosialnya, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, baik pada lingkup individu maupun kelompok. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia.

Hal itu berlaku pada berbagai negara demokrasi, baik secara lokal, nasional maupun dalam konteks internasional. Sebagaimana yang populer memiliki asumsi kekuasaan seperti dinyatakan Machiavelli (1989) bahwa untuk mengukuhkan kekuasaan demi menjaga keamanan dan kestabilan, tidak perlu mementingkan nilai moral dan etika karena kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan. Oleh sebab itu, bahwa kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Kekuasaan dapat dikatakan melekat pada jabatan ataupun pada diri orang tersebut, penjelasannya adalah sebagai berikut:

  1. Position Power, kekuasaan yang melekat pada posisi seseorang dalam sebuah organisasi.
  2. Personal Power, kekuasaan yang berada pada pribadi orang tersebut sebagai hubungan sosialnya.

Di sini masyarakat akan mengetahui proses politik dari segi strukturnya, perilaku yang dikehendakinya dan lain sebagainya. Pemilihan umum (Pemilu) sebagai bagian dari proses politik di Indonesia akan dapat diikuti tahapan-tahapan dengan baik apabila masyarakatnya telah mengenali Pemilu dari segi keharusan-keharusannya dan dari segi larangan-larangannya. Menurut Harold Laswell terdapat 8 nilai yang dikejar dalam politik, yaitu kekuasaan, pendidikan, kekayaan, kesehatan, keterampilan, kasih sayang, kejujuran/keadilan dan keseganan. Bahwa demikian kompleksnva hubungan negara (politik) dengan masyarakat.

Oleh sebab itu dalam pemegang kekuasaan itu bisa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah. Begitu pula dengan sasaran dari kekuasaan itu sendiri. Tetapi, pihak yang mempunyai sumber kekuasaan belum tentu memiliki kekuasaan, hal itu bergantung pada kemampuannya untuk menggunakan sumber kekuasaan itu. Penggunaan sumber kekuasaan dapat dilakukan dengan paksaan, konsensus ataupun kombinasi dari keduanya. Kekuasaan bisa jadi memiliki tujuan yang baik atau juga buruk. Itulah mengapa sumber pengaruh digunakan untuk mempengaruhi proses politik.  Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara.

Secara umum juga dapat dikatakan bahwa seseorang jelas-jelas tidak dapat menghindarkan dari hidup bernegara. Dalam masyarakat yang tidak demokratis atau masyarakat yang dipimpin oleh seorang yang diktator, penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan paksaan. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir. Di dalam masyarakat yang tidak demokratis, ada kecenderungan penguasa untuk masuk terlalu jauh dalam mengatur kehidupan dan kepercayaan serta pribadi warganya sesuai dengan keinginan penguasa Para kandidat yang ingin mendapatkan kekuasaan juga harus memberikan citra politik dan opini publi yang baik (Arifin, 2011: 299), maka kandidat penguasa ini harus berlomba-lomba untuk berkampanye kepada masyarakat dan menunjukan pencitraan yang baik. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi rakyat agar memilih mereka. Dengan kekuasaan politik di tangan kelompok pemegang kekuasaan melaksanakan aktivitas politik dengan tujuan khusus atau bersama, mereka berusaha agar kekuasaan tetap berada di tangan mereka dan berusaha mencapai tujuan umum dari rakyat yang diperintah sesuaidengan nilai-nilai bersama atau hanya diakui sepihak. Dalam hal terakhir ini, biasanya fasilitas-fasilitas yang melekat pada kedudukan dan jabatan yang dikuasai dipergunakan untuk kepentingan golongan sendiri.

Sebab itu, siapa pun yang menggenggam kekuasaan di dalam organisasi akan menggunakannya guna mempengaruhi (to influence) orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan adalah sumber daya sosial yang ditujukan demi melancarkan pengaruh, yaitu proses sosial, dan keduanya merupakan unsur politik. Dan itu tercermin di dalam teori elit (hanya sekelompok kecil di masyarakat yang menguasai tampuk kekuasaan karena posisi dan kedudukannya, dan tidak berubah hanya terjadi sirkulasi diantara kelompok tersebut)  Sama halnya sebuah kekuatan yang disimpan, tentu akan menjadi semakin kuat dan berdaya tinggi bila sewaktu-waktu meledak. Bahaya laten yang tidak terdeteksi, dan bisa ditengarai, akan menjadi konflik laten yang merusak karena manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Ibnu Khaldun menambahkan bahwa sebuah kekuasaan yang mendekati kehancuran yaitu krisis ekonomi dan krisis moral.

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version