OPINI

BUTON TANAH AIRKU: SIONTAPINA KAMPOKU DAMAIMU DI MANA?

1466

Penulis : Dr. Darmin Tuwu, S.Sos, M.A.

Direktur Lembaga Kesejahteraan Sosial Indonesia Timur (LKSIT)

Kepala Laboratorium Ilmu Kesejahteraan Sosial FISP UHO Kendari.

Sebagai masyarakat multikultural (plural societies), Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya Mengawali tulisan ini saya buka dengan pertanyaan Gerry Van Klinken (2007): mengapa kekerasan terkesan begitu ”normal” terjadi dalam budaya Indonesia? Columbijn menggunakan prinsip-prinsip psikologi sosial untuk mengemukakan bahwa xenophobia adalah salah satu konsekuensi dari kohesi sosial yang kuat di Indonesia, dengan menyimpulkan: ”suatu identitas sosial yang sangat kuat, bersama dengan kecenderungan untuk memandang orang luar identitas seolah-olah bukan lagi manusia, kombinasi itu adalah akar dari segala macam kekerasan di Indonesia.

Sebagian orang Buton masih ingat dengan peristiwa konflik berdarah di Hari Lebaran Idul Fitri dua puluh tahun silam yang terjadi di tanah rantau Maluku Ambon. Akibat konflik tragis yang berbasis agama tersebut, Kota Ambon yang semula dikenal dengan sebutan “Ambon Manise” berubah total menjadi “Ambon Nangise”. Ambon menangis, tangisannya bahkan menggema seantero Nusantara. Konflik Maluku menghasilkan banyak anak menjadi yatim piatu karena kehilangan orang tuanya, istri kehilangan suami, atau suami kehilangan istri dan banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Pusat Studi Konflik dan Perdamaian UGM melaporkan bahwa kerugian konflik Maluku Ambon meliputi: korban meninggal dunia mencapai puluhan ribu orang, korban pengungsi mencapai ratusan ribu orang, sarana, prasarana dan infrastruktur termasuk tempat ibadah banyak yang rusak dan hancur.

Kisah konflik lebaran Idul Fitri 1999 di Maluku Ambon seolah-olah terulang kembali di Tanah Buton. Bedanya, kalau tahun 1999 lalu, pihak-pihak yang berkonflik melibatkan orang Maluku Ambon yang beragama Kristen dengan orang Buton, Bugis Makassar yang beragama Islam. Namun konflik Tahun 2019 ini, tepatnya terjadi hari Rabu tanggal 5/6/2019, pihak-pihak yang berkonflik melibatkan orang Buton Desa Sampuabalo versus orang Buton Desa Gunung Jaya. Dua Desa yang bertetangga ini berada dalam wilayah kecamatan Siontapina sama-sama orang Buton yang beragama Islam.

Di Hari Raya Idul Fitri 1440 H seyogyanya umat Islam melakukan silaturahim, mengunjungi keluarga, sanak saudara, kerabat, teman, dst untuk saling bermaaf-maafan satu sama lain. Namun kegembiraan pada hari suci itu sirna justru warga Desa Gunung Jaya mengalami ketidak bahagiaan, ketidak damaian, ketidak nyamanan, dan hati yang cemas penuh was-was, ketakutan dan penderitaan. Sebagaimana yang dilansir oleh media offline dan online sampai dengan tanggal 7 Juni 2019 Data korban konflik Siontapina Buton adalah sebagai berikut: 2 orang meninggal dunia, 8 orang terluka, 87 buah rumah terbakar, serta 700 orang warga Desa Gunung Jaya mengungsi ke tiga desa yaitu Desa Laburunci, Kelurahan Kombeli, dan Desa Lapodi. Jumlah korban materil dan non-materil tersebut masih bisa bertambah seiring dengan dinamika dan eskalasi konflik yang terjadi.

Peristiwa Konflik Dalam Masyarakat Majemuk

David Lockwood berkata dalam setiap masyarakat senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal, yakni: Pertama, tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan Kedua, substratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat secara bersama-sama di dalam setiap sistem sosial. Tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik di dalam masyarakat. Sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial dalam masyarakat justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat.

Konflik merupakan gejala yang senantiasa melekat dalam kehidupan masyarakat multikultural, dan konflik tidak mungkin bisa dilenyapkan. Mengapa demikian? Karena sebagai gejala kemasyarakatan yang selalu inheren di dalam kehidupan setiap masyarakat, eksistensi konflik tidak dapat dilenyapkan, ia hanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu menurut Nasikun (2007) yang dapat dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar peristiwa konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial dalam masyarakat, konflik yang terjadi di antara berbagai kelompok sosial yang saling berlawanan dalam masyarakat tidak terwujud dalam bentuk kekerasan (violence).

Sejarah konflik dan kekerasan manusia dimulai sejak Kabil menghabisi saudara kandungnya sendiri yaitu Habil. Pembunuhan yang dipicu oleh nafsu amarah, ketidak puasan dan ketidak patuhan Kabil terhadap keputusan yang diberikan kepadanya untuk menikah dengan saudara kandung Habil yang jelek. Kabil protes kepada Bapaknya yaitu Nabi Adam AS, bahwa mengapa dia harus dinikahkan dengan saudara perempuan Habil yang jelek. Dalam pikiran Kabil dia mestinya menikah dengan saudara perempuannya yang cantik. Insting kebinatangan Kabil yang tega menghabisi saudara kandungnya sendiri juga terjadi di era setelahnya sampai hari ini. Sejarah umat manusia ditandai oleh pertentangan, pertikaian, perang, dan pembunuhan. Pemicunya adalah wanita (prestise), harta (ekonomi), dan tahta (politik-kekuasaan) atau kombinasi antara ketiga hal tersebut. Mari kita simak kasus konflik yang terjadi di Indonesia misalnya konflik Sambas, konflik Maluku, konflik Poso, konflik Buton vs Kota Bau-bau, dll hingga konflik Siontapina.A

Kalau kita “zoom in” kasus konflik Siontapina tidaklah mungkin hanya disebabkan oleh karena konvoi kendaraan bermotor dengan bunyi suara knalpot yang besar, lalu berujung pada pembunuhan dan pembakaran 87 rumah. Lebih dari itu kalau di “zoom out” mungkin terkait dengan wanita, harta dan tahta.

Resolusi Konflik
Sebuah peristiwa konflik yang terjadi dalam masyarakat, entah ia skala besar ataupun kecil, sebaiknya segera ditangani dengan cepat, dan harus diselesaikan dengan tuntas sampai ke akar masalah, agar eskalasi konflik tidak meningkat, supaya wilayah konflik tidak meluas, dan supaya akibat dari konflik tidak menimbulkan kerugian dan korban yang lebih banyak lagi. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan dan mengeliminasi segala bentuk kerugian dan penderitaan yang diakibatkan oleh konflik dan kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian.
Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bertikai dan bermusuhan. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya.

Agar konflik Desa Gunung Jaya dan Desa Sampuabalo Siontapina Buton tidak berkepanjangan sehingga menimbulkan korban jiwa, dan kerugian materil berupa hilangnya harta benda dan rusaknya sarana prasarana publik dan hilangnya aset-aset berharga lainnya yang merugikan masyarakat, maka perlu penanganan yang segera, tuntas dan berjangka panjang.

Pertama, dalam jangka pendek segera memadamkan kobaran api konflik yang sedang berkecamuk, menghentikan eskalasi pergerakan massa di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai, serta memproteksi masuknya bala bantuan dari luar desa. Hal ini dimaksudkan untuk memutus kobaran api, menekan kerugian materil, dan menghentikan jumlah korban jiwa berjatuhan tidak bertambah banyak dan dampak konflik tidak menyebar luas dalam masyarakat. Peran Bupati Buton, Dandim Buton, Kapolres yang dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dari kedua belah pihak yang bertikai sangat diperlukan.

Kedua, Langkah cepat Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam memberikan bantuan sosial dan menangani korban konflik sangat dibutuhkan. Dalam hal ini pemerintah sudah bergerak cepat menangani korban jiwa, korban luka-luka, dan korban di pengungsian, melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD): Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR): Dinas Sosial: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Dinas Kesehatan yang dibantu oleh TNI-Polri. Termasuk janji Gubernur H. Ali Mazi, S.H. untuk membangun kembali rumah korban konflik patut diapreasiasi dan diacungi jempol sebagaimana dilansir dalam media online zonasultra.com hari Jumat tanggal (7/6/2019). Untuk pembangunan kembali rumah korban yang rusak dan terbakar akibat konflik, harus dipastikan bahwa semua korban harus mendapatkan kembali rumah. Jika tidak demikian, maka dipastikan akan menambah daftar panjang masalah dan kekecewaan masyarakat.

Ketiga, memberikan rasa keadilan hukum (rule of law) kepada para korban, serta menjamin rasa kedamaian, kenyamanan, dan keamanan bagi masyarakat Siontapina dengan cara menangkap, mengamankan, dan atau mengadili oknum-oknum yang diduga sebagai provokator dan atau aktor-aktor konflik. Saya yakin dan percaya, TNI-Polri dapat bekerja secara profesional untuk menangani masalah ini. Tanpa langkah ini, maka semua upaya yang dilakukan di atas sama dengan membuang garam dalam laut alias upaya perdamaian akan menjadi sia-sia belaka.

Keempat, menghilangkan dasar konflik atau meniadakan akar/sumber konflik yang terjadi dari tindakan-tindakan mereka yang sedang berkonflik. Dari pembacaan berbagai literatur dan hasil studi ditemukan bahwa akar dan sumber konflik bisa berupa diskriminasi, ketidakadilan, kesejangan sosial (inequality), kemiskinan, pengangguran, kekerasan struktural, dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya, kekerasan simbolik, dll.

Kelima, secara sosial budaya mengupayakan perdamaian yang jangka panjang. Mengaktifkan kembali lembaga-lembaga sosial yang dianggap lebih mampu menangkal dan menyelesaikan konflik. Dalam budaya Buton ada falsafah hidup: “pomaa-maasiaka, popia-piara, dan powaangka-angkataka. Falsafah hidup Buton ini nampaknya sudah tidak diamalkan lagi atau bahkan sudah hilang sama sekali dalam kehidupan masyarakat Buton.

Sepengetahuan saya sebagai orang Buton, nilai-nilai dan falsafah hidup ini tidak boleh hilang, malahan harus diamalkan dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Menurut hemat saya sebagai orang Buton, perilaku konvoi motor di malam lebaran yang mengganggu kenyamanan dan ketentraman saudara merupakan perilaku primitif tidak terpuji, dan tindakan membakar atau melemparkan bom rakitan ke rumah saudara sendiri adalah cerminan mentalitas Kabil di era 2019, dan tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan falsafah Buton. “Coba binciki kulimu, ande mapiy binciki kulimu berarti amapiy uka namisina tolidamu”.

Terakhir, perlu kiranya mengaktifkan kembali pranata sosial berbasis kearifan lokal yang mampu menjaga kampung dari pertikaian, seperti sosok Parabela. Di saat bersamaan juga pemerintah daerah memberikan porsi yang besar kepada generasi muda untuk bekerja bersama pemerintah dalam mewujudkan Buton yang aman, damai, dan sejahtera melalui upaya-upaya dan kegiatan pendidikan dan penelitian.

Wallahu alam bi sawab.

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version