KENDARI – Gempa dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tenggah (Sulteng) pada Jumat (28/9/2018) lalu, hingga saat ini masih menyisahkan cerita pilu. Karena warga yang kehilangan tempat tinggalnya masih bertahan di tenda pengungsian meskipun harus berdesak-desakan. Pasca gempa berkekuatan 7.7 Skala Richter banyak warga terserang berbagai macam penyakit, Tim relawan dan medis terus berdatang dari berbagai di Indonesia, untuk memeriksa kesehatan warga di Sulteng, dan salah satunya Sri Naca Hardiana. A. Nompa, S. KG.
Sri Naca Hardiana. A. Nompa merupakan Dokter Muda asal Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) saat ini tercatat sebagai Mahasiswi Kedokteran di Salah Satu Perguruan Tinggi di Makassar.
Dirinya selalu terlibat dalam setiap gempa yang terjadi di Indonesia, pada gempa bumi di Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) beberapa waktu lalu, dirinya terlibat sebagai relawan medis utusan KNPI Sulawesi Selatan (Sulsel).
Dokter cantik ini menceritakan pengalamannya selama di Sulteng, usai melakukan penggalangan bantuan untuk korban gempa, ia dan rekan-rekannya memutuskan untuk ke Sulteng bertemu langsung dengan para warga yang tertimpah musibah, di daerah itu mereka bertugas di Kabupaten Sigi.
“Nama saya memang sudah terdata sebagai relawan. Jadi sewaktu-waktu dibutuhkan, saya berangkat,” ujarnya, Rabu (17/10/2018) melalui rilisnya yang dikirim ke redaksi Mediakendari.com.
Ia menceritakan keadaan disana begitu memprihatinkan karena banyak bangunan yang rata dengan tanah.
Banyak masyarakat yang mengungsi di tanah lapang dan tinggal dalam tenda pengungsian. Selain berhubungan dengan kesehatan ia bersama tim relawan lain juga memberikan edukasi tentang pola hidup bersih.
“Kita harus menumbuhkan kembali semangat mereka yang masih trauma dengan musibah itu, dengan memberi masukan-masukan positif,” lanjutnya.
Saat ditempat di daerah Sigi dia dan teman-temannya melakukan pemeriksaan kesehatan secara mobile ke beberapa posko pengungsian yang masih kurang mendapatkan bantuan medis. Dengan sasaran perempuan dan anak-anak, selama menangani pasien ia dan rekan-rekannya mendapatkan keluahan warga tentang berbagai macam penyakit yang mereka derita selama di pengungsian.
“Penyakit yang lebih dominan kami temukan yaitu Ispa, hypertensi, diare, alergi, sakit-sakit badan karena diakibatkan terkena runtuhan bangunan, dan sebaginya,” ceritanya.
Dikatakanya, selama menjadi relawan gempa di lombok dan Sulteng dirinya mendapatkan berbagai macam pengalaman yang berharga diantaranya belajar untuk bersabar, bekerja secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun.
“Menjadi relawan gempa merupakan kesyukuran tersendiri buat saya, karena saya juga bisa ikut serta merasakan duka saudara-saudara kita yang tertimpah musibah. Tapi saya sangat bersyukur bisa membantu mereka dalam bentuk fisik, finasial dan doa,” jelasnya.
Selama menjadi relawan, dirinya juga merasa sedih karena melihat isak tangis dan kesedihan para korban yang kehilangan rumah dan keluarganya.
“Ada tekanan batin tersendiri yang saya rasakan karena ikut merasakan duka mereka, tapi saya harus tetap tersenyum dibalik kesedihan yang berat itu,” katanya lagi.
Namun seberat apapun tugas yang dia jalani sebagai relawan, selalu mereka jalani dengan keadaan apapun.
“Kami datang membantu mereka bukan datang untuk membuat mereka susah dan menambah kesedihan.Jadi harapan saya untuk Palu semoga semua kembali seperti semula. Semoga semua korban tetap sabar dan ikhlas atas ujian dari Allah SWT yang diberikan kepada kita semua. Insya Allah Ujian ini ada hikmahnya,” tuturnya.
Redaksi