KENDARI – Forum Tokoh Peduli Umat Sulawesi Tenggara (Sultra) menolak Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 bila disahkan karena dianggap bahaya. Penolakan ini berujung rapat audiensi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diterima langsung oleh Wakil Ketua I, Heri Asiku serta anggota Komisi IV, Muhammad Poli dan Haeruddin Konde, Rabu 22 Desember 2021.
Dalam audiensi itu, forum tokoh peduli umat Sultra secara tegas menolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dilihat dari beberapa poin yang menyimpang seperti, dalam Pasal 5 ayat 2 yang memuat frasa tanpa persetujuan korban
Hal itu mengandung makna bahwa legalisasi perzinahan atau seks bebas, dengan maksud segala hubungan seksual dapat dibenarkan dan bukan merupakan kekerasan seksual bila ada persetujuan antara dua belah pihak
“Maka ini tidak ada relevansi lagi relasi pelaku dan korban, yang ada hanyalah hubungan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka,” ungkap salah satu pimpinan pondok di Kendari, KH Amrin Abdullah.
Ia menilai peraturan ini justru memantik aktivitas perzinahan atau seks bebas yang dilakukan atas dasar suka sama suka dengan semakin massif dan intensif karena tidak terkategori pada kekerasan seksual sepanjangan adanya persetujuan.
“Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, riset dan Teknologi semestinya menjaga akidah islam sebagai agama resmi yang diakui oleh negara, melindungi dan menjaga nilai-nilai dan norma-norma ajaran islam termasuk turut serta melindungi segenap anak didik sebagai generasi harapan bangsa dari bahaya perzinahan atau seks bebas,” harapnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua I, Heri Asiku mengatakan bila peraturan ini akan menjerumuskan generasi bangsa pada jalan yang salah, maka secara pribadi ia sampaikan tegas juga akan menolak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
“Sebab bila ini menjerumuskan kita pada hal keburukan, ya maka harus kita tolak secara tegas,” kata Heri Asiku.
Ditempat yang sama, Anggota Komisi IV, Muhammad Poli mengatakan dengan adanya frasa tanpa persetujuan korban yang memiliki makna ambigu dengan mempertimbangkan nilai pancasila, budaya, norma agama. “Maka saya harap masyarakat lain bisa juga ikut menyuarakan hal ini,” ujarnya.
Penulis : Muhammad Ismail