HEADLINE NEWSBUTON UTARAEKONOMI & BISNISNEWS

Hirup Untung Harum Nilam

3881
Salah satu petani Nilam di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Fiklat Munajad di kebun nilam miliknya. Foto: La Ode Adnan Irham
Salah satu petani Nilam di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Fiklat Munajad di kebun nilam miliknya. Foto: La Ode Adnan Irham

Laporan: La Ode Adnan Irham

BUTON UTARA – Setahun belakangan, tak sedikit petani di Kabupaten Buton Utara mulai beralih dari tanaman Hortikultura dan Palawija ke tanaman Nilam sebagai sumber penghasilan baru untuk mendongkrak ekonomi keluarga, apalagi di tengah kondisi Pandemi Covid-19 saat ini.

Yang membuat Nilam kini jadi primadona adalah harganya yang mahal. Bagian dari tanaman Nilam yang sering digunakan adalah daunnya yang menghasilkan minyak nilam atau minyak atsiri atau lebih dikenal dengan nama Patchouli Oil. Harga maupun mutunya termasuk yang tertinggi dibandingkan dengan jenis minyak atsiri lainnya.

Negara yang menjadi langganan ekspor minyak nilam Indonesia untuk bahan baku parfum, kosmetik dan lainnya itu diantaranya Belanda, Malaysia, New Zealand, Amerika Serikat, Italia dan Jepang.

Pengembangan tanaman bernama ilmiah Pogostemon cablin ini, selain dianggap lebih menjanjikan dari segi harga, perawatannya juga mudah, tidak repot dan cepat panen dalam jangka waktu enam bulan saja untuk panen pertama. Sedangkan panen kedua dan selanjutnya bisa setiap empat bulan sekali.

Salah satu petani Nilam di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Fiklat Munajad menyebut pertumbuhan Nilam sangat dipengaruhi cuaca. Perkembangannya akan baik saat cuaca tak terlalu panas menyengat atau hujan ringan.

“Lebih bagus hujan, tapi pas panen harus panas,” tuturnya ketika ditemui di kebun Nilamnya, Rabu 24 Februari 2021.

 

Kebun Nilam milik Fiklat Munajad di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Buton Utara. Foto: La Ode Adnan Irham

 

Sudah setahun terakhir Fiklat ‘banting stir’ dari nelayan kepiting bakau jadi petani nilam. Tiga hektar lahannya ditanami nilam. Alasannya beralih karena harga jualnya lebih menjanjikan ketimbang tanaman lain.

Sebulan lalu, harga minyak nilam sampai Rp 600.000 perkilogram, namun kini turun ke Rp 400.000. Saat pertama kali panen, Fiklat menyuling 14 ketel (panci ukuran besar tempat menyuling nilam). Satu ketel diisi 25 karung ukuran 50 kilogram. Dari 25 karung, hasil ekstraksi mencapai 13 kilogram. Jika dikali, Fiklat mampu mendapatkan untung Rp 100 Juta lebih dalam sekali panen.

“Panennya bisa sampai maksimal lima kali, tergantung kesuburan,” paparnya.

Ia beruntung dapat tanah yang subur, sehingga tak perlu lagi memakai pupuk.

“Yang tinggal saya jaga ini hama, ulat sama belalang yang ganggu daun. Rumput liar juga kita jaga,” jelas pria yang biasa disapa Abah Akila ini.

 

Kebun Nilam milik Fiklat Munajad di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Buton Utara. Foto: La Ode Adnan Irham

 

Ancaman utama Nilam tambahnya adalah hama penyakit kaki gajah yang menyerang batang dan daun. Namun cukup sekali semprot menggunakan obat hama, langsung tertangani.

Tak ada masa tanam untuk Nilam, yang penting curah hujan bagus. Bisa juga ditanam saat musim kemarau, namun harus rutin disiram air. Saat pertama tanam, jarak tak terlalu dipikirkan, namun kebanyakan orang agak rapat. Sedang Fiklat, antar pohon lebih dari satu meter.

“Kalau subur, jangan terlalu mepet, nanti ketemu (bersentuhan antar pohon),” katanya.

Meski tak pernah tersentuh bantuan pemerintah untuk tanaman nilamnya, Fiklat tak ambil pusing. Untuk memanen, ia menggunakan jasa tetangganya dengan honor Rp 50.000 selama empat jam kerja

Alasan selanjutnya Fiklat tak ingin mencari peruntungan di tanaman lain, misalnya padi atau jagung. Karena tak ingin direpotkan Tikus dan Babi yang kerap merusak dua tanaman itu.

Harumnya aroma dan harga minyak Nilam tak hanya dirasa petani, penyedia jasa penyulingan pun ketiban untung. Salah satunya Amboi warga Desa Rante Gola. Sekali menyuling, Amboi dibayar Rp 900.000.

Satu kali proses penyulingan menyita waktu hingga sehari semalam, minimal 16 jam dan maksimal 22 jam. Dalam satu ketel mampu diisi 22 karung nilam ukuran 50 kilogram. Bisa juga sampai 27 karung, namun memakan waktu lebih lama lagi.

“Kalau 22 karung jadinya maksimal 14 liter. Kalau ditindis sampai 27 karung itu sampai 17 koma sekian liter,” akunya.

 

Amboi di tempat penyulingan Nilam miliknya. Foto: La Ode Adnan Irham

 

Metode pembakaran ketel masih menggunakan kayu. Alasannya, biaya yang dikeluarkan lebih murah ketimbang menggunakan kompor gas atau kompor listrik. Kayu bakar biasa ia beli, kadang tebang sendiri di hutan.

Ketel miliknya berbahan baja tahan karat atau lebih dikenal dengan Stainless Steel. Penggunaan bahan itu bukan tanpa alasan. Meski harga lebih mahal, umurnya lebih lama bisa sampai 10 tahun, mutu dan kualitas minyak yang dihasilkan saat ekstraksi juga baik.

Untuk membuat tempat penyulingan, Amboi merogoh kocek hingga Rp 80Juta sebagai modal awal, sudah termasuk bangunannya yang ia pakai sejak tiga tahun lalu.

Setiap minyak Nilam hasil penyulingan, kadang berbeda PA (patchouli alcohol) atau ukuran kadar. Mutu minyak Nilam terbaik ada di angka 31 sampai 32 PA. Makin tinggi nilai PA, makin berkurang mutunya.

Saat proses pembakaran, api tidak boleh terlalu panas namun harus stabil, agar uap yang dihasilkan juga tidak keras untuk mencegah kerusakan pembentukan minyak. Nilam sendiri, mulai akar dan batang juga mengandung minyak, dimana minyak dari batang Nilamlah yang memperbaiki PA.

“Nilamnya juga harus kering dan jangan juga terlalu basah. Kalau tidak kering, sistim keluar minyak lambat,” paparnya ditemui di tempat penyulingannya.

Nantinya diproses akhir, air dan minyak akan keluar bersamaan. Untuk memisahkan keduanya, digunakan kain sutera.

Tak hanya minyak Nilam, ampas batang dan daunnya pun, termasuk air limbah masih bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Bahkan Amboi menjualnya Rp 20Ribu perkarung. Namun sebagian tempat penyulingan lain memilih membakar sisanya karena belum tahu manfaat itu.

“Kalau air limbahnya satu liter 50rb, juga untuk pupuk,” tambah pria berkepala plontos itu.

 

Amboi menunjukkan ember tempat akhir ekstraksi Nilam di penyulingan miliknya. Foto: La Ode Adnan Irham

 

Tanaman Nilam diakuinya sangat menjanjikan, namun jika berniat dan berminat, jangan hanya ikut-ikutan. Saat harga tinggi, ramai-ramai tanam Nilam, namun sebaliknya jika harga turun, malah ogah-ogahan.

Ia mengakui saat ini harga minyak Nilam di Sultra mengalami penurunan. Hal itu dipicu hari raya Imlek dan panen raya Nilam di Kabupaten Konawe Selatan dan Kolaka Utara.

“Bulan 5 bulan 6 akan naik lagi, ada bocoran kualitas kita di Butur ini bagus,” tutur Amboi.

Ditanya bantuan pemerintah, tak pernah ia dapatkan. Padahal di desa-desa lain, misalnya Lambale dan Langkumbe di Kecamatan Kulisusu Barat sudah tersentuh bantuan untuk pengembangan Nilam.

“Dulu saya pernah ditawarkan, sudah disurvei juga, disuruh tulis apa saja yang dibutuhkan, ternyata saya tidak pernah dapat,” ungkapnya.

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version