JAKARTA – Kampanye menjadi tahapan krusial dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana untuk menyongsong musim pemilu pada 2019 mendatang, Komisi Pemilihan Umun (KPU) RI telah menetapkan jadwal tahapan pemilu melalui Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Peraturan perubahan atas PKPU 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019, serta waktu pemungutan suara yang ditetapkan pada 17 April 2019 mendatang. Kebijakan ini berlaku di seluruh daerah begitu juga di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Namun pada tahapan pemilu ini kerap menimbulkan dilema, salah satunya pada jadwal masa kampanye yang dinilai menyita waktu, sehingga memunculkan kekhawatiran akan kondisi kebangsaan. Kekhawatiran yang dimaksud, Pertama, adanya potensi gesekan horizontal antar pemilih akibat lamanya tahapan kampanye dan pemungutan suara. Kedua, besarnya anggaran pemilu baik yang akan dikeluarkan oleh Negara ataupun para kandidat. Hal ini diungkapkan, Sekretaris Jendral (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta dalam acara diskusi di kawasan Menteng,Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2018).
Kata dia, lamanya waktu kampanye ini, menimbulkan dilema. Satu sisi baik untuk publik mengenal calon anggota legislatif dan capres nya. Banyak ruang dan waktu eksplorasi visi misi dan program para kandidat sehingga terpilih kandidat terbaik.
“Diawali dengan deklarasi damai oleh penyelenggara pemilu dan seluruh peserta pemilu pada Minggu (23/9/2019) lalu, masa kampanye sudah berjalan hingga masa tenang, 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Artinya. waktu kampanye akan berlangsung cukup panjang, kurang Ieblh 7 bulan,” katanya
Berangkat dari proses penyelenggaraan pemilu 2014, lanjutnya, potensi konflik horizontal dimasyarakat sangat tinggi. Terjadi pembelahan di dalam masyarakat, apalagi dengan hanya dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Seperti halnya pemilu 2014 yang kemudian semakin menguat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Oleh karena itu, semakin lama proses kampanye berlangsung maka potensi gesekannya semakin tinggi
“Gagasan lamanya waktu penyelenggaraan dan masa kampanye, awalnya didesain untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi para peserta pemilu untuk menyampaikan visi, mlsi dan programnya. Begitu juga bagi pemilih, ada ruang yang cukup untuk terus mendiskusikan dan mendalami visi, misi dan program setiap kandidat (eksekutif dan legislatif). Akan tetapi, kondisi sekarang justru cukup menghawatirkan. Proses kampanye justru dijadikan ruang untuk melakukan politik belah bambu, menginjak lawan untuk memenangkan kompetisi,” ucap Kaka.
Belum lagi persoalan anggaran yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Semakin lama proses penyelenggaraan, maka semakin besar biaya politik yang akan dikeluarkan. Ada kekhawatiran, besarnya biaya politik ini tidak mampu dikembalikan secara wajar oleh kandidat terpilih nantinya.
“Berdasarkan pertimbangan itu, perlu upaya untuk mengantisipasinya. Pilihan sederhananya, mengurangi waktu pemilihan dan masa kampanye. Akan tetapi, pilihan ini tentu agak sulit untuk dilakukan mengingat jadwal dan lamanya waktu kampanye sudah ditentukan oleh undang undang. Oleh karena itu perlu langkah konkrit untuk meminimalisir potensi konflik horizontal dimasyarakat dan potensi politik biaya tinggi,” jelasnya.
Merujuk ke UU Pemilu, beberapa desain pelaksanaan kampanye sudah diatur dalam UU. Mestinya mekanisme kampanye yang dilakukan 7 bulan ini bagaimana bisa meminimalisir berbagai potensi pelanggaran seperti menguapnya isu sara, hoaks dan lainnya. Selain itu kampanye berbiaya murah menjadi perhatian bagi penyelenggara.
Seperti pasal 275 UU Pemilu, KPU mesti memaksimalkan ruang kampanye di media balk media cetak, media elektronik dan internet yang difasilitasi oleh KPU yang dapat didanai oleh APBN sehingga mengurangi biaya bagi kandidat. Atau penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye, hal ini tentu dlikutl dengan pengawasan pula oleh penyelenggara agar tidak menjadi ruang kampanye liar yang merugikan sebelah pihak. Sehingga metode dan waktu pelaksanaan kampanye perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat menghindari potensi negatif kampanye dan tetap membuka ruang demokrasi publik.
Atas dasar ini, menghadapi masa kampanye yang panjang dan berpotensi memunculkan pelanggaran ditengah masyarakat ini, maka :
1. Penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan kampanye mesti mengantisipasi munculnya berbagai konflik horizontal di masyarakat.
2. Peserta dapat melakukan kampanye secara bertanggung jawab sehingga tidak menimbulkan potensi konflik.
3. Mendorong partisipasi publik dalam pelaksanaan kampanye, sehingga terdapat pelibatan publik.(b)