KENDARI, Mendiakendari.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka Utara (Kolut) Sulawesi Tenggara (Suktra) terus melakukan sosiasiasi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dalam mengatasi kekerasan seksual.
Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kolut, Ramadan, S.H., M.H, disaat menghadir program jaksa menjawab di studi MEK TV, Selasa 11 Juni 2014, jalan Kakatua Kelurahan Benubenua, Kota Kendari.
“Untuk di daerah wilayah hukum Kejari Kolut, yang menyangkut kekerasan sesksual itu hampir tiap bulannya terjadi. Walaupun itu di UU No 12 tahun 2022 itu baru 1,2 perkara yang masuk. Tetapi untuk kekerasan seksual di UU lain seperti UU perlindungan anak dan KUHP sendiri, itu hampir tiap bulannya pasti ada 2,3 perkara yang amsuk di meja kami. Itu untuk tindak pidana umum. Sehingga perlu kita melakukan edukasi kepada masyarakat bagaiamana kekerasan seksual ini kedepannya bisa kita atasi bersama- sama,” jelasnya.
Menurut Ramadan, tindak pidana kekerasan seksual itu bertujuan untuk merendahkan, menghina ataupun badan serta kelamin seseorang. Diamana hal itu diatur dalam UU No 12 tahun 2022.
“Terkhusus untuk UU No 12 tahun 2022 ini tidak hanya berlaku pada korban perempuan saja atau anak- anak saja tapi bisa saja terjadi pada laki- laki. Jadi tidak menuntut kemungkinan bahwa kekerasan seksual ini terjadi kepada laki- laki, sehingga UU ini tidak harus pada perempuan saja. Walaupun pada intinya kekerasan seksual korbannya paling banyak perempuan,” terangnya.
Ia menambahkan, untuk kekerasan sessual tersebut, bisa saja pelakunya dilakukan oleh siapa saja. Dan apabila dilakuakan oleh orang tua, apakah itu orang tua kandung, wali, atau tenaga pengajar, tenaga pendidik, tenaga medis, tenaga kesehatan, itu pelakunya tetap disamakan dengan pelaku lain tetapi dia ada pemberatan hukuman ditamba dengan 1/3 dari ancaman hukuman yang ada.
“Dan apabila pelakunya adalah anak maka akan menggunakan sistem peradilan anak sendiri. Khusus untuk tindak pidana kekerasan sesksual tidak akan diadakan restorative justis karena itu tidak ada dalam aturan kami dan itu tidak bisa kita lakukan pengehentian penuntutan berdasarkan restorative justis,” tuturnya.
Ramadan bilang, hambatan yang dihadapi dalam menangani kekerasan sesksual yaitu masih banyak masyarakat atau korban yang masih ragu untuk melaporkan kejadian- kejadian tersebut. Selanjutnya sebelum adanya UU kekerasan seksual itu, terkait dengan pengumpulan alat bukti, dimana biasanya kejadian seksualitas itu biasanya dilakukan di tempat tersembunyi atau tertutup yang tidak diketahui oleh orang.
“Sehingga biasa untuk keterangan untuk saksi itu hanya terhadap korban saja, tidak ada alat bukti lain yang mendukung seperti saksi- saksi lain yang mendukung dan alat bukti lain. Tetapi dengan adanya UU kekerasan seksaual hal tetrsebut sudah bisa teratasi, yaitu cukup 1 orang sasksi atau korban saja sudah merupakan 1 alat bukti,” ungkapnya.
Lebih jauh Ramadan mengatakan, upaya pencegahan kekerasan seksual tersebut, pihak Kejari Kolut sendiri memiliki program penyuluhan hukum. Dimana penyuluhan hukum yang dilakukan itu, bukan di masyarakat saja tetapi di sekolah- sekolah, pesantren memberikan gambaran tentang bahaya sikap bagaimana kita akan terhindar tidak melakukan kekerasan seksual baik itu pelaku maupun korban.
“Itu kami lakukan pentuluhan hukum secara rutin oleh Kejaksaan melalui Kasi Intelijen, baik itu setiap tahunnya kita lakukan dan itu berkesinambungan,” pungkasnya.
Reporter : Ronas