INDONESIA – Keluarga dan korban penculikan 1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) menyatakan dukungan kepada pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Payan Siahaan, ayah korban penculikan 1998, Ucok Munandar Siahaan, mengatakan, tidak ingin orang yang diduga menjadi penculik anaknya yakni Prabowo Subianto menjadi presiden. Ia melihat masih ada sedikit harapan dalam penuntasan kasus penculikan 1998 oleh rezim Jokowi, meski penuntasan kasus ini dalam 4 tahun terakhir mengecewakan, ujarnya.
“Kami pun marah setiap kali kami bertemu dengan Pak Jokowi kami marah. Tetapi kalau hanya 2 kandidat yang ada sekarang, yang ada harapan, secuil apapun harapan itu. Tapi Prabowo yang menang, pintunya sudah tertutup. Itu yang menjadi pemikiran kami,” jelas Payan di Jakarta, Rabu (3/13/2019).
Ucok Munandar Siahaan hilang pada 14 Mei 1998. Ia terakhir terlihat di Ciputat, Tangerang Selatan. Komnas HAM mencatat ada 23 aktivis pro demokrasi yang menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa pada 1997-1998. Sembilan orang dilepaskan oleh penculik setelah mengalami penyiksaan. Sementara 13 orang lainnya hingga saat ini masih hilang.
Senada Utomo Rahardjo, orang tua Petrus Bima Anugrah yang hilang pada 1 April 1998 tidak berharap banyak dengan terealisasinya 4 rekomendasi DPR dalam kasus ini untuk Presiden RI yang dikelaurkan tahun 2009. Petrus terakhir terlihat di Grogol, Jakarta Barat.
Adapun empat rekomendasi DPR yaitu pembentukan pengadilan HAM ad-hoc, pencarian 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban dan ratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai dukungan penghentian praktik penghilangan paksa. Menurut Utomo dari 4 rekomendasi, hanya ratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa yang mungkin dilakukan Jokowi.
“Tapi harapan kami itu jauh. Karena di kiri kanan Pak Jokowi mereka-mereka itu terduga pelaku juga. Jadi sulitnya bukan main. Pak Jokowi punya hati dan telinga, kemauannya baik. Tapi di lingkaran beliau tidak sepaham dengan Pak Jokowi,” jelas Utomo Rahardjo.
Keluarga dan korban penculikan 1998 saat menggelar konferensi pers di Hotel Grand Cemara, Rabu (13/3/2019) di Jakarta. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)
Baca Juga :
- Tak Kunjung Diumumkan Putusan Sidang Etik Penyelenggara Pemilu di Kabupaten Konawe, Lira Sultra Pertanyankan Kinerja DKPP
- “Jum’at Keramat” DKPP Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Komisioner KPUD dan Bawaslu Konawe
- Presiden Terpilih Prabowo Subianto Ajak Warga Konawe Pilih Harmin Ramba-Dessy Indah Rachmat (HADIR)
- Telah Terbit Rekom B1KWK Pasangan HADIR di Pilbup Konawe, Ketua DPW PKB Sultra : Nanti Diinfokan Penyerahannya
- Akhirnya!! Bawaslu Konawe Merekomendasikan ASN Fajar Meronda ke KASN dan BKN untuk Diberi Sanksi
- Pj Gubernur Terima Penghargaan dari Presiden Jokowi karena Berhasil Kendalikan Inflasi di Sultra
Menurut hasil penyelidikan Pro Justicia Komnas HAM yang dikeluarkan pada 2006, kasus penghilangan paksa 1997-1998 dilakukan oleh Tim Mawar. Tim ini merupakan tim yang dibentuk di bawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasar perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Menanggapi itu, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ferdinand Hutahaean mengatakan, dukungan IKOHI kepada Jokowi tidak akan memiliki dampak elektabilitas. Hanya, ia menyayangkan IKOHI masuk dalam politik dengan mendukung salah satu capres. Ia beralasan langkah IKOHI tersebut akan menghilangkan empati dari publik terhadap korban penculikan 1998.
“Periode Jokowi sudah hampir selesai, tapi belum lakukan apapun untuk orang hilang, jadi mereka mendukung itu untuk apa? Ini jadi lucu. Mereka salah bergerak. Berharap pada Jokowi tentu tak membawa apa-apa bagi mereka, justru di tangan Prabowo lah ada cahaya terang untuk menerangi yang gelap tentang hilangnya aktivis itu. Jadi IKOHI keliru bertindak,” tutur Ferdinand ke VOA melalui pesan online, Kamis (14/3/2019). [sm/em]