INDONESIA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) anggap putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril tetap bersalah, dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, serta menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK), menunjukkan bahwa sistem peradilan telah gagal memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual terutama perempuan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk segera memberikan amnesti pada Baiq Nuril.
“Presiden RI untuk memberikan Amnesti kepada BN ( Baiq Nuril) sebagai langkah khusus sementara karena keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban dari tindakan kekerasan seksual (belum memberikan kesetaraan perlindungan), sebagaimana prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam Konstitusi dan prinsip due diligence yang ada dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) , yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984,” ungkap Budi dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan , Jakarta, Senin (8/7).
Ditambahkannya, Baiq Nuril adalah korban berlapis dari kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dan dari ketidakmampuan negara melindunginya. Kriminalisasi pada Baiq Nuril ini , kata Budi menjadi preseden buruk bagi hilangnya rasa aman bagi perempuan dan absennya negara dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya pelecehan seksual.
BACA JUGA :
- Gerindra Sultra Akhirnya Tuntaskan Perbaikan Jalan Rusak di Lambuiya Konawe
- Harmin Dessy Paparkan Program Kemenangan di Pilkada Konawe di Hadapan Puluhan Ribu Massa Yang Hadiri Kampanye Akbar
- Empat Artis Ibu Kota Ikut Meriahkan Kampanye Akbar Paslon No 3 Harmin dan Dessy di Lapangan Sepak Bola Desa Humboto Uepai, Ribuan Massa dari 28 Kecamatan Turut Memeriahkannya
- DKPP RI Jatuhkan Sanksi Kepada Komisioner KPUD dan Bawaslu Konawe
- Sekda Konawe Gelar Rapat Kerja Besama Pemerintah Kecamatan Onembute
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herawati mengatakan bahwa telah terjadi mispersepsi dalam implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 tahun 2017 tentang pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Sri menjelaskan dalam Perma tersebut cakupan pedoman bagi hakim mengadili kasus perempuan berhadapan dengan hukum ada tiga, yaitu saksi, korban dan pelaku. Pelaku ini sebagai terdakwa maksudnya. Artinya Perma ini seharusnya dilakukan untuk segala situasi bukan hanya sebagai korban.
“Di dalam perma itu juga tertulis perempuan berhadapan dengan hukum, bukan sebagai saksi atau pun korban. Dan jangkauannya PPH adalah saksi, korban dan terdakwa . Jadi di dalam perma nya sendiri itu cukup jelas. Sehingga harus ada turunan di dalam SOP nya supaya terimplementasi peraturannya itu sendiri. Apa ya, tidak cukup jeli atau barangkali tidak cukup membaca perma nya sendiri. Kita harus berasumsi seperti UU, ketika itu di Undangkan semua orang harus tahu di MA itu peraturan internal ya semua orang di MA harus tahu bahwa itu berlaku untuk saksi, korban dan terdakwa,” jelas Sri.
Terkait pemberian amnesti untuk Baiq Nuril, pihaknya juga telah berdiskusi dengan wakil ketua Komisi III DPR RI Erma Ranik. Menurutnya, pihak DPR juga akan memberikan dukungan kalau memang nantinya Jokowi meminta pertimbangan DPR dalam pemberian amnesti untuk Baiq Nuril. Komnas Perempuan menganggap bahwa amnesti ini harus diberikan karena dalam situasi khusus, yaitu soal kesetaraan perlindungan yang belum ada, sehingga pemerintah harus melakukan sesuatu untuk mencegah praktek buruk dan preseden-preseden yang nantinya justru menjauhkan perempuan dari keadilan itu sendiri.
Selain pemberian amnesti, Komnas Perempuan juga meminta DPR RI dan pemerintah untuk segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan memastikan ke sembilan jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual dam RUU tersebut tetap dapat dipertahankan. Hakim pengawas MA juga sedianya mengoptimalkan fungsi pengawasan atas pelaksanaan Perma No 3 tahun 2017 di lingkup pengadilan, sejak dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA.
Selain itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI ( KPPPA) dan Dinas PPPA setempat untuk mengupayakan pemulihan dan pendampingan kepada Baiq Nuril, khususnya kepada keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil, serta Kemendikbud untuk mengeluarkan kebijakan “zero tolerance” kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual di lingkup Kemendikbud, dan merekomendasikan kepada para pendidik pada institusi formal dan non formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan seksual.
Senada dengan Komnas Perempuan, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar juga memandang bahwa amnesti tersebut juga perlu diberikan kepada Baiq Nuril. Hal ini akan menjadi suatu keadilan tersendiri bagi Baiq Nuril mengingat pelaku kekerasan seksual dalam kasus ini sama sekali tidak dihukum.
Lebih lanjut, walaupun kasus penyelidikan perbuatan cabul yang dilaporkan oleh Baiq Nuril telah dihentikan oleh Polda NTB, LPSK tetap akan memberikan pelayanan dalam perlindungan dan pemulihan psikis Baiq Nuril. Bahkan pihaknya mengupayakan agar Baiq Nuril nantinya dapat memperoleh pekerjaan baru untuk memperbaiki perekonomian keluarganya.
“Jadi untuk selanjutnya kami berencana untuk bekerja sama dengan Gubernur dan Pemda NTB untuk pemulihan Psiko sosial bagi BN khususnya untuk mencoba memberikan pekerjaan lain untuk BN karena pada saat kami menerima BN sebagai terlindung kami, kami sudah berikan informasi bahwa tidak dilanjutkan di pekerjaannya sebagai tenaga administrasi di sekolahnya tersebut. Jadi sebelumnya MA menolak peninjauan kembali yang diajukan dengan beberapa pertimbangan yang dinyatakan bersalah dan dihukum enam bulan penjara serta denda 500 juta yang mengundang reaksi beragam. Kami di LPSK mendukung BN untuk memperoleh keadilan salah satunya adalah pemberian amnesti untuk oleh Presiden, “ ujar Livia. [gi/em]