Penulis : Rusli
OPINI – Tulisan ini menjelaskan tentang kebebasan berkomunikasi pasca reformasi politik di Indonesia, pembicaraan politik di forum terbuka yang mengkritisi kebijakan pemerintah menjadi hal yang biasa. Padahal, sebelumnya tidak mudah mengungkapkan kritik terhadap pelayanan publik di Indonesia dimana era sekarang ini merupakan era teknologi dan semua masyarakat bisa mengetahui langsung informasi karena teknologi di abad ke-21 ini.
Terlebih jika dalam kritik dan ketidaksepakatan menyangkut pusat – pusat kekuasaan, yang mengendalikan roda pemerintahan, jelas sebagai tindakan yang sulit ditemukan. Bahkan sebatas bernostalgia terhadap sisi positif masa pemerintahan sebelumnyapun, sulit diungkapkan di ruang – ruang public yang ada, akibat kontrol ketat terhadap arus informasi lateral maupun vertikal dari pemerintahan sebelum reformasi politik.
Lingkup komunikasi ini juga dapat menembus dimensi politik yang setiap harinya menjadi pembahasahan selalu hangat di meja pemerintahan dan juga di kalangan masyarakat dari kalangan tingkat atas sampai pada tingkat bawah Untuk itu, semua kegiatan politis, yang dilakukan oleh pemerintah, atau kekuasaan negara beserta institusi pendukung maupun yang dilakukan rakyat pada umumnya, merupakan bentuk komunikasi politik. Karena satu sisi, menerima dengan gegap gempita kebebasan berkomunikasi, di pihak lainnya, justru merasa terganggu dan memposisikan demokrasi berkomunikasi merupakan biang keladi dari berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negara.
Komunikasi politik dalam bentuk retorika, pidato, dan penyampaian pesan politik, seperti halnya kampanye di ruang publik maupun dalam kelompok kecil yang terjadi di Indonesia, dapat diamati melalui berbagai aspek yang melekat dalam komunikasi politik. Tidak ada alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang dapat dipahami oleh khalayak dan mencapai publik seefektif iklan. Secara umum, komunikasi politik lazim dikaitkan dengan pembicaraan politik atau penyampaian pesan politik verbal maupun non verbal yang dapat mempengaruhi rakyat maupun pemerintah dalam suatu sistem politik yang terjadi negara demokrasi ini.
Mengingat komunikasi melekat pada setiap orang sebagaimana, menurut Watzlawik (dalam Bower dan Bradac, 1982: 3), “manusia adalah mahluk yang tidak bisa tidak berkomunikasi”, maka setiap tingkah laku manusia, termasuk pada saat diam, dan tidak merespon pesan politik dari suatu sumber, tetap saja menimbulkan makna yang berhubungan dengan nuansa politik. Dalam setiap konsepsi politik apapun yang dipandang berguna secara publik harus selalu reasionable, walaupun konsepsi itu berbeda dan bahkan bertentangan karena berasal dari doktrin komprehensif yang berbeda – beda.
Dalam penyampaian pesan politik, dipakai strategi persuasi sebagai teknik penyampaian pesan melalui kampanye, propaganda, dan penggalangan opini publik. Strategi persuasi adalah alat yang digunakan oleh kelompok terorganisasi, untuk menjangkau individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan dalam organisasi. Penyebaran pesan politik dilakukan juga melalui iklan politik yang diarahkan kepada kelompok massa yang heterogen dan retorika sebagai bentuk komunikasi transaksional untuk memperoleh manfaat timbal balik.
Dalam kontestasi politik, harapannya adalah bersedia untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Melihat beberapa waktu ini hiruk pikuk informasi belakangan ini meningkatnya suhu politik yang terjadi pada internal partai politik ini yaitu berawal ketika penjaringan calon, dan juga pada saat penetapan nomor urut calon.
Terjadinya konflik internal pada partai politik jika tidak segera diselesaikan di intern partai tersebut maka akan memberikan pengaruh yang besar pada terjadinya konflik yang berujung kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung dari masing-masing calon yang akan di usunnya sebelum memasuki penjaringan dan penyerahan berkas pencalonan di komisi pemilihan umum, melihat kondidisi roda politik semakin panas khususnya di sul-sel ini menyita perhatian adanya beberapa bakal calon yang saling bersaing untuk mendapatkan rekomendasi untuk melenggang ke tahap pencalonan.
Oleh karena itu suhu politik yang sekarang ini para calon memberikan isyarat bahwa dalam komunikasi semakin di eratkan untuk mendapatkan rasa empati masyarakat agar dalam pemilihan menjadi salah satu sosok calon yang di senangi masyarakat.
Dengan adanya basis sosial yang berbeda di tengah masyarakat memungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab konflik ketika hal tersebut dijadikan isu oleh tim pemenangan elit untuk meraih dukungan suara. Sebab jika pembilahan sosial ini dalam titik yang ekstrim bisa memicu ke arah konflik sosial yang besar. Pertama, pada basis tradisional yang terdiri dari unsur etnik, budaya , agama dan regional.
Etnik mencakupi segala aspek kebudayaan. Misalnya, di Sulawesi Selatan terdapat beragam etnik, ada etnik Bugis, Makassar, Mandar, Tionghoa dan lain sebagainya. Keragaman etnik, budaya dan agama ini menjadi sebuah isu yang menarik dalam Pemilukada. Jika ditinjau dari aspek pembilahan sosial di Sulawesi yakni dari basis tradisional dan modern, maka penulis menyimpulkan yang paling berpotensi menimbulkan konflik pada pilkada serentak nantinya adalah massa pendukung dari basis tradisional.
Hal ini dikarenakan, ikatan emosional yang terjalin lebih kuat, sehingga lebih mudah untuk dimobilisasi. Kendati demikian, tantangan berat dalam proses penyelenggaraan pilkada di momen pandemi ini tidaklah ringan. Dibutuhkan kedisiplinan, kolaborasi, dan komitmen semua pihak agar dari sisi teknis penyelenggaraan pilkada berhasil dan juga membeludaknya anggaran yang akan terpakai karena sebelumnya para pelaksana pemilihan umum tidak memakai masker ataupun alat teknis lainnya, oleh sebab itu maka pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini harus dipastikan tidak menjadi klaster baru penularan virus Covid-19 baik bagi pemilih maupun bagi penyelenggara khususnya petugas sekaligus masyarakat.
Situasi krisis sekarang ini juga karena hantaman pandemi Covid-19, dibutuhkan prioritas kebijakan pemerintah yang jelas untuk dapat mengendalikan suasana yang kondusif, karena banyaknya keputusan yang kurang maksimal yang terlihat di lapangan, juga program pemerintah tentang bantuan yang tersalurkan di masyarakat, jangan sampai terjadinya permainan politik ssebagai suatu manuver politik hingga sikap memainkan isu krisis sebagai tunggangan politik.
Mencermati gambaran itu, sosialisasi politik perlu dilakukan secara berkesinambungan demi menarik partisipasi politik masyarakat.
Untuk itu, diperlukan suatu model mental yang komplek tentang situasi pengetahuan lain dari peristiwa komunikatif yang disebut konteks. Wacana digambarkan memiliki tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks social.
Di sisi lain, analisis wacana yang digunakan sebagai salah satu alat analisis tentang beberapa sumber wacana, dalam hal ini berita (yang sifatnya online maupun cetak) dari berbagai sumber berita yang dianggap akurat, valid, dan terpercaya. Hal ini juga, pernah di kemukakan oleh Aristoteles bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan social yang tinggi adalah melalui interaksi politik orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik social dan membentuk tujuan negara.
Dengan demikian kata politik menunjukan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut berbagai segi – segi kekuasaan dengan unsur – unsur negara, kekuasaan, kebijakan, dan pengambilan keputusan.