HEADLINE NEWSKONAWE UTARANEWSSULTRA

Melihat Banjir di Konut Dari Kacamata Akademisi

619
×

Melihat Banjir di Konut Dari Kacamata Akademisi

Sebarkan artikel ini
Ilham, Akademisi Universitas Lakidende. Foto : Istimewa

Reporter : Mumun

WANGGUDU – Kabupaten Konawe Utara (Konut) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), jika musim penghujan datang setiap tahunnya pasti menjadi langganan banjir. Entah siapa yang patut disalahkan dalam musibah tersebut, apakah jawaban akan sama juga di tahun lalu bahwa banjir di Konut disebabkan oleh alam.?

Apakah banjir terparah di Kecamatan Asera, Andowia dan Langgikima kali ini ada hubungannya dengan aktivitas manusia di hulu sungai dan sekitarnya juga. Jika itu memang benar adanya, lantas aktivitas apa yang bisa mengakibatkan rusaknya ekosistim alam yang menjadikan bencana banjir terus terjadi.

Hal itu pun yang diungkapkan akademisi Universitas Lakidende, Ilham. Menurut dia, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konut harus mengkaji ulang penerbitan izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) bagi Perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Bagi dia, yang terbaru dan hangat di diskusikan diberbagai media sosial adalah aktivitas Perusahaan perkebunan tebu di daerah atas yang menjadi titik hulu sungai yang sekarang meluap. Dirinya merasa geli dengan sikap teman-teman di DLH, karena pernah menjadi salah satu tim komisi penilai Amdal di DLH Konut saat itu, dirinya dengan sikap kritisnya menolak praktek-praktek yang ada sehingga sekarang tidak lagi masuk dalam tim itu padahal untuk menjadi tim komisi penilai Amdal harus mempunyai kompetensi lingkungan.

“Saya coba tantang teman-teman untuk menginvestigasi ada berapa izin-izin yang terkait perambahan hutan, baik itu untuk perkebunan maupun pertambangan cek kros ke DLH seperti apa kewajiban Amdal terkait kewajiban pengelolaan lingkungannya. Seingat saya waktu jadi tim komisi penilai Amdal di DLH ada banyak dokumen Amdal Perusahaan yang saya tolak dan berikan catatan, tapi herannya tiba-tiba ditetapkan memenuhi syarat Amdal. Tidak dilibatkan lagi dalam penetapan akhir, itulah kerja-kerja DLH saat ini. Tidak mengikutkan orang yang berkompoten dilingkungan,” terang Ilham. Rabu, (5/6/2019)

Bagi Mantan Komisioner KPU Konut ini, banjir itu adalah output dari perambahan hutan yang tidak terkelola dengan baik. Baik aktivitas perkebunan kelapa sawit maupun aktivitas pertambangan yang saat ini sedang berjalan maupun penebangan hutan yang dimanfaatkan kayunya. Itu tidak terlalu dari peran serta Pemda khususnya Dinas yg lining sektornya berkaitan langsung sebut saja DLH.

“Kita sangat mengapresiasi sikap tanggap Pemda saat ini tapi apakah Pemda disetiap tahunnya harus menjadi Unit Reaksi Cepat penanggulangan banjir itu hanyalah bagian jangka pendek dan saat itu saja. Tapi apakah ada kelanjutan program atau semacam kebijakan lain di pasca banjir untuk pemulihan atau Recovery (Pemulihan alam) yang dilakukan Pemerintah Daerah dimana keterlibatan atau tanggungjawab coorporate (Perusahan-perusahaan) yang melakukan aktivitas perambahan hutan yg mengakibatkan perubahan ekosistim secara sporadis,” katanya.

Ilham melihat, jika Pemda hanya mengejar kewajiban coorporate terkait royalti dan pajak. Akan tetapi dari sisi kewajiban lingkungan cooporate terkesan kompromi. Banjir dan pencemaran di daerah pesisir yang dengan kasat mata kita lihat perubahannya terkesan kompromi tanpa ada tindakan tegas. Sehingga ketika banjir datang, seakan alam yang disalahkan.

“Apakah dengan mengucurkan sejumlah dana atau kegiatan sosial yang dinamakan CSR coorporate sudah selesai jawabannya.? Itu mari kita lihat secara empirik, hari ini apa yang terjadi sebagai peristiwa yang berulang berarti ada yang harus kita cermati bersama. Apakah Tuhan sedang menegur kita karena telah lalai mengelola alam dan ekosistemnya atau kah itu karena ulah nakal manusia yang tidak pernah peduli dengan alam dan ekosistemnya yang seakan tidak peduli dengan sesama yang hidup dan beraktivitas di sekitaran daerah aliran sungai,” lanjutnya.

Padahal sudah sangat jelas bahwa usaha atau kegiatan wajib izin lingkungan. Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Selanjutnya didalam Dokumen Amdal yang diajukan dan disetujui sudah ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.

“Nah apabila kondisi saat ini terjadi semacam banjir, pencemaran air laut berarti ada kewajiban yang tidak dijalankan. Disinilah Pemerintah daerah hadir dalam hal ini DLH membuat laporan yang disampaikan kepada Bupati untuk mengambil tindakan tegas terhadap cooporate yang merusak lingkungan dan ekosistimnya. Pengalaman saya terdapat beberapa dokumen yang saya tolak saat itu karena poin-poin kewajiban sebagai tanggungjawab sosial tidak jelas di dalam dokumen yang diajukan. Sayangnya dokumen itu lolos dan disahkan,” tutup Ilham. (A)

You cannot copy content of this page