Penulis : Rusli
Ungkapan sederhana“Rusli” 14/01/2019 Diskursus dari semula publisistik merupakan kegiatan penyebaran pesan atau komunikasi secara sadar dengan maksud agar diketahui oleh umum. Secara politik kegiatan ini memperoleh dukungan secara langsung. Oleh sebab itu yang dianggap pertama kali melakukan studi tentang komunikasi manusia adalah Harold Lasswell, Paul Lazarsfled, Kurt Lewin, dan Carl Hovland. Meskipun komunikasi sebagai satu disiplin ilmu kehadirannya belum lama, tetapi perkembangannya begitu pesat, baik sebagai satu disiplin ilmu maupun sebagai skill.Banyak negara dan organisasi internasional yang sebenarnya memperjuangkan kepentingan orang banyak kurang efektif atau bahkan keliru dalam mengkomunikasikan pesan-pesan mereka. Intensi dan materi yang kuat saja tidak cukup, perlu teknik komunikasi yang baik untuk dapat menyampaikan pesan supaya diperhatikan.Untuk membangun landasan dan jaringan yang kuat sehingga berbagai elemen pemerintah dan masyarakat bisa saling mendukung dalam mengkomunikasikan Indonesia di tingkat dunia, diperlukan komunikasi internal yang baik. Komunikasi internal akan memungkinkan sinergi yang produktif untuk menyampaikan materi komunikasi yang solid ataupun konsisten.
Bagi manusia kebanyakan di dunia inipun, untuk sekedar mempertanyakan tujuan, makna hidup dan identitas dirinya, mulai terlupakan. Mestinya melihat kembali kedalam diri, kedalam subyektivitas, tentu dengan memperhatikan spiritual batiniah. Subyektivitas, terletak dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan tersistematis. Manusia berpikir maka dia ada, manusia memilih maka dia ada. Ketika manusia berhenti berpikir, maka lambat laun kehilangan identitasnya sebagai manusia. Tugas membuat pilihan ini ada pada setiap manusia, dan berlangsung dalam proses pergulatan batin untuk menentukan sebuah keputusan atau pilihan hidup.
Otentisitas manusia hanya dapat diraih dalam keberaniannya untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan penting dalam hidupnya. Keberadaan manusia adalah usaha pembangunan dunianya. Realitas sosial dalam media merupakan suatu kenyataan yang dihasilkan dari media itu sendiri. Dalam kenyataannya, media memainkan peran penting dan menghasilkan berbagai asumsi yang saling berhubungan terhadap realitas. Asumsi dapat ditelusuri secara, ontologi,epistemologi, human nature dan metodologi.Secara ontologi, asumsi dibangun sesuatu yang penting tentang inti dari fenomena dalam penelitian sebuah realitas. Pertanyaan mendasar secara ontologi menekankan pada apakah realitayang diteliti objektif ataukah realita produk kognitif individu. Kemudian secara Epistemologi; asumsi tentang landasan ilmu pengetahuan ataugrounds of knowledge. Tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain.
Dunia dengan situasi dan kondisi apapun adalah dunia yang dibangun oleh manusia sendiri. Ia merupakan hasil dari projek manusia membangun dunianya. Suatu enterprise of world building. Bahwa dunia secara global; lingkungan hidup, alam, sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, keamanan, kemanusiaan dan lain lain merupakan hasil proses konstruksi aktivitas manusia, sebagai proses dialektik antara eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dan mesti diakui, dalam dunia global zaman sekarang, yang paling berbahaya adalah perilaku (destruktif) manusia. Dipahami juga bahwa, dunia hasil bangunan atau konstruksi manusia, secara inhern adalah rawan.
Memang itulah salah satu dampak dari era digitalisasi yaitu kebebasan. Tentu banyak juga dampak baiknya, misalnya saja beberapa instansi pemerintahan yang mulai aktif di media sosial dengan memposting kegiatan, anggaran, bahkan daftar belanja mereka. Hal ini disambut hangat oleh masyarakat karena membuat semuanya menjadi lebih transparan. Selain itu, melalui internet badan pemerintahan bisa berkomunikasi dua arah dengan rakyat melalui dunia maya. Badan pemerintah bisa mendapat masukan dari warga, sedangkan warga menjadi merasa lebih dekat dengan pemerintahan dan bisa lebih mudah menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Hal ini membuat jarak antara pemerintah dan rakyat menjadi semakin dekat serta menghapuskan kesan pemerintahan yang kaku.
Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory) berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory). Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, professional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tngkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku.
Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan. Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara empiric. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efeksivitas dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada system politik, system organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam system politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral.Seorang pakar media Marshall Mcluhan pernah mengatakan, bahwa konten informasi yang selalu disebar berulang-ulang di media sosial mampu mempengaruhi realitas dan pemikiran masyarakat yang selalu membaca informasi konten tersebut.
Rawan ketika terancam oleh fakta konsep diri dan identitas diri yang keliru, terlalu mementingkan diri sendiri, egoisme diri, individualisme, kebohongan, fitnat, kekerasan, etnosentrisme dan kelompok, dan tentu diperkuat oleh kebodohan manusia itu sendiri. Terbukti bahwa, manusia sudah masuk kedalam perangkap arus kecenderungan memanjakan selera sesaat duniawi, arus konsumtif yang menghayutkan, arus pengkaburan identitas diri, tanda dan makna. Dan yang lebih mengkhawatirkan, manusia terjebak dalam arus dunia pasca fakta. Kebohongan, hoax, fitnah, amoral menjadi fakta. Selanjutnya secara bersamaan seperti tiba-tiba manusia merasa kehilangan identitas. Itulah kiranya suatu perjalanan yang penuh paradok. Mengejar identitas sekaligus kehilangan identitas.
Fakta, data rill tidak lagi menjadi factor penting, yang penting adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi, konten-konten di jaringan sosial lebih punya pengaruh besar, daripada data dan fakta tentang kenyataan yang ada. Dan ini semua menjadi pembenaran untuk kemalasan dan kedangkalan berpikir. Walau fakta tak sama dengan kebenaran. Melainkan fakta sebagai unsur pembentuk kebenaran. Kebenaran itu lebih tinggi daripada fakta. Fakta pun tak pernah bebas nilai, karena ia selalu mengandung sudut pandang tertentu. Keduanya amat penting untuk konsep diri, dasar hidup pribadi dan hidup bersama.
Lihat juga bagaimana kegilaan global ini, dari konsep diri manusia yang cenderung individualistik, konsumtif, korupsi, materialistis dengan mengikuti arus kapitalisme. Media dalam memberitakan realitas konflik misalnya, dapat berfungsi sebagai issue intensifier; media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Dengan posisi sebagai intersifier, media mem-blow up realitas yang jadi isu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan. Sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, bisa kepentingan ideologis atau prakmatis.Akhirnya manusia kehilangan capital sosial. Inilah salah satu penyebab Kegilaan dan dapat membawa kehancuran manusia itu sendiri. Tak masuk akal dan sulit dibayangkan, mengapa bumi manusia dewasa ini senantiasa dipenuhi oleh kebohongan, fitnah, kekerasan, hujan air mata, darah, nyayian kepedihan, teriakan kesakitan, jeritan minta tolong dan jeritan kematian.
Mencegah penyimpangan demokrasi menjadi semakin penting seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Dalam era digital, dengan kian beragamnya media sosial yang tanpa batasan ruang dan waktu, tanpa sekat sosial makin memberi ruang kepada setiap orang mengungkapkan pendapatnya kepada publik. Kondisi ini tentu ikut membentuk praktik demokrasi sehari- hari, termasuk dalam menyikapi kian memanasnya situasi politik jelang Pileg dan Pilpres.Dalam konteks pemilu, media sosial menempati posisi strategis sebagai salah satu media kampanye. Untuk kalangan relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho atau spanduk. Posisi strategis media sosial dalam politik belakangan dan menakar seberapa besar peran media sosial dimanfaatkan sebagai alat kampanye dan komunikasi politik, terutama menjelang pemilu. Peran strategis media sosial dalam konteks pemilu yang menjangkau pada tingkat popularitas dan akseptabilitas.
Tak dapat dipungkiri, pada era kini peluang menyatakan pendapat lebih terbuka, hak mengoreksi dan mengkritisi tidak dibatasi. Tapi satu hal yang patut disadari, di gerbong mana pun kita turut, di kubu siapa pun ikut, kita tidak boleh main sikut karena kita adalah satu saudara, satu bangsa Indonesia. Berarti di dalamnya ada etika, adat sopan santun, budaya dan norma agama.Bebas menyampaikan pendapat bukan tanpa batas. Terbuka peluang mengkritisi, tapi bukan lantas merinci dan mempertontonkan aib pribadi. Itulah rumusan demokrasi yang dikehendaki di era kini.Masyarakat awam akan mudah percaya dengan media tanpa mecaritahu kebenarannya tetapi berbeda dengan masyarakat yang aktif, dia akan mencari tahu kebenaran informasi dari media tersebut sesuai dengan kebutuhannya.