JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan Ke-2 yang di ajukan oleh sejumlah aktivis prodemokrasi
tentang uji materi Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu terkait konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden (Presudential Threshold) pemilu di gedung persidangan MK.
Diketahui, Permohonan pertama dengan Nomor Perkara 49/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Dahnil Anzar, dan Titi Anggraini. Sedangkan pemohon kedua dengan Nomor Perkara 50/PUU-XVI/2018 diajukan oleh wiraswasta bernama Nugroho Prasetyo.
Para pemohon dan kuasa hukumnya Prof Denny Indrayana menghadiri sidang perbaikan permohonan yang kedua, setelah dokumen perbaikan permohonannya di sampaikannya pada MK, hari senin,9 juli 2018 yang lalu, walau sebenarnya MK memberikan masa tenggat waktu sampai tanggal 16/7/2018 pada pemohon.
Titi menuturkan dalam keterangan persnya, bahwa percepatan perbaikan permohonan ini dilakukan sebagai bentuk konsitensi atas permintaan kami agar perkara ini diproses dan putuskan secara cepat, cetusnya di Jakarta Pusat, Rabu (18/7/2018).
Namun begitu, Titi menilai bahwa, “Mahkamah Konstitusi belum mengambil kebijakan prosedur percepatan tersebut, dan belum memprioritaskan penanganan perkara permohonan ini. Padahal berdasarkan Peraturan MK Nomor 7 tahun 2017, kita semua paham bahwa Mahkamah akan disibukan dengan jadwal persidangan perkara sengketa Pilkada yang segera dimulai, yaitu pada tanggal 26 Juli 2018,”ucapnya.
Lanjutnya, Titi menyatakan bahwa mereka telah melakukan perbaikan atas saran Majelis Hakim. perbaikan-perbaikan tersebut sebagai berikut:
- Perbaikan legal standing Para Pemohon, yaitu pemohon Dahnil Anzar Simanjuntak dan Titi Anggraini, dengan mengacu pada Anggaran Dasar organisasi pemohon. Selain itu, dikuatkan pula kerugian konstitusional Para Pemohon, di samping dan ditegaskan bahwa legal standing beberapa Pemohon sudah pernah diterima pada perkara pengujian presidential thresho sebelumnya, sehingga selayaknya Mahkamah juga menerima legal standing Para Pemohon dalam perkara a quo.
- Untuk menguatkan alasan pengujian yang berbeda, dilakukan penambahan pasal batu uji materi, sehingga seluruh batu uji menjadi sebagai berikut: Pasal 6 Ayat (1), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2), Pasal 22E Ayat (6), dan Pasal 280 Ayat (1) UUD 1945.
- Terkait dengan penguatan alasan berbeda dan penambahan batu uji tersebut, maka ada penambahan 1 (satu) argumentasi berbeda, sehingga seluruh argumentasi permohonan berjumlah 10 (sepuluh) poin, yaitu: “Pasal 222 UU 7/2017 menambahkan syarat ambang batas pencalonan yang berpotensi menghilangkan potensi lahirnya pasangan capres dan cawapres alternatif, yang sebenarnya telah diantisipasi dengan sangat lengkap bahkan melalui sistem pilpres dua putaran Atau Two Round/Run Off System, satu sistem pemilihan yang terbuka untuk pasangan calon yang bisa banyak, sehingga frasa 222 a quo bertentangan dengan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.”
- Penambahan frasa calon wakil presiden, di samping calon presiden, pada setiap argumentasi permohonan.
- Perubahan petitum putusan dari sebelumnya meminta pembatalan seluruh pasal 222 UU Pemilu, menjadi hanya pembatalan frasa “yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dan jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. ”
- Perubahan posisi petitum provisi “pemberlakuan putusan berlaku efektif sejak putusan dibacakan dan berlaku sejak Pemilihan Presiden 2019″ menjadi petitum pokok perkara.
Titi, berharap pada MK agar perkara ini dijadikan sebagai prioritas untuk diperiksa dan diputuskan.
“Kami tetap berharap dan masih tetap optimis bahwa dengan kebijakannya Mahkamah Konstitusi akan menjadikan perkara ini sebagai prioritas untuk diperiksa dan diputuskan,” tambahnya.
Titi juga menegaskan bahwa “Mahkamah hanya membutuhkan waktu 12 (dua belas) hari untuk memutuskan. Bahkan, putusan itu dikeluarkan dua hari menjelang pilpres, yang sama sekali tidak menjadi masalah bagi pelaksanan pemilu, tetapi justru menjadi bagian penting dari solusi untuk menyelamatkan hak pemilih dan kualitas Pilpres 2009,” bebernya
“Para Pemohon dan Kuasa Hukum optimis bahwa Mahkamah Konstitusi akan bersikap bijak untuk memutus perkara ini sebelum tahapan pendaftaran bakal capres 2019 yang dijadwalkan pada tanggal 4-10 Agustus 2018. Kami juga optimis bahwa Mahkamah akan mengabulkan dan memperlakukan pembatalan Pasal 222 UU 7/2017 terkait presidential thresho/d untuk Pilpres 2019,” lanjutnya.
“Dengan demikian menjamin dan melindungi hak konstitusional Para Pemohon dan seluruh rakyat lndonesia agar tidak dirugikan, misalnya dengan mengabulkan permohonan, tetapi putusan setelah habisnya masa pendaftaran capres selesai, ataupun mengabulkan, tetapi tidak memberlakukannya pada Pilpres 2019,” tutupnya.