Reporter: Aldi Mansyah
KONAWE – Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali menjadi tuan rumah Musyawarah Adat Pusat (Musdatpus) IV Tahun 2020, yang digelar di Laikaaha Lakidende, Kecamatan Unaaha.
Pembukaan Musdatpus IV ditandai dengan pemukulan gong oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra, Mashyur Masie Abunawas, Kamis 13 Februari 2020.
Musdatpus mengangkat tema dari dua kalimat sakral yakni ‘Inae Konasara Ie Pinesara, Inae Liasara Ie to Pinekasara’ yang artinya siapa yang menghargai adat dia akan dihormati, siapa yang melanggar adat ia akan diberi sanksi.
Untuk kalimat kedua ‘Medulu, Mepokoaso, Mokora, Owose Ronga Nunulai’ yang artinya berarti bersatu, kuat, besar dan tidak terputus.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara menjelaskan, tema Musdatpus adalah perintah untuk bersatu sesama pemangku adat, baik Tolaki, Jawa, Bugis, Bali, dan adat lainnya yang ada di Sultra.
“Kalau ingin naik ini daerah di Konawe, harus kita bersatu. Sudah saatnya sekarang kita bersatu. Kalau ingin muncul kepermukaan, maka kita semua harus bersatu,” kata Gusli Topan Sabara.
Gusli menuturkan bahwa kunci adat istiadat adalah ukhuwah.”Bagaimana kita mau tidak berselisih paham, karena hubungan persaudaraan diantara kita mulai terkikis,” ujarnya.
Dalam sambutannya itu, Gusli memaparkan bahwa dalam sejarahnya Konawe terbagi empat massa. Pertama masa Dinasti Wekoila antara tahun 900 sampai 1500-an, yang disebut Monarki Absolut.
Kedua, tahun 1500 sampai 1905 dimasa pemerintahan Dinasti Tebawo atau disebut Monarki Demokratis. Ketiga, tahun 1917 hingga 1958 disebut masa Monarki Peralihan atau Monarki Sao-Sao.
Dan keempat, atau masa terakhir yaitu terjadi pada tahun 1958 hingga saat ini, yang disebut dengan masa Demokrasi Pancasila dengan bergabungnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jadi Konawe itu, dari masa kemasa dari tahun 19500 an, sudah mulai mengenal sistem demokrasi. Akan tetapi, masih dalam bingkai Monarki Demokratis,” tegas Gusli.
Ia juga memaparkan, di tahun 1950-an raja termasyur di Konawe yaitu Sanggia Inato, telah meletakkan dasar dan sistem pemerintahan yang disebut dengan Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu.
“Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu dalam sistem pemerintahannya memberikan otonomi seluas-luasnya kepada empat wilayah besar yakni wilayah disebelah Timur, Barat, Selatan dan Utara,” papar Gusli.
Untuk keempat wilayah tersebut, yakni gerbang timur di Ranomeeto, gerbang barat di Tongauna, Barata I hana di Anggaberi dan Barata I moeri di Asaki Lambuya, yang dipimpin seorang raja bawahan.
Mantan Ketua DPRD Konawe itu berharap, dengan sejarah adat Tolaki tersebut Musdatpus bisa menjadi momentum untuk membangkitkan budaya adat Tolaki di Sultra, dan khususnya di Konawe.
“Orang yang tidak mengenal sejarahnya dan masa lalunya, maka dia tidak akan mengenal masa sekarang. Dan orang yang tidak mengenal masa sekarang, pasti dia tidak akan mampu membangun masa depan,” tuturnya.
Dikesempatan tersebut, Ketua DPP LAT Sultra, Mashyur Masie Abunawas dalam sambutannya menyampaikan, agar warga etnis Tolaki Sultra bisa bersatu dengan membangun budaya lokal yang ada.
“Tradisi dan budaya Tolaki mulai tergerus, kita seharusnya bersatu agar budaya kita bisa berkembang, yang mana keturunan kita saat ini, hanya paham bahasa Tolaki, namun tak mampu berbahasa Tolaki,” ungkapnya.
Mantan Walikota Kendari ini juga mengingatkan bahwa kebudayaan Tolaki harus dapat bekerja sama dengan berbagai pihak seperti para cendikiawan, dan akademisi serta pemerintah.
“Harus bisa bekera sama dengan cendikiawan, dan akademisi di univeritas serta kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengembangan bahasa dan budaya suku Tolaki,” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa ada tiga hal pokok yang mesti jadi pegangan masyarakat Tolaki dimanapun berada. Ketiga hal itu, adalah medulu, mepokoaso dan samaturu.
“Saat ini, ketiga hal tersebut sudah mengalami erosi. Inilah yang seharus nya menjadi perhatian kita bersama,” ungkapya.
Pria yang akrab disapa MMA ini juga berpesan bagi Pemda dan DPRD agar menyisipkan anggarannya untuk kegiatan LAT. Selain itu, juga diminta agar tiap daerah dapat mendirikan Laika’aha.
“Saya juga meminta kepada Pemda Konawe agar kompleks makam Lakidende bisa ditata lebih rapi lagi,” harapnya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sultra H. Lukman Abunawas memaparkan, Kalosara merupakan simbol persatuan suku Tolaki di Sultra, yang juga simbol kebesaran yang wajib dijunjung tinggi masyarakat Sultra pada umumnya.
Menurutnya, dalam Kalo ada tiga lilitan yang masing-masing punya makna dan keterikatan satu sama lain. Pada lilitan pertama bermakna agama, kedua pemerintan dan ketiga adat.
“Nenek moyang Sultra merupakan pemangku adat Tolaki yang dibesarkan para pendahulu kita yaitu Raja Lakidende di Konawe ini, yang merupakan pejuang yang telah gugur melawan penjajahan Belanda,” paparnya.
Hadir dalam Musdatpus Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas; Ketua DPP LAT, Mashur Masie Abunawas; Wabup Konawe, Gusli Topan Sabara; Bupati Konut, Ruksamin; Bupati Koltim, Tony Herbiansyah.
Selain itu Ketua DPRD Konsel, Irham Kalenggo; Dandim 1417 Kendari, Kolonel Inf. Alamsyah serta sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat adat serta para ketua adat Mokole lainya.