Reporter: Rahmat R.
Editor: Kang Upi
JAKARTA – Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK) atas vonis perkara korupsi yang menjeratnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, (31/10/2019).
Nur Alam mengajukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan perkara korupsi atas dirinya, dengan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 8 bulan kurungan.
Suami Anggota DPR RI Tina Nur Alam ini pada awalnya divonis hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta subsider 6 bulan kurungan pada tingkat pengadilan negeri.
Pantauan MEDIAKENDARI.com, mengikuti sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Rosmina, SH, MH dan dua hakim anggota, Nur Alam didampingi enam pengacara. Selain itu keluarga, dan kerabatnya dari Kendari Sultra turut hadir dalam sidang PK perdana Nur Alam ini.
Salah seorang pengacara Nur Alam, Heru Widodo membacakan alasan pengajuan PK yang diajukan Nur Alam, dengan beberapa alasan pokok. Menurut dia, ada banyak hal yang mengganjal perlu ditinjau ulang.
“Keliru dan kemudian perlu diperbaiki dalam PK pertama ada bukti baru yang menunjukkan bahwa uang yang diterima Bapak Nur Alam dulu itu adalah tidak ada kaitannya dengan kedudukan Pak Nur Alam sebagai Gubernur. Tapi murni karena hubungan investasi,” bebernya.
BACA JUGA:
- Sukses Pimpin Konawe, Pj Bupati Harmin Ramba : Tingkat Inflasi di Kabupaten Konawe pada Bulan Juni 2024 Terendah Se Sultra
- Gelar RUPS Tahun Buku 2023, Bank Sultra Bagikan Dividen Rp.282 Miliar kepada Pemegang Saham
- Bank Sultra Raih Penghargaan dan Miliki Kinerja Keuangan Terbaik dari The Asian Post Best Regional Champion 2024
Heri menambahkan, hal itu tidak termasuk gratifikasi karena yang namanya gratifikasi itu pemberian yang diterima oleh pejabat dan itu tidak dikembalikan. “Nah ini dikembalikan, berikut bunganya karena sesuai dengan perjanjian investasi. Itu alasan bukti barunya. Kemudian alasan lain selain bukti baru, adanya kekhilafan hakim yang perlu dikoreksi dari putusan kasasi,” jelas pria berkacamata ini.
Dia juga merincikan, kekhilafan yang pertama itu adalah berkaitan dengan kesimpulan Majelis Kasasi yang menyimpulkan bahwa penerimaan uang itu adalah gratifikasi. Seharusnya penerimaan uang itu tidak ada kaitannya dengan kewenangan yang ada pada diri Gubernur.
“Kekeliruan yang berikutnya adalah mengenai denda uang pengganti. Uang pengganti itu berdasarkan pasal 18 itu dikenakan terhadap dakwaan pertama pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 di pasal 18. Sementara yang dinyatakan terbukti dalam putusan Kasasi adalah dakwaan kedua, pasal 12 huruf B di pasal 64 KUHP, dan tidak ada pasal 18 itu,” urai Heri.
Menurutnya, Hakim Kasasi sudah menyatakan terbukti menerima gratifikasi pasal 12 B, dan tiba-tiba pasal 18 masih muncul padahal tidak ada dalam dakwaan kedua.
“Atas dasar itu, maka demi keadilan pada diri pak Nur Alam dan memberikan kepastian hukum, putusan Majelis Kasasi itu beralasan untuk dikoreksi oleh MA dalam proses permohonan PK ini,” tukasnya.
Dalam sidang PK Perdana Nur Alam ini, 6 kuasa hukum Nur Alam membacakan memori pemohon PK. Sidang lanjutan akan dilaksanakan 13 November 2019 Tanggapan (jawabannya atau kontra) dari termohon dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum (JPU). (B)