OPINI

OPINI: Ledakan Pengguna AI di Kalangan Mahasiswa, Ancaman atau Peluang?

213
Karya visual AI menjadi “teman baru” mahasiswa yang siap membantu dalam hitungan detik. Fenomena ini tidak bisa dihindari.

Oleh : Yasti dan Supriati 

Dalam dua tahun terakhir, perkembangan aplikasi kecerdasan buatan (AI) berlangsung dengan kecepatan yang sulit dibendung. Perangkat lunak berbasis AI kini tidak hanya menjadi alat bantu profesional industri kreatif atau sektor teknologi, tetapi juga telah meresap masuk ke ruang-ruang kampus, menjadi bagian dari aktivitas harian mahasiswa di Indonesia.

Dari mengerjakan tugas kuliah, merangkum bacaan akademik, membuat presentasi, hingga merancang desain dan karya visual AI menjadi “teman baru” mahasiswa yang siap membantu dalam hitungan detik. Fenomena ini tidak bisa dihindari.

Teknologi telah hadir, dan mahasiswa adalah pengguna paling adaptif terhadap perubahan digital. Namun di balik kemudahan itu, muncul pertanyaan besar yang mulai menggelitik berbagai pihak: apakah penggunaan AI benar-benar mendorong perkembangan intelektual mahasiswa, atau justru menggeser proses belajar menjadi sesuatu yang instan, dangkal, dan kehilangan esensi berpikir kritis?

Kemudahan yang Menjebak
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kampus-kampus besar dengan fasilitas lengkap, tetapi juga merambah ke perguruan tinggi di daerah yang sedang berlomba meningkatkan literasi digital. Di banyak kelas, dosen menemukan pola serupa tugas-tugas mahasiswa semakin rapi, semakin cepat selesai, tetapi semakin seragam bahkan terkadang terasa “tidak ada napas manusia” di dalamnya.

Teknologi seharusnya menjadi alat bantu. Namun dalam praktiknya, sebagian mahasiswa menjadikan AI sebagai jalan pintas untuk menghindari proses intelektual yang seharusnya mereka jalani. Inilah ironi besar era digital: di saat akses ilmu makin mudah, kemampuan berpikir mendalam justru terancam terdegradasi.

Ketika mahasiswa hanya menyalin jawaban dari AI tanpa memahami, proses akademik berubah menjadi formalitas belaka. Kualitas pemikiran menjadi tanda tanya besar.

Dunia Kerja Justru Menuntut Penguasaan AI
Namun melihat sisi lain, dunia kerja hari ini justru bergerak dengan arah yang berlawanan. Perusahaan-perusahaan mulai mencari talenta yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu mengoperasikan perangkat cerdas.

Kemampuan menganalisis data, mengotomatiskan pekerjaan, memahami prompt engineering, dan memanfaatkan AI sebagai alat produktivitas menjadi nilai tambah yang dicari banyak industri.

Artinya, mahasiswa yang tidak memahami AI justru akan tertinggal. Dunia kerja tidak lagi menoleransi mereka yang gagap teknologi.
Di sinilah letak paradoksnya mahasiswa tidak boleh terlalu bergantung pada AI, tetapi juga tidak boleh buta terhadap AI. Keseimbangan ini yang masih sulit dicapai.

Apakah Kampus Sudah Siap?
Pertanyaan berikutnya lebih kritis: apakah kampus sudah siap membekali mahasiswa menghadapi perubahan besar ini?
Kenyataannya, masih banyak institusi pendidikan yang gagap teknologi.
Pedoman penggunaan AI tidak jelas.
Sistem pengawasan lemah.

Banyak dosen tidak mendapatkan pelatihan memadai tentang cara memanfaatkan, mengendalikan, atau mendeteksi penggunaan AI dalam tugas mahasiswa.
Akibatnya, terjadi kesenjangan besar antara kebutuhan industri dan kompetensi lulusan.

Sementara industri bergerak ke arah digitalisasi dan otomatisasi, dunia pendidikan justru tertinggal di belakang. Beberapa kampus mencoba membuat regulasi, tetapi masih bersifat reaktif, bukan adaptif. Ada yang melarang total penggunaan AI, ada pula yang membiarkan tanpa panduan. Keduanya sama-sama bermasalah.

AI: Ancaman atau Peluang?
Pada akhirnya, pertanyaan “AI ini ancaman atau peluang?” kembali pada ekosistem pendidikan itu sendiri.
Jika dimanfaatkan dengan tepat, AI dapat menjadi katalis kemajuan membantu mahasiswa lebih kreatif, produktif, dan kompeten.

Tetapi jika digunakan tanpa kontrol, AI justru bisa menggerus kemampuan berpikir kritis, melemahkan proses akademik, dan menciptakan generasi yang cerdas secara teknis tetapi rapuh secara analitis.
Kuncinya bukan pada teknologinya, tetapi pada cara penggunaannya.

Tanggung Jawab Ada Pada Siapa?
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masa depan generasi muda di tengah gempuran AI?
• Mahasiswa, yang harus belajar menggunakan AI sebagai alat, bukan sebagai pengganti proses berpikir.
• Kampus, yang harus menetapkan pedoman jelas, memberikan edukasi, dan memastikan integritas akademik tetap dijaga.
• Pemerintah, yang perlu menyusun regulasi nasional dan memastikan kesiapan infrastruktur digital pendidikan.
Tiga pihak ini tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Gagal satu, maka hilanglah keseimbangan sistem.

Ledakan penggunaan AI adalah realitas yang tidak dapat dihentikan. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan generasi muda tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga penentu arah, pengendali, dan pencipta teknologi itu sendiri.

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version