KENDARI, MEDIAKENDARI.COM–Perbedaan hasil survey data stunting melalui Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) sempat dipaparkan pada kegiatan Rakornis Kemitraan 2023 yang digelar oleh BKKBN Provinsi Sultra.
Hal ini memicu perdebatan panjang selama diskusi baik dari pihak peserta maupun dari narasumber yang telah memaparkan materi pada panel pertama.
Diketahui menurut data stunting SSGI 2022, pravalensi stunting provinsi Sultra yaitu 27,7%, namun jika merujuk pada data E-PPGBM sangat jauh berbeda yaitu 11,3% jauh melampaui target nasional sebesar 14%.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sultra, Usnia yang menegaskan stunting di Sultra sudah sangat menurun.
“Sudah jauh kita lampaui target nasional, itu menurut data kami yah dari E-PPGBM karena memang dari Dinkes yang survei hal ini, dan ini akurat yah, jadi saya rasa 2 survei ini sah-sah saja” ucap Usnia.
Menurut Usnia, Perlunya sinkronisasi data survei antara E-PPGBM dan juga SSGI agar tidak membuat warga bingung dengan hasil yang valid.
“Jadi mari kita sama-sama mensinkronkan data ini tentu dengan adanya pertemuan dari stakeholder terkait, jadi untuk update data ini perlu dengan kerjasama” tambahnya.
Disisi lain, Sekretaris BKKBN Provinsi Sultra, Muslimin, SH., MH, sedikit berbeda pendapat dengan adanya survei E-PPBGM ini. Menurutnya E-PPGBM hanya bersifat intervensi bukan sebagai pengambil kebijakan.
Diketahui Survei E-PPGBM merupakan survei yang dilakukan oleh Dinkes melalui kegiatan Posyandu, sehingga para kepala daerah mayoritas menjadikan E-PPGBM sebagai rujukan penurunan angka stunting.
“Ketika melakukan evaluasi di tahun 2022 kemarin, data E-PPGBM itu hanya bisa dijadikan untuk intervensi kegiatan bukan sebagai pengambil kebijakan, karena kevalitannya tidak bisa diakui secara ilmiah” tegas Muslimin.
“Karena yang datang ke posyandu apakah semua sasaran stunting? Tentu tidak, banyak orang dengan kesibukan masing-masing, sedangkan kenapa harus SSGI karena tim pendata atau biasa disebut dengan numerator, langsung direkrut oleh Kemenkes RI” tambahnya.
Menurutnya, tidak semua survei memiliki sampling, namun SSGI telah menetapkan lokasi focus (Locus) di kab/kota sebagai sampling.
“Misalkan kota Kendari sudah ditetapkan locusnya itu di kecamatan apa dan desa apa jadi ada sampling yang telah pasti, sehingga secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan karena kita tidak asal pilih, jadi ketika penentuan sample ini pasti akan dikunjungi, dan kita lakukan survei sesuai SOP sehingga itulah hasilnya” tegasnya.
“Intinya menurut saya SSGI sebagai pengambil kebijakan, dalam hal ini masalah anggaran dll, sedangkan E-PPGBM itu kita intervensi, dalam artian jika suatu kabupaten sudah pakai E-PPGBM, silahkan dimanfaatkan tapi tetap merujuk kepada SSGI” tutupnya.
Reporter: Nur Anisah