KONSEL, MEDIAKENDARI.com – Konflik agraria kembali terjadi di Desa Lamooso, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan. PT. Marketindo menjadi sorotan setelah diduga melakukan penggusuran paksa terhadap lahan warisan keluarga almarhum Djubar Makati pada Kamis, 6 November 2025.
Lahan yang luasnya sekitar 60 are tersebut selama puluhan tahun menjadi sumber kehidupan keluarga petani. Namun pagi tadi alat berat perusahaan masuk tanpa pemberitahuan kepada pemilik sah. Tanaman produktif berupa sekitar 70 pohon pala, 200 pohon lada, 15 pohon cengkeh, dan 7 rumpun sagu rusak dan terancam hilang.
Menurut keterangan keluarga, penggusuran dilakukan tanpa dasar hukum, tanpa komunikasi, dan tanpa persetujuan ahli waris.
“Ini bukan soal luas tanahnya, tapi soal harga diri kami sebagai pewaris sah tanah ini. Kami tidak akan tinggal diam ketika perusahaan berusaha memutus hubungan kami dengan tanah leluhur,” tegas Sudiran, salah satu ahli waris.
PUSPAHAM Sulawesi Tenggara juga mengecam tindakan perusahaan tersebut. Koordinator Hukum dan HAM PUSPAHAM, Didi Hardiana, menyebut PT. Marketindo telah lama beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.
Ia menyatakan legalitas perusahaan tersebut kabur dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan diduga manipulatif serta tidak kredibel.
Selain itu, PT. Marketindo dinilai mengalihkan fungsi lahan dari rencana perkebunan tebu menjadi kelapa sawit tanpa sosialisasi dan tanpa persetujuan masyarakat.
“Pola ini menunjukkan praktik perampasan ruang hidup masyarakat melalui legalitas semu dan kekuatan modal.
Didi juga mengungkap dugaan jual-beli tanah secara bawah tangan yang dilakukan perusahaa,” ungkapnya.
Perusahaan diduga masih terafiliasi dengan jaringan bisnis besar milik Tommy Winata. Tanah warga diduga dibeli tanpa mempertemukan pemilik sah dengan pihak penjual, sehingga warga yang kehilangan lahan justru dipaksa menjadi buruh murah di atas tanah sendiri.
Kasus di Lamooso disebut hanya salah satu dari rangkaian konflik yang lebih besar. Di wilayah sekitar terdapat sekitar 1.300 hektare lahan di delapan desa yang kini direklaiming oleh masyarakat karena diyakini juga dikuasai PT. Marketindo tanpa dasar hukum dan telah lama terbengkalai.
“Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan antara perusahaan dan warga bukan insiden tunggal melainkan persoalan sistemik,” jelasnya.
PUSPAHAM memberikan peringatan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) agar tidak menerbitkan HGU baru bagi PT. Marketindo mengingat rekam jejak pelanggaran agraria dan legalitas perusahaan yang bermasalah.
Menurut mereka, pemberian izin baru hanya akan memperpanjang praktik perampasan tanah dan penderitaan petani lokal.
“Masyarakat dan pendamping hukum menuntut pemerintah pusat dan daerah menghentikan seluruh aktivitas PT. Marketindo, melakukan audit legalitas lahan, audit lingkungan, serta penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran AMDAL dan agraria yang telah merugikan masyarakat dan lingkungan,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan belum memberikan keterangan resmi. Sementara itu, keluarga pemilik lahan menegaskan bahwa perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas tanah warisan tidak akan berhenti. Tanah, bagi mereka, bukan sekadar aset, tetapi identitas, sejarah, dan sumber kehidupan.
