Penulis: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Nonet dan Selznick dalam buku Law and Society in Transition Toward Responsive Law (2001) mendistingsi hukum ke dalam 3 tipologi berdasarkan derivasi hubungan antara sistem pemerintahan negara dengan karakter hukum yang dihasilkan baik dalam ranah substansi maupun implementasi penegakannya.
Pertama, dalam sebuah negara yang otoriter dimana kekuasaan politik meng-subordinasi hukum, maka akan melahirkan tipologi hukum yang bersifat represif. Hukum represif. Ciri dari pada hukum represif adalah minimnya partisipasi publik dalam pembentukan hukum. Hukum dibentuk atas dasar kepentingan oportunis penguasa.
Kemudian, dalam proses penegakan hukum akan kuyup oleh intervensi-intervensi kekuasaan sehingga tidak dapat mawujud penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam negara otoriter, hukum hanya difungsikan sebagai sarana kontiniutas imperatif kekuasaan bukan sarana untuk mewujudkan integrasi dan kesejahteraan sosial.
Kedua, dalam sebuah negara yang berkedaulatan hukum, akan melahirkan tipologi hukum yang bersifat otonom. Ciri dari pada hukum otonom adalah hukum yang bekerja untuk eksistensi dan kedaulatan hukum itu sendiri. Tidak boleh ada intervensi non-yuridis terhadap hukum. Akibatnya, hukum menjadi sebuah entitas yang kaku dan rigid serta jauh dari realitas dan dinamika sosial.
Ketiga, dalam sebuah negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi), akan melahirkan tipologi hukum yang bersifat responsif. Hukum responsif adalah hukum yang aspiratif, partisipatif, dan fleksibel dalam mengatasi problematika aktual masyarakat. Hukum responsif memiliki basis dogma bahwa hukum ada untuk masyarakat. Hukum berfungsi untuk mewujudkan hamonisitas dan kesejahteraan masyarakat.
Jika dielaborasikan, maka hukum represif merupakan wujud transformasi hukum sebagai pelayan kekuasaan otoriter. Kemudian, hukum otonom merupakan pengejawantahan hukum sebagai institusi tersendiri yang berfungsi untuk menghalau intervensi dari luar guna menjaga kedaulatan hukum. Sedangkan hukum responsif merupakan transformasi hukum sebagai fasilitator terhadap kenyataan sosial (aktual) dan aspirasi publik.
Jika tipologi hukum di atas dihubungkan dengan sistem pemerintahan Indonesia khususnya Pasal 1 ayat (2), 1 ayat (3), dan Pasal 28A-J UUD NRI Tahun 1945, maka dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang bersifat demokratis. Negara hukum yang demokratis adalah negara yang menempatkan hukum dan demokrasi dalam tensi relasi yang mutualistik. Tidak saling meng-subordinasi.
Sayangnya, hal demikian hanya sebatas entitas das sollen yang berbeda dengan keadaan empiriknya. Meskipun Indonesia adalah negara hukum demokratis yang seharusnya memiliki tipologi hukum responsif, tetapi tipologi hukum di Indonesia justru mengandung corak-corak tipologi hukum represif baik dalam tataran formulasi hukum yang seringkali mengingkari aspirasi dan partisipasi publik serta dalam tataran aplikasi maupun eksekusi yang penuh dengan problematika dan intervensi non-hukum.
Ada dua entitas intervensi yang seringkali membuat hukum menjadi disfungsi dan berkarakter represif. Pertama, intervensi politis. Perlu dipahamai bahwa Undang-Undang adalah produk politik, mengingat lembaga yang memiliki otoritas konstitusional untuk membuatnya yakni DPR dan Presiden merupakan pihak-pihak yang terpilih dalam proses politik (pemilu) dan juga berafiliasi dengan institusi politik (parpol). Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pembentukan sebuah Undang-Undang tidak lepas dari sengkarut, perdebatan, dan tarik menarik antar kepentingan dalam tiap fase pembentukannya.
Seidman dan Chamblis dalam teori bekerjanya hukum mengatakan bahwa dalam proses pembuatan suatu aturan hukum (Undang-Undang) tidak akan bisa lepas dari faktor-faktor non-yuridis seperti faktor personal, ekonomi, sosial, dan politis yang bisa menghambat terbentuknya aturan hukum yang substansial dan fungsional. Sejalan dengan hal tersebut, Mahfud MD dalam disertasinya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia secara implisit mengatakan bahwa lahir dan tidak lahirnya sebuah Undang-Undang terkadang tidak berdasarkan pada nilai urgensinya melainkan pada nilai kompromistisnya.
Kedua, intervensi ekonomi. Intervensi ekonomi terhadap hukum artinya adalah bahwa faktor-faktor materi baik dalam wujud suap dan transaksional dapat menyumbat proses idealitas bekerjanya hukum. Hal ini dapat tumbuh subur karena didukung juga oleh faktor nir-integritas dari pihak legislatif maupun aparat penegak hukum. Intervensi ekonomi terhadap hukum terjadi baik dalam tataran formulasi (oportunitas hukum), aplikasi (ketidakadilan hukum), dan eksekusi (keistimewaan).
Oleh karena itu, agar konstruksi negara hukum demokratis Indonesia dapat berfungi secara optimal untuk mewujudkan hukum yang responsif, hukum yang berkeadilan, dan hukum yang dapat mendorong terwujudnya kesejahteraan sosial, maka harus ada upaya purifikasi hukum. Purifikasi hukum dari intervensi politik maupun intervensi ekonomi agar hukum dapat bekerja secara responsif dan progresif untuk membangun peradaban manusia Indonesia yang beradab, sejahtera, adil, dan makmur.
Sayangnya, upaya purifikasi hukum bukanlah sebuah hal yang mudah. Dibutuhkan awareness public yang tinggi dari para stakeholders hukum, baik pembentuk hukum, penegak hukum, dan masyarakat untuk menjadikan hukum sebagai institusi sosial yang bekerja secara ideal-empirik. Selain itu, purifikasi hukum juga berkaitan dengan upaya restoratif terhadap dimensi politik, ekonomi, dan budaya secara integral, yang tentu membutuhkan sinergitas dan kontiniutas waktu yang panjang. Konkretnya, purifikasi hukum membutuhkan ekosistem hukum maupun ekosistem sosial yang kondusif.