Oleh : Muh. Mardhan
Dalam 10 tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan pembangunan secara besar-besaran, dari hulu hingga hilir, dari Pusat Kota hingga ke pelosok desa. Hal itu tentu saja merupakan kabar gembira bagi masyarakat desa yang selama ini jauh dari akses dan hampir tidak tersentuh dengan pembangunan. Akan tetapi di sisi lain, harus diakui pula bahwa tidak sedikut dari proyek-proyek perluasan pembangunan yang diinisiasi oleh pemerintah ataupun swasta yang dalam pelaksanaannya justru bermasalah dan malah merugikan masyarakat di pedesaan. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi di tempat asal kelahiran saya, Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
Secara kronik, peristiwa ini bermula pada akhir tahun 2017 lalu, ketika Menteri Pertanian RI (Mentan) Amran Sulaiman meresmikan pembangunan pabrik gula milik PT Jhonlin Batu Mandiri (JMB) di Desa Tinabite, Kec. Rarowatu Utara. Segera setelah peresmian itu, sejumlah media massa lantas dibanjiri oleh statmen-statmen yang bernada positif seperti ini: “Adanya perusahaan ini akan membuka lapangan pekerjaan di Bombana”, “Perusahaan ini akan berkolaborasi dengan masyarakat melalui kebun plasma”, “Perusahaan ini jelas akan berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat”, dst. Bahkan Menteri Pertanian sendiri dalam sosioalisasinya di salah satu kampus, menyerukan supaya jangan ada yang melakukan demonstrasi atas keberadaan perusahaan tersebut, karena itu akan memperlambat tercapainya cita-cita mulia swasembada pangan Nasional.
Tak berselang lama setelah acara peresmian pabrik gula itu, di lokasi yang sama tiba-taba saja sudah dipenuhi dengan alat-alat berat yang dikawal oleh rombongan aparat polisi. Mengetahui hal tersebut, masyarakat sontak kaget dan shock karena ternyata lahan peternakan dan pertanian yang sebelumnya mereka kelola tiba-tiba diketahui telah dibongkar dan diduduki atas klaim perusahaan JMB. Akibat hal tersebut, secara tak terelakkan sejumlah kepala keluarga (pemilik lahan, peternak, dan petani) yang mulanya beraktivitas di kawasan itu terpaksa gulung tikar, sebab meraka tak kuasa melawan perusahaan yang memiliki sumber daya besar dan didukung oleh pemerintah dan juga aparat polisi. Begitulah kronologis singkatnya, konflik pun terus berlanjut sampai saat ini.
Padahal menurut penulis, peristiwa itu sebenarnya tidak akan terjadi, jika saja dua hal terpenuhi: Pertama, Kementan dan Pemda Bombana sejak awal tidak “amburadul” dalam mengklasifikasi mana ‘lahan tidur’ dan mana ‘lahan produktif yang telah dikelola masyarakat’. Sebab jika mengacu pada arahan Presiden RI, Joko Widodo menurut pengakuan Mentan adalah Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Swasembada, bukan malah menggusur lahan yang telah bertahun-tahun lamanya dikelola oleh masyarakat setempat, lalu menggantikannya dengan pabrik gula.
Kedua, masyarakat jelas tidak akan meras rugi jika saja pihak PT.JMB selama ini bersinergi dengan kepentingan masyarakat setempat dan bukannya malah menggunakan tangan-tangan kotor oknum aparat polisi setempat untuk “door to door” mengintimidasi masyarakat agar menandatangani penyerahan lahan dengan bayaran yang hampir tidak masuk akal. Bagi saya pribadi, langkah seperti itu sudah seperti perbuatan “Mafia” yang itu dapat memperburuk citra perusahaan dan jelas kedepannya dapat memperparah keadaan.
Lalu, bagaimanakah peranan Pemerintah Bombana dalam kasus ini? Mengenai hal itu, sepertinya jelas bahwa sejauh ini Pemerintah setempat lebih memihak perusahaan tersebut ketimbang masyarakat. Sementara itu, Bapak Mentan sebagai pihak yang memfasilitasi PT JMB meluaskan sayapnya di Bombana (Perusahaan ini merupakan bagian dari Jhonlin Grup yang berasal dari Kalimantan) entah ke mana, ia bagaikan hilang seperti ditelan angin. Beliau seolah tidak menunjukkan niatan baiknya dengan memonitoring dan mengevaluasi inisiatifnya yang kini bermasalah itu. Tidak mengherankan kiranya jika banyak dugaan miring bahwa kasus ini memang sengaja dibiarkan begitu saja, karena pemilik perusahaan yaitu, H. Isam merupakan orang yang memiliki bekingan kuat dari sejumlah elit nasional.
Tak hanya itu, mungkin tak banyak kita yang tahu bahwa pengusaha asal Batu Licin itu sebenarnya berasal dari daerah yang sama dengan Mentan RI, Amran Sulaiman. Fakta yang kedua itulah, yang menurut hemat saya lebih mendekati asumsi saya, yakni: Ekspansi Bisnis melalui Politik Kekerabatan. Hal ini dalam ukuran tertentu bagi saya sah-sah saja, tetapi persoalannya jelas berbeda jika ekspansi bisnis lewat jalur kekerabatan itu dilakukan dengan cara menghantam hak-hak masyarakat sipil di suatu kawasan.
Hingga kini kasus penggusuran lahan oleh PT. JMB ini masih terus belanjut, sementara itu kami di pihak masyarakat hanya sanggup menghimpun kekuatan dalam jumlah yang terbatas sambil berharap bahwa kedepannya akan ada upaya pendampingan dari LSM, Advokat, KPK, Mahasiswa, dan segenap pihak yang memiliki spirit serupa dengan kami, yakni: Terciptanya Keadilan Sosial.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semua yang termuat di dalamnya tentu saja tidak dimaksudkan untuk memprovokasi pihak-pihak yang bersangkutan, apalagi tanpa didasari dengan fakta-fakta di lapangan.
Penulis adalah inisiator Bombana Cerdas dan seorang Pemerhati Sosial.