JAKARTA – Ketua Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin (SRMI) Wahida Baharuddin Upa mengungkapkan sebentar lagi Bangsa Indonesia memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan yang ke-73. Sayangnya, meskipun usia Republik Indonesia sudah 73 tahun, tetapi janji kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur belum terwujud, menurutnya masih banyak rakyat Indonesia yang kesulitan memenuhi hak dasarnya.
“Baru-baru ini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengeluarkan tiga peraturan, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes), yang mengurangi tanggungan biaya untuk persalinan, katarak dan rehabilitasi medik,” kata Wahida, di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (13/8/2018).
Lanjutnya BPJS berdalih, kebijakan itu diambil untuk menambal defisit pada akhir 2017 lalu sudah mencapai Rp 9,75 triliun. Jika tidak ditambal, defisit itu akan melebar menjadi Rp 16,5 triliun di tahun ini.
Tak hanya itu, SRMI juga menolak tiga Perdirjampelkes BPJS tersebut. Kata Wahida peraturan tersebut melanggar hak rakyat, sebagaimana dijamin oleh konstitusi, untuk mendapat layanan kesehatan dan hidup sehat. Bahkan Perdijampelkes nomor 3/2018 bertentangan dengan target pemerintah untuk menurunkan angka kematian bayi di Indonesia.
“Alasan defisit BPJS perlu ditelusuri lebih lanjut. Jumlah pendapatan iuran JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan tahun 2017 mencapai Rp 74,25 triliun. Sebanyak Rp 25,4 triliun diantaranya adalah PBI untuk 92,3 juta jiwa,” bebernya.
Lanjut Wahida, anggaran itu sudah cukup besar dibandingkan dengan anggaran Jamkesmas tahun 2013 yang hanya Rp 8,3 triliun untuk 86,4 juta jiwa masyarakat miskin. Karena itu, BPJS harus mengungkap data klaim kesehatan ke publik agar bisa diverifikasi.
“Kami menolak JKN-BPJS ini. Pertama, mekanisme JKN-BPJS tidak sesuai dengan prinsip jaminan kesehatan dalam UUD 1945, yang menegaskan bahwa kesehatan adalah hak dasar rakyat. Dalam JKN-BPJS, negara hanya bertanggung-jawab terhadap peserta penerima bantuan iuran (PBI), yang jumlahnya hanya 92,2 juta jiwa dari 196,4 jiwa peserta JKN-KIS. Itu pun nilainya kecil,” ucapnya.
Sehingga peserta PBI rentan mengalami diskriminasi dan penolakan dari rumah sakit. Sementara peserta non-PBI diharuskan membayar iuran per bulan.
“Masalahnya, tidak semua peserta non-PBI/mandiri ini adalah orang mampu. Faktanya, seperti diakui BPJS sendiri, per Juni 2017 ada 10 juta peserta yang menunggak. Kedua, sistem JKN-BPJS mengenal sistem kelas berdasarkan besaran iuran, dari peserta PBI dan peserta mandiri (kelas I, II dan III), yang berkonsekuensi pada perbedaan jenis dan kualitas layanan. Ini bertentangan prinsip keadilan sosial,” tegasnya.
SRMI menegaskan, selain persoalan kesehatan di atas, akhir-akhir ini rakyat Indonesia juga diperhadapkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Beberapa saat lalu, rakyat dicekik oleh kenaikan harga daging ayam, telur dan cabai. Rakyat juga merasakan kenaikan harga tarif listrik sejalan dengan keputusan pemerintah mencabut subsidi golongan 900 VA.
Wahida selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) meminta kepada pemerintah agar:
1. Pemerintahan Jokowi-JK harus menghapuskan sistim JKN-BPJS karena bertolak belakang dengan cita-cita konstitusi.
2. Mendesak Pemerintahan Jokowi-JK untuk menerapkan kembali Jamkesmas dengan kepesertaan dan anggaran yang ditambah, sebagai transisi menuju Jaminan Kesehatan Universal.
3. Pemerintah harus memastikan harga kebutuhan pokok bisa dijangkau oleh seluruh rakyat, termasuk rakyat miskin.
4. Pemerintah harus menjamin dan memastikan pemenuhan hak dasar rakyat, dari kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal.
“Menangkan Pancasila, Wujudkan Kesejahteraan Sosial.(a)