Editor : Taya
Dalam jumpa pers di Kementerian Luar Negeri, Selasa (9/7), Kepala Perwakilan UNHCR (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pengungsi) di Indonesia, Thomas Vargas, mengakui lembaganya kekurangan dana untuk membantu para pengungsi.
Karena itu, lanjut Vargas, UNHCR bekerjasama dengan beragam mitranya di Indonesia guna memberikan bantuan bagi hampir 14 ribu pengungsi yang ada di Indonesia.
“UNHCR memiliki sumber keuangan sangat terbatas untuk mampu memberikan bantuan langsung kepada para pengungsi, tapi kami juga bekerjasama dengan berbagai mitra, seperti Dompet Dhuafa dan Yayasan Buddha Tzu Chi, IOM untuk mencoba sebisa mungkin menolong pengungsi. Tentu saja mitra paling penting adalah pemerintah (Indonesia),” kata Vargas.
Vargas menambahkan UNHCR saat ini tengah bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mencari cara bagaimana para pengungsi itu bisa membantu diri mereka sendiri.
UNHCR dan pemerintah Indonesia akan bekerja merumuskan sejumlah proyek supaya para pengungsi dapat berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian kepada penduduk tempat di mana mereka tinggal. Dia percaya hal tersebut dapat menjadi jalan keluar menguntungkan bagi pengungsi maupun masyarakat setempat.
UNHCR Kerjasama Dengan Sejumlah Lembaga untuk Bantu Pengungsi
Vargas berterima kasih kepada pemerintah Indonesia karena memiliki sejarah yang panjang dalam hal kemanusiaan. Dia menyebutkan ketika terjadi krisis Indo Cina empat dasawarsa lalu serta ketika konflik di Yaman pada 2015, Indonesia dapat memberikan tempat sangat aman bagi para pengungsi.
“Meski jumlah pengungsinya sudah jauh berkurang, saya sangat senang dan mengakui pemerintah Indonesia memelihara tradisi untuk terus menampung dan memberikan bantuan kepada para pengungsi,” ujar Vargas.
Tindakan pemerintah Indonesia ini, lanjutnya, sangat penting sebab sekarang ini terdapat lebih dari 70 juta orang mengungsi dari rumah mereka di seluruh dunia. Dia menegaskan angka ini merupakan jumlah pengungsi terbesar sejak Perang Dunia Kedua.
Menurutnya, besarnya gelombang pengungsi tersebut karena terjadi perang, kekerasan, dan ketidakstabilan sehingga memaksa orang-orang meninggalkan negaranya untuk mencari tempat berlindung.
Karena itulah, sekali lagi Vargas memuji langkah pemerintah Indonesia bersama-sama dengan negara lain ikut menyediakan tempat aman bagi pengungsi. Dia mengatakan saat ini Indonesia menampung hampir 14 ribu pengungsi dari 43 negara.
Perjuangan Pengungsi di Indonesia Masih Panjang
Walau bukan penandatangan Kovensi Pengungsi 1951, Vargas tetap senang karena pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Kebijakan ini mendorong penyediaan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi dan memberikan perhatian terhadap pengungsi berkebutuhan khusus (anak, ibu hamil, pengungsi yang sakit, penyandang disabilitas, dan pengungsi lanjut usia).
Vargas mengakui Indonesia merupakan contoh yang baik dalam hal menangani pengungsi karena Indonesia termasuk dalam sedikit negara mengeluarkan aturan soal pengungsi.
Sekarang ini, tambah Vargas, banyak pengungsi di seluruh dunia dibelit persoalan. Dia mengakui ada beberapa pilihan solusi tapi satu solusi tidak bisa untuk menangani semuanya.
Dia mencontohkan banyak pengungsi berharap bisa ditempatkan di negara ketiga. UNHCR terus bekerja keras untuk mendorong negara ketiga mengambil lebih banyak pengungsi. Sayangnya, banyak negara biasanya menerima pengungsi dari Indonesia, sekarang mengurangi kuota pengungsi yang bisa diterima.
Solusi lainnya adalah mengembalikan para pengungsi itu ke negara asal mereka kalau sudah sudah aman. namun banyak dari para pengungsi belum merasa aman untuk kembali ke negara mereka.
Minta Kepastian Hunian, Pengungsi Bertahan di Trotoar Kebun Sirih
Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib menjelaskan hingga Mei lalu Indonesia menjadi negara transit bagi 13.997 pengungsi dari 43 negara. Walau Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, pemerintah sudah memiliki dasar hukum buat menangani pengungsi dari luar negeri, yakni Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016.
“Setiap pengelolaan pengungsi dasarnya adalah kemanusiaan. Jadi kita tidak akan melihat apakah pengungsi itu berkebangsaan a,b,c, agama a,b,c, kewarganegaraan, jenis kelamin, dan lain-lain,” tutur Achsanul.
Achsanul menekankan ada dua hal utama dalam penanganan pengungsi, yakni apakah mereka dapat dipulangkan ke negara asal atau ditempatkan di negara tujuan.
Kalau para pengungsi itu mau dipulangkan ke negara asal, maka harus dipastikan mereka pulang atas kemauan sendiri, harus aman ketika sudah pulang, dan dipulangkan dengan cara manusiawi.
Baca Juga:
- DKPP RI Jatuhkan Sanksi Kepada Komisioner KPUD dan Bawaslu Konawe
- Sekda Konawe Gelar Rapat Kerja Besama Pemerintah Kecamatan Onembute
- Kampanye Dialogis Paslon Kada No 3 HADIR Berakhir di Padangguni Jemput Kemenangan
- Pj Bupati Busel Ridwan Badallah Tancap Gas, di Hari Pertama Menjabat
- Dukung Ketahan Pangan Nasional, Bulog Unaaha, Kabupaten Konawe Terus Lakukan Penyerapan Hasil Produksi
- Terjadi Kekosongan Jabatan di Lingkup OPD Prov Sultra, Anggota DPRD Syahrul Said : Kondisi Sedang Tak Baik Baik Saja
Sedangkan program penempatan di negara tujuan, menurut Achsanul, Indonesia sangat mengandalkan negara-negara yang selama ini menerima pengungsi.
Dua program tersebut – repatriasi dan resettlement – menghadapi kendala karena berkurangnya komitmen dari negara penerima dan menurunnya pendanaan.
Saat pagi tiba para pengungsi dari Afghanistan melipat tenda yang dijadikan tempat tidurnya di depan rumah detensi imigrasi Jakarta .
UNHCR mencatat pada 2016 penempatan pengungsi di negara tujuan sebanyak 163.206 orang. Namun tahun lalu hanya 92.400 pengungsi ditempatkan di 25 negara.
Tantangan serupa juga dihadapi oleh Indonesia. Angka penempatan pengungsi di negara tujuan terus menurun. Pada 2016 sebanyak 1.271 pengungsi, 763 pengungsi pada 2017, dan 509 pengungsi pada 2018. [fw/al]