BUTON TENGAH, Mediakendari.com – Pj Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andap Budhi Revianto kini menyandang gelar adat ‘Kolakino Liwu Pancana’ yang dianugerahi langsung oleh Lembaga Adat Buton Tengah (Buteng).
Gelar tersebut mengandung makna, bangsawan yang paling dimuliakan di ‘Negeri Pancana’. Penyematan gelar dilaksanakan di eks Kantor Bupati Buteng pada Jumat 19 April 2024.
Usai menerima gelar adat itu, Andap kemudian menyampaikan orasi budaya dengan judul, ‘Hukum Progresif Lahirkan Data Budaya Pancana untuk Kesejahteraan Sosial’.
Dalam orasi budayanya, mantan Kapolda Sultra itu menekankan, jika Indonesia adalah negara hukum. Artinya, seluruh kebijakan yang dijalankan pemerintah pusat maupun daerah harus berpijak dan berpayung hukum.
“Oleh sebab itu, hukum sesungguhnya bukan hanya seperangkat aturan dan penegakan yang terbatas pada penanganan kasus pidana dan perdata warga negara. Bahkan kebijakan pembangunan di segala bidang, dari mulai riset, perencanaan, pengganggaran, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasinya pun harus memiliki dasar hukum,” ujar Andap menerangkan.
Perspektif hukum progresif yang ditawarkan Andap, setidaknya meliputi tiga postulat. Pertama, hukum bukan sebatas rangkaian norma dan logika hukum yang termuat dalam pasal dan ayat. Hukum harus bersifat dan berwatak progresif.
Kedua, hukum progresif merupakan hukum yang menitikberatkan pada berfungsinya hati nurani, terutama pada diri para pejabat publik dan penegak hukum.
“Hati nurani di dalam cara pandang hukum progresif, bukan sesuatu yang utopis (mengawang-awang, tidak membumi). Bagi saya, hati nurani harus bisa diimplementasikan melalui empati, kejujuran dan kebenaran,” sebutnya.
Selanjutnya, yang ketiga, dalam sistem ketatanegaraan suatu Negara Hukum, maka hati nurani hanya dapat dipraktekan dan berkekuatan hukum, apabila tercermin dalam muatan pasal dan ayat pada berbagai peraturan perundangan dari pusat hingga daerah.
Menurutnya, dalam perspektif hukum yang ia dalami, bahkan perubahan sosial termasuk kesejahteraan sosial pun tidak akan terwujud tanpa hukum progresif.
“Saya berpendapat dan meyakini bahwa hukum progresif adalah hukum yang sejiwa dan sejalan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945,” tegasnya.
Tiga esensi hukum progresif bagi Andap, yaitu, pertama merupakan aturan positif negara yang sejatinya harus mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Hukum yang memenuhi rasa keadilan publik,” katanya.
Kedua, hukum progresif adalah hukum yang membuka ruang bagi aspirasi dan partisipasi rakyat, dalam hal ini publik di dalam pembangunan di segala bidang kehidupan guna tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ketiga, implementasi hukum progresif membuka ruang bagi pemerintahan yang berjalan berdasarkan data yang akurat, aktual dan relevan. Andap berpandangan, data tersebut hanya bisa diproduksi jika ada norma hukum atau peraturan perundangan progresif yang memerintahkannya.
Andap menceritakan bahwa berdasarkan pertimbangan atas pemahaman hukum progresif sebagai Pj. Gubernur ia berjuang keras untuk lahirnya kebijakan hukum progresif, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 3 Tahun 2024 tentang Sistem Pemerintahan Daerah Sulawesi Tenggara Berbasis Data Presisi.
Perda tersebut diluncurkan ke publik pada acara Musrenbang Sultra yang digelar 18 April 2024 di Kendari.
“Peraturan Daerah ini menjadi landasan penting bagi lahirnya kebijakan pembangunan di segala bidang yang berpedoman pada data dasar yang akurat, aktual dan relevan. Dengan demikian, maka pembangunan pun menjadi lebih tepat sasaran, efektif, efisien dan transparan, serta mampu semakin meminimalisir penyimpangan anggaran negara,” jelasnya.
Dilain sisi, Andap juga memaknai gelar adat dari ketua lembaga adat dan anggota perangkat lembaga adat Buteng yang diterimanya sebagai bertambahnya tanggung jawab yang disematkan di pundaknya.
“Insya Allah, gelar ini merupakan jalan kebudayaan, jalan perubahan sosial, jalan yang juga membutuhkan data yang mampu menggambarkan potensi dan kondisi riil budaya Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Buton Tengah,” sebutnya.
Andap berpendapat, data budaya acapkali luput dari perhatian semua Instansi. Padahal data budaya adalah aset serta potensi yang merupakan modal dan kekuatan ekonomi untuk mempercepat kesejahteraan rakyat.
Ia mengambil contoh ekonomi Korea yang menguat melalui industri kebudayaan yang ditopang riset untuk reproduksi data budaya. Menurutnya, dengan kekuatan potensi budaya Korea yang tergambarkan dalam data budayanya, dunia pun diguncang dengan tersebarnya budaya Korea secara global mulai tahun 1990-an, yang dikenal dengan Korean Wave.
“Hidup ini singkat, saya tidak ingin sia-siakan amanah dari ketua lembaga adat beserta anggota perangkat lembaga adat Kabupaten Buton Tengah. Karena itu, saya berikan dukungan penuh kepada Pemkab Buton Tengah untuk segera menerbitkan aturan hukum, berupa Peraturan Bupati tentang sistem pemerintahan daerah Kabupaten Buton Tengah berbasis data presisi,” tegas Andap.
Selaku Pj Gubernur Sultra, Andap jug telah menginstruksikan kepada jajaran Pemprov Sultra untuk memberikan dukungan kebijakan anggaran, pendampingan dan sumber daya lainnya kepada Pemkab Butrng untuk segera menjalankan pendataan presisi di 67 Desa dan 10 Kelurahan.
Ia memerintahkan agar melibatkan perguruan tinggi dan juga masyarakat adat agar pendataan mampu melahirkan data budaya berwujud (tangible) dan tak berwujud (intangible) Bumi Pancana pun akurat dan aktual.
“Data budaya bukan hanya untuk inventarisir aset budaya. data budaya menjadi modal industri budaya yang berkarakter Indonesia. Data budaya Pancana yang kita perjuangkan adalah data yang bersifat dinamis.
Data tersebut menggambarkan potensi ekonomi yang jika dikelola dengan baik dan benar akan menjadi kekuatan ekonomi,” urainya.
Di akhir orasi budaya, Andap menyitir falsafah Buton yang berbunyi, ytinda-yindamo arataa, somanamo karo (harta rela dikorbankan demi keselamatan diri), yinda-yindamo karo, somanamo lipu (diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri), yinda-yindamo lipu, somanamo sara (biarkan negeri hancur asal pemerintah/adat selamat), yinda-yindamo sara, somanamo agama (biarkan pemerintah/adat hancur, asal gama tetap selamat).
Keempat falsafah tersebut merupakan implementasi dari Bhinci-Bhinciki Kuli (Apabila mencubit diri sendiri terasa sakit, maka jangan lakukan hal serupa kepada orang lain). (Tim)