Pembantaian dan genosida di Rwanda 25 tahun lalu menewaskan lebih dari 800 ribu orang, sebagian besar warga etnis Tutsi. Sejak saat itu Rwanda telah membuat kemajuan luar biasa dari kehancuran itu. Sejak tahun 2003, tingkat pertumbuhan ekonomi negara itu berkisar antara enam hingga delapan persen.
Rwanda juga memiliki tingkat partisipasi perempuan di parlemen yang tertinggi di dunia yaitu lebih dari 60 persen. Aksi kerusuhan itu berawal dari penembakan pesawat yang membawa Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu, yang ketika itu ditumpanginya bersama Presiden Burundi.
Pakar hubungan internasional di Universitas Denver, Colorado, Marie Berry, mengatakan, “Ada begitu banyak kebingungan dan tentu saja perebutan kekuasaan dalam pemerintahannya. Selama beberapa bulan berikutnya sasaran kerusuhan itu meluas, warga sipil Tutsi di Rwanda dianggap sebagai musuh. Tingkat kebrutalan yang terjadi sangat luar biasa. Selama tiga bulan mungkin ada 800 ribu warga Rwanda yang tewas, sebagian besar adalah warga etnis Tutsi.”
Baca Juga :
- Dinas Pariwisata Sultra Terbaik Soal Keterbukaan Informasi Publik
- Wakil Ketua Komisi V DPR RI Bersama Direktur Bendungan dan Danau Kementrian PUPR Kunjungi Lokasi Bendungan Pelisika
- KPU Muna Barat Sukses Raih Penghargaan Peringkat I Terkait Pengelolaan Pelaporan Dana Kampanye
- Nekat Bawa Sabu Seberat 104.25 Gram dengan Upah Rp 2 Juta, Pria di Muna Ditangkap Polisi
- Pemda Koltim Gelar Sayembara Logo HUT ke 12 Tahun
- Kapolri Apresiasi Peluncuran 2 Buku Antikorupsi di Harkordia
Setelah genosida itu, Front Patriotik Rwanda pimpinan Paul Kagame menjadi pemimpin de facto Rwanda. Pertama kali ia menjadi wakil presiden mendampingi Pasteur Bizimungu, dan kemudian menjadi presiden negara itu.
Dua puluh lima tahun setelah pembantaian mengerikan itu, banyak orang masih mengingat dengan jelas apa yang terjadi. Nadine Niyitegeka baru berusia tiga tahun ketika kerusuhan dan genosida itu mencapai puncaknya. Saat ini ia baru saja lulus dari Akilah Institute for Women in Rwanda.
“Saat ini kami masih mempunyai generasi yang orang tuanya berada di penjara karena kejahatan yang dilakukan pada saat kerusuhan dan genosida itu. Ada juga generasi yang tidak punya orang tua lagi. Jadi memang ada trauma dan ada proses penyembuhan. Ini proses. Kita berada di saat yang baik sekarang ini,” ungkap Nadine.
Kaum perempuan adalah kelompok yang paling menderita ketika masa kerusuhan dan genosida pada April 1994 itu, tetapi kelompok perempuan juga yang paling cepat bangkit dan kini bahkan menjadi agen perubahan. Satu hal yang mengisyaratkan perubahan dahsyat bagi kaum perempuan di Rwanda adalah begitu banyaknya perempuan yang menjadi anggota parlemen di negara itu.
“Kami terbiasa hidup dalam masyarakat yang sangat patriarki. Melihat banyak perempuan yang keluar dari belenggu itu telah benar-benar menginspirasi kami. Sebagai anak muda, saya merasa sangat mungkin untuk melakukan apapun karena bagi saya ini adalah tantangan yang memang harus siap saya hadapi ke depan,” tambah Nadine
Ironisnya, kebangkitan perempuan ini sebenarnya juga dikarenakan begitu banyak laki-laki yang tewas dalam kerusuhan dan genosida itu. Tujuh puluh persen warga yang bertahan hidup ketika itu adalah perempuan. Itulah sebabnya perempuan yang kemudian memegang banyak peran, termasuk dalam dunia politik.
Perempuan mengisi lebih dari 60% kursi di parlemen saat ini, dan disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia. Hal ini tentunya membuat perubahan sangat besar dalam kebijakan-kebijakan yang dilahirkan, demikian ujar Marie Berry.
‘’Mungkin yang paling dicatat dalam sejarah adalah RUU yang terkait kekerasan berbasis gender. Anggota-anggota parlemen perempuan yang mengangkat isu ini dan menggagas aturan tentang hal itu. Walhasil Rwanda menjadi salah satu negara pertama di dunia yang benar-benar mendorong kemajuan secara progresif dan inovatif. Bahkan tidak saja dalam hal kebijakan, melainkan juga dalam hal membentuk institusi-institusi dan wadah guna mengatasi dan mencegah aksi kekerasan berbasis gender,” kata Marie.
Marie Berry, pakar hubungan internasional di Universitas Denver, Colorado ini juga menulis buku tentang perempuan dan aksi kekerasan di Rwanda dan Bosnia-Herzegovina – “War, Women & Power : From Violence to Mobilization in Rwanda and Bosnia-Herzegovina.” Menurutnya perempuan Rwanda masih menghadapi jalan yang panjang dan berliku.
“Belum ada transfromasi hubungan kekuasaan patriarki di dalam rumah atau di dalam perkawinan. Belum ada peralihan atau perubahan nyata bagaimana melihat kekuasaan politik, karena sesungguhnya kekuasaan politik di Rwanda masih berakar dan dipegang kuat oleh eksekutif,” imbuhnya.
Ditambahkannya, meskipun pemerintah Rwanda telah menarik manfaat besar dari pemberdayaan perempuan di parlemen, ia masih khawatir dengan potensi tindakan kekerasan terhadap para pembangkang. Marie Berry merujuk pada penangkapan dan pemenjaraan dua tokoh perempuan pemimpin oposisi yaitu Victoire Ingabire dan Diane Rwigara.
Victoire Ingabire yang juga pendukung Partai FDU-Inkingi dipenjara selama 15 tahun karena dinilai mengancam keamanan negara dan “meremehkan” genosida tahun 1994. Ia dikenal sebagai pengecam keras Presiden Paul Kagame dan selama ini menuduh penangkapannya bermotif politik. Tetapi baru-baru ini Kagame membebaskannya, bersama dengan 2.140 narapidana lainnya. Belum jelas apakah pembebasan para tahanan politik ini merupakan upaya Kagame menarik simpati publik terhadapnya, atau memang merupakan pelaksanaan janji politik yang sempat disampaikannya ketika bertarung untuk masa jabatan ketiga tahun lalu