JAKARTA, mediakendari.com – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.O.G (K) berharap calon presiden dan calon wakil presiden memasukkan pembangunan manusia dan Bonus Demografi dalam visi dan misinya.
“Jadi saya berharap betul kepada para capres dan cawapres ini bukan hanya menjanjikan bantuan sosial aja. Jangan hanya yang sifatnya charity. Menurut saya investasi dalam kualitas (manusia) ini penting sekali. Jangan hanya terjebak kepada SDM secara physically. Melihat hal-hal yang sifatnya ideologis dan substansional, ini belum tentu related dengan yang elektoral. Karena rakyat masih banyak yang belum paham masalah ideologi dan masalah substansional nggak paham. Rakyat hanya paham program-program charity. Siapa lagi yang bisa memperjuangkan hal-hal yang sifatnya ideologi dan substasional. Kalau menurut saya fokus kepada pembangunan keluarga ini menjadi sangat penting. Fokusnya kepada bangunlah badannya, bangunnya jiwanya, tetapi dengan rumahnya adalah di dalam keluarga,” kata dokter Hasto usai menyampaikan orasi ilmiah pada Wisuda Universitas Respati Indonesia (Urindo) Tahun Akademik 2022-2023 di Sasana Kriya Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Kamis (26/10/2024).
Orasi ilmiah itu mengangkat tema “Meningkatkan Kualitas Penduduk Indonesia Menuju Indonesia Emas”.
Dokter Hasto mengatakan pemerintah daerah dan masyarakat harus mengusulkan supaya pembangunan manusia.
“Dalam arti bagaimana yang mental disorder ini kurang sehat, stress, depresi, anxietas hidupnya, tidak ada yang mengusulkan Pak Bupati bikin bangsal jiwa, psikolog, dokter jiwanya ditambah. Sifatnya (aspirasi masyarakat) biasanya hubungan elektoral karena menguntungkan,” kata Hasto.
“Karena itu menurut saya sekarang ini sudah waktunya dalam hal untuk mensikapi bonus demografi harus berubah dong. Saya berharap tentang hal seperti ini masuk ke dalam visi misinya Presiden. Kalau menurut saya visi misi pembangunan manusia itu sudah dimulai oleh Pak jokowi itu mulai periode pertama revolusi mental,” kata dr. Hasto.
Menurut dr. Hasto kalau stuntingnya di bawah 8% pendapatan perkapita bisa 22% lebih tinggi dari pada sekarang. Hal itu keren. “Itulah pembangunan manusia strategi berikutnya adalah mencerdaskan. Nah kritik saya ya kita ini hanya terpaku kepada physically. Stunting itu kan fisik juga, tinggi lah, otak itu juga masuk fisik. Tapi ada fungsi otaknya cerdas, tapi kan mental emotional disorder itu jangan diabaikan. Banyak juga orang tidak stunting tapi eror. Itu juga akan bermanfaat,” ujar dia.
Selanjutnya dr. Hasto mengatakan kunci membangun keluarga itu ada di rencana awal berumah tangga.
“Membangun keluarga itu kuncinya. Jangan prewedding aja tapi pre konsepsi. Keluarga tangguh lansia tangguh ressielence. Kalau kita keluarga yang berkualitas itu yang mandiri, tentram, bahagia. Kalau saya masih belum bisa gembira ya karena lansia sekarang mayoritas ekonominya menengah ke bawah dan lansia sekarang mayoritas tidak punya tabungan, sedikitlah yang punya, 10% lah,” kata dia.
“Saya sering membagi lansia menjadi 4 kuadran, yang sehat dan punya tabungan, hebat itu keren. Kemudian yang sehat tapi nggak punya tabungan yah lumayan masih bisa disuruh-suruh kerja dikit lah. Kemudian punya tabungan tapi tidak sehat, masih bisa investasi. Tapi yang kuadran ke empat tidak sehat dan tidak punya tabungan. Maka sebetulnya memanage orang yang lemah itu menentukan suksesnya bangsa dan negara. Karena kalau yang lemah sudah termanage yang empat kan tidak perlu di manage sudah hebat. Itulah satu catatan penting untuk Respati ini bagus,” tegas Hasto.
Ia juga mengatakan bahwa di era disrupsi ini keluarga telah kehilangan modalitas.“Sebagai unit terkecilnya di dalam masyarakat adalah keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama, pendidikan pertama adalah di keluarga. Nenek moyang kita asah asih asuh sudah clear. Memang transformasi dalam keluarga mensikapi era disrupsi ini gagap keluarga kita. Orang tua dulu bisa ajak makan di meja makan, teladan, nasehat. Orang tua sekarang kehabisan modalitas dan cara karena mereka sekarang di kamarnya sendiri dengan gadget nya sendiri. Itu yang jarang di meja makan, ketemu dengan bapak ibunya juga jarang. Jadi modalitas komunikasi itu belum ditemukan di era baru ini. Sehingga orang tua pun suka kehabisan kosa kata untuk bicara dengan anaknya. Nah ini kan berbahaya. Nah itulah menurut saya hingga keluarga itu penting,” ujarnya.(Rd)